Selasa, 18/07/2017 14:30 WIB
Perppu Ormas dan Akhir Kekhawatiran Wanda
Oleh: Elnoordiansyah, Pengamat Budaya dan Politik
Pemerintah melalui Menteri Koordiantor Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, (Menkopolhukam), Wiranto, Rabu 12 Juli, di Kantor Kemenkopolhukam Jakarta Pusat, menerbitkan Perppu tentang organisasi masyarakat atau Ormas. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, aturan hukum yang belum memadai, hingga tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru menjadi silat lidah pemerintah. Disertai alibi mendesak, Perppu dianggap solusi cepat memberantas Ormas Anti Pancasila.
Pemerintah berdalih Perppu tersebut dikeluarkan, karena Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan (ormas), tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah sebagai pemberi pengesahan kepada ormas untuk mencabut pengesahan tersebut. Pemerintah seakan ingin menegaskan Asas contrarius actus yang artinya badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara, dengan sendirinya berwenang membatalkan kebijakan yang dikeluarkannya sendiri. Tepatkah?
Prof. Yusril membuat analogi KUA, ketika pasangan suami istri bercerai haruskah KUA yang menceraikan? Tidak! Karena Pengadilan agama lah yang berwenang. Sama dengan Ormas, pengadilanlah yang berhak untuk membubarkan
Seperti nostalgia dengan Pemimpin masa lalu, Pemerintah seakan tidak bisa berdialog egaliter dengan yang berbeda pendapat dengan mereka. Ormas dibuat meradang, isi Perppu tersebut menegaskan jika terbukti Anti Pancasila 1x Peringatan, Setop Kegiatan dan Cabut Badan Hukumnya. Penegasan tersebut membuktikan Halalnya cara pemerintah untuk menjagal Ormas Anti Pancasila. Tak tanggung-tangggung Sanksi Pidana bagi anggota Ormas Anti-Pancasila yakni maksimal penjara seumur hidup, maka tepatlah DNA Otoritarian tersemat pada rezim pemerintah kini
Kegerangan semakin memuncak, jika berkaca pada UUD 1945 pasal 28 E ayat 3. yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Namun saat ini pemerintah ingin membubarkan Ormas dengan dalih Anti Pancasila, bukankah itu melanggar undang-undang????. Tentu masih terngiang diingatan kita presure depresi berserikat, berkumpul bahkan berinformasi yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru. Bagai pungguk merindukan Bulan kini hal tersebut terjadi adanya
Masih Ingat Wanda Hamidah? Wanita pendukung Jokowi Jk pada Pilpres 3 tahun silam dalam kicauan Twitternya berkata, nanti punya media dibredel lagi, nanti engga bisa bikin film lagi, nanti gak bisa nulis lagi, nanti gak bisa ngritik lagi, baru menyesal. Dan akhirnya Tweet ini terjadi pada Rezim yang Ia dukung. Bola panas kini menyasar Presiden Jokowi, bagaimana tidak? Rezimnya akhir-akhir ini lebih suka menyasar kelompok yang tidak sependapat dibandingkan meneggakkan Keadilan. Lalu untuk apa Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) kreasi Pemerintah, jika kata Pembinaan orientasinya hanyalah pemusnahan?
Usaha Makar, Toleransi, dan Bhineka dulu sangat kentara disuarakan, sekarang Anti Pancasila. Seakan tidak pernah berhenti negeri ini dengan perangai peperangan, kedamaian bagai mimpi yang sulit tergapai. Para peneliti ramai-ramai bersuara mulai dari Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Rizky Argama,yang mengatakan bahwa Perpu ini sarat kelemahan, baik itu dalam hal proses maupun substansi. Ia menegaskan, Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, sama seperti yang terjadi pada masa Orde-Baru.
Mereka menyuarakan! Perppu Ormas ibarat Pistol yang sudah dikukang di tangan Presiden tinggal ditembakkan. Pasal 61 Perppu ini bahkan memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Peringatan besar untuk Pak Jokowi, Jangan lupakan sejarah, Jika anda mau meniru Orla atau Orba, kedua rezim itu runtuh karena memperalat Pancasila dan UUD 1945, demi kekuasaannya.
Lalu, apa guna Pengadilan jika taringnya dicabut? Masihkah Ia mengigit? Trias Politica hanya semenjana yang dianggap pajangan semata. Tentu kita tidak ingin Indonesia seperti gamang atas Pancasila, karena hari ini Politiknya sudah Demokrasi Liberal. Demokrasi kita memang sudah overdosis tapi bukan berarti halal untuk di amputasi. Janganlah lagi merusak bangsa atas nama Pancasila. Karena bangsa ini sejatinya sudah terajut ukhuwahnya untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman.
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments