Senin, 17/07/2017 13:00 WIB
Pakar: Tuduhan Makar Jadi Alat Bungkam Kritik
JAKARTA_DAKTACOM: Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta Abdul Fickar Hajar mengatakan Pemerintah sangat paranoid dengan setiap kritik yang dilancarkan oleh masyarakat.
Abdul mengatakan, penahanan para tersangka makar selama ini terkesan digantung tanpa kejelasan.
"Ya kalau ada buktinya kan silakan ajukan ke pengadilan. Ini beberapa bulan kan enggak ada apa-apa," kata Abdul di Jakarta, Ahad (16/7).
Para tersangka makar disebut Abdul sebagai korban dari kebingungan pemerintah dalam menghadapi setiap kritik masyarakat.
Ia menilai segala hal yang disangkakan sebagai makar di era reformasi sudah tidak relevan lagi, karena mekanisme pemakzulan presiden sudah diatur dalam Pasal 7 UUD 1945.
Disebutkan dalam pasal ini, pemakzulan Presiden hanya bila melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
"Kalau sepanjang usulan hanya untuk mengganti presiden dan membahas apa yang dicapai presiden itu diskusi gitu lho. Karena itu enggak relevan makar di negara demokrasi," ujar Abdul.
Diketahui, para tersangka makar di atas ditangkap berbarengan dengan perhelatan Pilkada DKI 2017. Saat itu mereka tengah menggelar aksi untuk menuntut pencopotan Basuki Thajaja Purnama dari kursi Gubernur DKI Jakarta dan segera ditahan karena dinilai melakukan penodaan agama.
Namun demikian, polisi meyakini, di balik aksi ini, para tersangka makar mempunyai kepentingan lain yakni ingin menggulingkan Presiden Jokowi.
Abdul mengatakan pidana makar hanya dijadikan alat kepentingan politik oleh penguasa saat ini untuk membungkam suara para aktivis. Tak hanya itu, sambung Abdul, Abdul mengatakan, setelah menangkap dan menjerat mereka dengan pasal makar ternyata tak terlihat ada proses hukum selanjutnya.
"Kalau murni penegakan hukum, begitu mereka ditangkap, ada bukti ya lalu bawa ke pengadilan," katanya.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Padjajaran Idil Akbar menilai tindakan pemerintah saat ini tak lebih dari suatu upaya untuk menjaga stabilitas negara. Hanya saja, kata Idil, dalam penerapannya, pemerintah kerap mengabaikan nilai kebebasan menyampaikan pendapat.
"Demokrasi kan jadi konsensus, jangan sampai ternoda karena pemerintah alergi dengan berbagai kritik," kata Idil.
Terkait tuduhan kembali ke era Orde Baru (Orba), Idil mengatakan, ada kesan dimana pemerintah saat ini menghidupkan kembali nilai represif tanpa dialog.
Dia menyebut, meski tidak sekejam era Orba, pemerintah saat ini kurang mengupayakan dialog untuk menyelesaikan masalah.
"Kalau cara demikian yang dibangun pemerintah, bisa saja akan ada reaksi luar biasa dari masyarakat," ujarnya.
Editor | : | |
Sumber | : | CNN Indonesia |
- Pelaku Penusukan Maut Bocah Pulang Mengaji di Cimahi Ditangkap Polisi
- Komnas HAM: Gas Air Mata Penyebab Utama Tragedi Kanjuruhan
- Kapolri Pastikan Irjen Teddy Minahasa Ditangkap Kasus Narkoba
- Polri Naikkan Tragedi Kanjuruhan Jadi Penyidikan, Tersangka Segera Ditetapkan
- Polri Libatkan Kompolnas Awasi Investigasi Tragedi Kanjuruhan
- Putri Candrawathi Akhirnya Resmi Ditahan
- Polri Limpahkan Tersangka Ferdy Sambo dkk ke Kejaksaan Pekan Depan
- Banding Ditolak, Ferdy Sambo Tetap Diberhentikan Tidak Hormat dari Polri!
- Gubernur Papua Lukas Enembe Diduga Alirkan Uang ke Rumah Judi di Luar Negeri
- Motif Penganiayaan Santri Pondok Gontor hingga Tewas, Diduga karena Masalah Kekurangan Alat
- Pakar Pidana Sebut Penganiayaan Santri Gontor Bisa Dikualifikasikan Pembunuhan
- IPW Yakin Motif Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Hanya Alibi
- LPSK Sebut Bharada E Sempat Emosi Saat Rekonstruksi karena Tak Sesuai
- 3 Poin Kasus KM 50 yang Disinggung Laskar FPI ke Kapolri
- Kapolri: Motif Pembunuhan Brigadir J Pelecehan atau Perselingkuhan
0 Comments