Jum'at, 21/10/2016 13:00 WIB
Menista Agama adalah Tindakan Kriminal
Oleh: Ahmad Kholili Hasib, Peneliti InPAS
Pancasila sebagai dasar negara yang dalam sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan petunjuk bahwa agama dalam pandangan negara Indonesia sangat sakral. Sila tersebut tidak diletakkan di nomor dua atau di akhir (sila kelima), tetapi di awal sila. Para pendiri negeri ini semua sepakat, sadar, faham dan tidak ada yang protes, bahwa agama itu penting untuk membangun masyarakat bernegara.
Makanya, agama dilarang dimain-mainkan. Juga tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan-tujuan jahat.
Karena itu, agama dan apapun yang terkait dengannya, telah disepakati sebagai sesuatu yang suci, sumber inspirasi dan motivator masyarakat.
Sehingga, perbuatan, pernyataan atau statemen yang menyinggung agama akan menjadi isu yang sensitif. Sensifitas warga negara merupakan sesuatu yang wajar. Sebabnya, agama menjadi tiang membangun bangsa.
Jika ada pemimpin menista agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas, berarti kesadaran berbangsa dan bernegara pemimpin tersebut sangat rendah.
Lebih-lebih dilakukan secara arogan. Sama saja berniat ‘membuldoser’ tiang negara. Kerendahan kesadaran adalah bukti gagalnya seorang menjadi pemimpin.
Harap dan wajib disadari bersama oleh semua elemen masyarakat, bahwa menista agama adalah perbuatan kriminal di negeri ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminal adalah perbuatan melanggar hukum pidana, dan kejahatan. Pelakunya disebut penjahat.
Secara yuridis, kejahatan didefinisikan sebagau suatu tindakan melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakusi secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis, kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat (Wikipedia online).
Hukum negara telah mengatur melalui UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Pasal 1 UU menerangkan tentang larangan melakukan pendodaan agama dalam bentuk apapun. Bunyi pasal tersebut adalah: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pelanggaran terhadap UU di atas diancam hukum lima tahun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 3: Maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Sementara KUHP pasal 156 juga menegaskan, pelaku penistaan agama diancam hukuman penjara lima tahun penjara. Pasal 156 a KUHP berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Karena itu, sikap keagamaan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang kasus penistaan al-Qur’an oleh gubernur DKI Jakarta baru-baru ini sudah tepat. MUI meminta kepolisian memproses secara hukum kasus yang menyedot perhatian banyak media nasional dan internasional itu.
Sudah semestinya dan seharusnya pihak kepolisian memproses aduan masyarakat melalui MUI tersebut. Tidak ada yang salah dalam sifat keagamaan MUI. Bahkan pemerintah harus mendukungnya. Karena apa yang dilakukan MUI dan ormas-ormas Islam lain di Indonesia adalah upaya supaya UU No.1 PNPS tahun 1965 dan KUHP Pasal 156 a dilaksanakan demi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Seorang pencuri atau perampok yang dibiarkan bebas tidak diproses hukum akan meningkatkan semangat penjahat tersebut melakukan kejahatan lagi. Sehingga tindak kejahatan akan meningkat. Di sisi lain, masyarakat yang terdzalimi oleh kejahatan pencuri dan perampok tersebut akan bertindak menghukum sendiri penjahat tersebut.
UU dan peraturan yang tidak dilaksanakan memicu timbulnya ketidakstabilan masyarakat. Perbuatan dzalim penjahat pasti akan direaksi masyarakat yang terdzalimi. Di sinilah negara wajib hadir. Menghukum penjahat. Melindungi masyarakat yang terdzalimi.
Jika dalam urusan harta kecil saja masyarakat beraksi ketika hukum ‘tidak bergigi’, maka lebih-lebih bila kejahatan itu dalam persoalan yang sangat sensitif, yaitu agama. Bereaksi balik dengan berbuat hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan agama bukan menjadi solusi menjaga stabilitas negara. Karena itu, negara juga tidak boleh melindungi penjahat agama. Sebagaimana negara juga tidak boleh melindungi teroris, pelaku kriminal, dan koruptor.
Kejahatan atau kriminal ada dua; kejahatan fisik dan kejahatan non-fisik. Kejahatan fisik seperti melukai, membunuh, menjambret, mencuri, merampok dan lain-lain. Kejahatan non fisik seperti menghasut, berbuat tidak menyenangkan, dan mencela agama. Kedua jenis kejahatan telah diatur oleh undang-undang negara.
Jangan sampai menyimpan api dalam sekam. Bila umat mayoritas yang terdzalimi oleh pelaku kejahatan agama justru difitnah, maka bisa menciptakan chaos. Umat yang terdzalimi harus dilindungi, pelaku penjahat agama harus dihukum. Ini sikap yang adil. Di manapun, ajaran penistaan pasti memicu perlawanan. Menjegah lebih baik daripada ‘mengobati’.
Kedamaian takkan terwujud selama ada orang yang menodai agama bebas menyebarkan fitnahnya di tengah-tengah umat yang religius. Negara juga menjamin kebebasan berbicara. Akan tetapi bukan dengan menodai ajaran agama lain. Maka apakah orang yang provokatif mecela umat mayoritas itu dibiarkan saja? Sementara, Muslim yang keberatan terhadap provokasi itu dituding intoleran? Jelas ini kedzaliman, bukan keadilan.
Jika ada penistaan -- yang bisa memancing konflik sosial – negara harus segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan. Jika dibiarkan bebas menista dengan alasan kebebasan atau alasan apapun, maka sesungguhnya hal itu akan mengotori kebebasan itu sendiri.
Kebebasan, hendaknya bertanggung jawab. Karena itu diperlukan perangkat hukum untuk mengaturnya. Sebab, sebesar apapun kebebasan orang, ia akan tetap dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan yang mendamaikan itu adalah kebebasan yang di dalamnya tidak ada penistaan, menghina, melecehkan dan menyudutkan figur agama atau terhadap individu dan terhadap sakralitas agama.
Setiap agama juga tidak diterima jika dilecehkan. Dalam Islam, ada himbauan supaya agama dijaga dari penistaan. Salah seorang Ulama Nusantara Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari meneluarkan fatwa:
“Pertahankanlah agama Islam, berusahalah sekuat tenaga memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan tunjukkanlah kebenaran kepada para pengikut kebatilan dan penganut akidah sesat. Ketahuilah, usaha keras memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib”(Hasyim Asyari,al-Mawa’idz dalam Irsyadus Sari,hal. 33).
Editor | : | |
Sumber | : | Kholili Hasib |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments