Selasa, 10/01/2017 09:30 WIB
Polemic Of Authority dalam Kasus Ahok
Oleh: DR. M. Kapitra Ampera, SH.,MH (Tim Advokasi GNPF-MUI Pusat)
Keterangan saksi sebagai pembuktian di persidangan memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Majelis Hakim dalam mengadili suatu delict didasarkan kepada kekuatan pembuktian atau bewijs kracht, sehingga Keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dapat menjadi informasi bagi hakim dalam mempertimbangkan serta memutuskan perkara pidana.
Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada awal pekan lalu telah masuk pada proses pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi.
Pengertian saksi dan keterangan saksi dapat dilihat pada ketentuan pasal 1 angka 26 KUHAP dan pasal 1 angka 27 KUHAP yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 telah dinyatakan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang keterangan saksi tidak dimaknai “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses.
Putusan tersebut termasuk putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif, yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sejak dibacakannya putusan (gezag van gewijsde). Sehingga, dengan terjadinya perluasan makna saksi, maka saksi dapat didengarkan keterangannya di persidangan tidak terbatas pada keharusan fakta yang ia lihat, dengar, atau alami sendiri, tetapi keterangan saksi dapat didengar dari setiap orang dengan syarat ia memiliki pengetahuan terkait terjadinya suatu tindak pidana.
Mengenai relevansi keterangan saksi dengan suatu perkara seperti yang disyaratkan dalam pertimbangan majelis, maka keterangan haruslah diujikan cara pemeriksaannya (pertanyaan yang diajukan) dengan landasan hukum, agar dalam menggali keterangan saksi dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri.
Relevansi keterangan saksi secara sederhana dapat diukur dari apakah keterangannya sesuai dengan alat bukti lainnya.
Relevansi seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan “pengetahuannya”. Dalam perkara tindak pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh terdakwa, diketahui oleh saksi dari video yang tersebar di media elektronik.
Perbuatan tersebut benar diakui oleh terdakwa yang kemudian menyampaikan permintaan maaf. Tindak pidana penghinaan agama tersebut diketahui oleh saksi tidak hanya dilakukan 1 kali, namun telah dilakukan beberapa kali sebelumnya dengan pula menyampaikan bukti-bukti surat di persidangan.
Keterangan saksi ini relevan, meski tidak melihat dan mendengar langsung, namun adanya perbuatan yang terbukti dilakukan oleh terdakwa, dan bukan karena kekhilafan namun telah dilakukan berulang kali, sehingga menjadi pembuktian yang bernilai untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum.
Bahwa yang terpenting adalah isi keterangan saksi menyangkut fakta yang berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan, tentang siapa yang melakukannya dan tentang kesalahan terdakwa melakukannya.
Adapun dalam pemeriksaan saksi, memungkinkan adanya keterangan atau pertanyaan yang tidak relevan dengan peristiwa pidana, maka hal itu tidaklah memiliki nilai pembuktian. Seperti pada pemeriksaan saksi atas terdakwa Ahok, Penasehat Hukum terdakwa mempermasalahkan identitas saksi, seperti pendidikan dan pekerjaan saksi yang mana tidak memiliki hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa.
Sebelum sidang berlangsung Penasehat hukum pada media telah menyatakan bahwa mereka tengah meneliti profile saksi. Tak heran keterangan yang dicari dari saksi adalah seputar identitas saksi, pekerjaan saksi, bahkan mempertanyakan foto pribadi saksi yang SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan perkara yang sedang diperiksa.
Fenomena Fitsa Hats yang selepas sidang menjadi ramai diperbincangkan setelah terdakwa mengomentari salah pengetikan BAP sebagai kebohongan saksi, dan mempermasalahkan saksi yang merupakan pendukung calon kepala daerah lain.
Hal ini sejenak membuat “lupa” sebagian masyarakat akan substansi persidangan yaitu kasus penistaan agama, fokus pemberitaan seakan digiring pada hal-hal yang diluar konteks perkara.
Dalam persidangan, pentingnya konfirmasi kebenaran identitas hanyalah terhadap seorang terdakwa, yaitu majelis hakim wajib memeriksa identitas terdakwa, apakah yang didakwakan pada surat dakwaan adalah benar orang yang diajukan ke depan persidangan sebagai terdakwa, sehingga identitas seorang terdakwa haruslah dikonformasi secara detail dan dipastikan kebenarannya.
Namun tidak dengan identitas saksi, yang diminta keterangannya dipersidangan bukanlah tentang identitas dan history pribadinya, melainkan pengetahuannya tentang tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Penasehat hukum terdakwa AHOK telah melebihi batas kewenangannya dalam membela terdakwa dengan menyerang personal saksi (personal attack) seolah-olah saksilah yang merupakan terdakwa, tanpa menggali keterangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Hal lain yang menimbulkan kontroversi dalam pemeriksaan saksi terdakwa Ahok adalah pernyataan terdakwa dan penasehat hukumnya yang menyatakan bahwa saksi memberikan keterangan palsu dan bohong.
Bahwa, dapat atau tidaknya seorang saksi bisa dipercaya bergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim sebagaimana yang diatur dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP.
Mengenai kompetensi saksi sepenuhnya merupakan kewenangan hakim untuk mempertimbangkan apakah seorang saksi memiliki kompetensi untuk memberikan keterangan dan juga apakah keterangannya tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti atau tidak, termasuk untuk menilai apakah keterangan yang diberikan saksi merupakan keterangan palsu.
Mengenai keterangan palsu, di dalam KUHP diatur larangan menyampaikan keterangan palsu yaitu pasal 242 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun yang pada prosesnya sesuai dengan pasal 174 KUHAP, yaitu:
Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguhsungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Perbuatan memberikan keterangan palsu ini sebagaimana ketentuan diatas, merupakan wewenang bagi majelis hakim untuk menilai apakah keterangan yang diberikan oleh saksi merupakan keterangan yang tidak benar/palsu, dan wewenang majelis hakimlah untuk memerintahakan Penuntut Umum supaya saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu/memberikan keterangan palsu bukanlah wewenang Penasehat Hukum ataupun Terdakwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi.
Bahwa, poin pentingnya adalah pemeriksaan saksi merupakan alat bukti yang dibutuhkan untuk mencari kebenaran materiil dari suatu perkara, yang juga penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa.
Oleh karenanya, keterangan yang dibutuhkan adalah yang berkaitan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan wewenang menilai benar atau tidak, berguna atau tidaknya keterangan saksi adalah pada Majelis Hakim.
P.M Trapman mengatakan bahwa Pandangan hakim dilukiskan sebagai pandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Sehingga, baiknya semua pihak mempercayakan proses persidangan kepada Majelis Hakim, tanpa harus membuat dan menciptakan opini-opini yang dapat memecah belah bangsa. Espero que este artículo útil... Victorioso NKRI!...
Editor | : | |
Sumber | : | DR. M. Kapitra Ampera, SH.,MH |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments