Selasa, 18/04/2017 09:30 WIB
Pizzanisasi Masyarakat, Mengglobalkan Lidah
Oleh: Anita Rachmat Putri , Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan IPS Sosiologi UNY
‘Pizza is nothing’, saya mengubah sedikit judul besar dalam buku George Ritzer, ‘the Globalization of Nothing’. Seorang sosiolog yang mampu merumuskan tren budaya konsumsi kontemporer di seluruh dunia.
Dalam buku-bukunya dia menjelaskan bahwa banyak orang berlomba mengejar kehampaan modernitas melalui makanan yang tak familiar dengan lidahnya.[i]
Terlebih sekarang, dengan berbekal keinginan selfi yang menggebu, mereka kemudian memposting foto makan pizza (seperti saya) di media sosial sejenis ‘instagram’. Yang diharapkan tak lain hanyalah banyaknya jumlah tanda cinta merah pada fotonya tersebut.
Tak peduli uang minimal 50 ribu rupiah melayang dari sakunya, karena yang terpenting adalah keeksistensian atau citra modern yang melekat atas dirinya.
Sebenarnya, jika merujuk dari sejarahnya, pizza hanyalah kuliner yang berasal dari kota kecil di Italia. Pada tataran ini, tak ada beda antara pizza ala Italia dan nasi gudek Yu’djum dengan menu andalan gudek suwir ayam di Jogja.
Makanan tersebut sama-sama merupakan kuliner khas yang dicintai pribumi masing-masing daerah tersebut. Namun dengan diiringi modernisasi yang dianggap Giddens sebagai juggernaut ini,[ii] pizza yang awalnya hanya merupakan makanan kampung berubah menjadi makanan pokok maupun pengganti bagi masyarakat dunia.
Tentunya hal ini menyebar seiring dengan pelebaran bisnis Pizza Hut atau perusahaan francise pizza lainnya ke seluruh negeri. Yang menjadi masalah adalah ketika citarasa makanan ala kampung Eropa itu mengglobal bukan karena ‘rasa’ yang dapat diterima lidah masyarakat Indonesia.
Pizza diterima akibat promosi media massa yang terlampau besar, sehingga lidah kitapun kadang terpaksa menerima rasa asing dan berpura-pura menikmatinya agar dapat disebut sebagai orang modern. Akhirnya penyebaran sistem yang terpizzanisasi atau termcdonalisasi ini mengarahkan pada fenomena homogenisasi lidah.
Memang saat ini pizza sudah mulai meramu menu-menu andalannya dengan mencampurkannya dengan kuliner khas Indonesia. Mungkin inilah yang mereka anggap sebagai bentuk akulturasi masakan Eropa dan Indonesia. Mereka berinovasi memberikan toping berbeda dengan menambahkan pizza dengan rendang, ikan tongkol balado, dan lain-lain.
Kesannya memang menjadi begitu mengindonesia, tetapi inilah seni dan upaya kapitalis humanis untuk melunakkan diri. Dan endingnya kita mengetahui, ini hanyalah upaya mereka untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan ada kecenderungan mereka dapat merusak makanan asli daerah tertentu.
Bagaimana mungkin adonan pizza yang sederhana itu disatukan dengan rendang yang harus diolah selama berjam-jam? Ada kontradiksi di sini, pizza yang berasal dari ideologi rasional modern jelas berbeda dengan rendang yang diproduksi dengan filosofi lokal masyarakat Sumatra.
Ada cinta dan persatuan dalam tiap adukan daging, bumbu, dan cabai hingga menjadi rendang. Ada upaya, doa, kerja keras, ketekunan, kesabaran yang dimiliki pemasak rendang. Ada rasa syukur kepada pencipta karena telah menganugerahi tenaga, menyajikan makanan lezat untuk anggota keluarga.
Lalu di mana kontradiksi pizza dan rendang, proses pembuatan pizza jelaslah hanya mengandalkan kecepatan dan ketepatan. Koki telah menerima aturan kerja untuk memasak pizza sesuai takaran. Mereka terus menjaga efisiensi dan efektifitas, kualitas nomor sekian, karna yang terpenting adalah kuantitasnya.
Birokrasi modern terus membagi tugas koki dan pelayan toko seperti robot, tak ada beda dengan karyawan pabrik di industri otomotif. Selain itu, restoran yang menawarkan pizza ini juga merupakan situasi yang tidak manusiawi sebagai tempat makan atau tempat bekerja. Tanpa disadari kita menjadi bagian dari lini perakitan masakan karena mengantri menunggu makanan datang.
Di sinilah letak kontradiksi pizza dengan keju mozarella dan rendang dengan bumbu minyaknya yang tak dapat disatukan, mereka dibuat dengan tujuan, proses, kacamata, dan orang-orang yang memiliki filosofi hidup berbeda.
Penyebaran pizza ini juga turut menyumbangkan jenis penyakit global lain ke masyarakat lokal Indonesia. Sebagai orang Indonesia yang sederhana, penyakit yang mendera tubuh jasmani kita hanyalah masuk angin, cacingan, darah tinggi, ataupun TBC karna terlalu banyak menghisap atau menghirup tembakau.
Tubuh kita kurus-kurus tapi sehat dan kuat, tetapi sekarang kita makin modern karna tubuh kita gemuk, gendut dan menjadi semakin pemalas. Kita terkena obesitas, mudah jantungan, kangker, diabetes, dan jenis penyakit-penyakit global lainnya yang sekarang telah melokal.
Dahulu teh manis panas dan kerokan telah mampu mengobati masuk angin, dan sekarang kita perlu mengecek aliran darah terus-menerus untuk menghindari sakit kepala karena harus berlomba-lomba dan berupaya keras menjadi manusia modern.
Tulisan tidak karuan ini hanyalah upaya dari saya untuk memaafkan diri sendiri karna sering terjebak dengan arus globalisasi. Dalam point ini saya setuju dengan argumen sosiolog yang menganggap modernisasi yang merupakan efek langsung globalisasi adalah proyek yang belum selesai.[iii]
Modernisasi tetap menjadi juggernaut (tank raksasa) yang melindas semua hal yang menghalangi tujuannya. Irasionalitas di atas rasionalitas dari pizzanisasi ini contohnya, terjadi ketika manusia (kita) tidak bisa bertindak sebagai manusia atau di-dehumanisasi oleh para pengusaha asing.
Kita memang tak bisa menolak pengaruh asing sama sekali, tetapi jatidiri kita sendiri sebagai orang Indonesia yang tidak menggilai modernitas juga perlu diutamakan. Kita tak boleh lupa dengan makanan pokok kita sendiri, karena semangkuk spagethi belumlah mengenyangkan perut dan memberi kenyamanan pada lidah kita ini.
Kita adalah orang yang menghargai konsep waktu dengan baik, tapi kita bukanlah orang modern yang mengutamakan efisiensi dan efektifitas di atas segalanya. Kita memang wajib menggunakan akal untuk berpikir, kita perlu berpikir supra-rasional untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Menjadi manusia rasional dan modern itu perlu, tapi kita tak perlu mendewakan modernitas di atas filosofi khas kita sendiri.
Akhirul kalam, marilah kita menikmati makan malam kita masing-masing, tak perlu menjadi prosumer dengan ‘memproduksinya terus-menerus’ ke instagram maupun media sosial lainnya. Karena tanpa sadar kitapun pada saat bersamaan menjadi produsen sekaligus konsumen pada media sosial.
Meskipun tak menolak seratus persen, sebagai manusia yang beradab, kita perlu menggunakan media sosial sesuai dengan fungsi dan proporsi masing-masing.
|
Daftar Pustaka
Petras, James dan Henry Veltmeyer. 2014. Menelanjangi Globalisasi: Sepak Terjang Imperialisme di Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George. 2013. Eksplorasi dalam Teori Sosial: dari Metateori sampai Rasionalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. 2015. Mcdonaldisasi Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. 2012. Teori Sosial Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Press.
______. 2006. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
George Ritzer dan Nathan Jugenson. The Nature of Capitalism in The Age of The Digital ‘Prosumer’. Journal of Consumer Culture Vol 10(1): 13-36. 2010.
[i] Nothing atau kehampaan pizza merupakan lawan dari keberadaan (something) yang dimaksud Ritzer hadir dengan empat hal yaitu; 1) bukan tempat (non-places), kehampaan dapat terlihat dari homogenitas konsep restoran transnasional yang menjual pizza ini dari satu tempat ke tempat lainnya; 2) bukan benda (non things) adalah konsep tentang segala hal yang dipergunakan atau dimanfaatkan manusia yang sebenarnya bukanlah hal yang substantif harus digunakan manusia tersebut, contohnya konsep mengenai pakaian yang berfungsi sebagai pelindung tubuh dapat bergeser dengan kehadiran Merk terkenal yang mempopulerkan jenis pakaian bergengsi, seperti Gucci. Sama halnya dengan esensi makanan yang berfungsi sebagai penghilang rasa lapar dengan gizi yang seimbang dapat digeseser dengan kehadiran pizza; 3) Bukan pelayanan (non-services) adalah konsep yang menghilangkan tugas pelayan sebagai seorang yang paling empati terhadap kebutuhan pelanggan menjadi sekedar pembantu dan membantu apa-apa yang menjadi tugasnya yang tertera dalam standar prosedur operasional; 4) dan bukan orang (non-human) adalah hilangnya eksistensi dan esensi seorang yang terlibat dalam proses pembuatan pizza, berbeda halnya dengan bartender yang dijadikan ‘pusat’ karena keunikannya, seorang koki pada restoran cepat saji seperti pizza ini tidak dianggap ada karena ada standar baku yang dimiliki perusahaan yang mengharuskan koki-koki tersebut bekerja seperti robot dengan mengikuti tata aturan yang ada. Mereka tak dapat menampilkan keunikan dari masakan yang dianggap dapat mempengaruhi resep awal pembuatan pizza di seluruh dunia.[i]
[ii] Teori ini dicetuskan oleh Anthony Giddens dalam buku teori strukturasinya. Juggernaut digambarkan sebagai sebuah tank raksasa yang tak dapat dikalahkan, dan juggernaut selalu berusaha menghancurkan atau menghabisi setiap hal yang dianggap mampu menghalangi tujuannya.
[iii] Lihat karya-karya Jurgen Habermas, seperti Communication and Evolution of Society.
Editor | : | |
Sumber | : | Komunitas Kultura |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments