Opini /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 09/04/2015 11:01 WIB

Aktivis Islam dan Keterasingan di Akhir Zaman

ghuraba
ghuraba

Menjadi terasing adalah sebuah karunia. Sebangsa rezeki yang Allah berikan kepada hamba pilihan. Terasing dari segala bentuk segala hiruk-pikuk dunia yang melalaikan. Terasing dengan bersikap tegas saat orang tak memiliki nyali untuk mewartakan jalan hidupnya. Terasing dengan bertindak tidak populer ketika memang aqidah menuntut demikian.

Terasing dari ideologi, pemikiran, perilaku, dan kultur yang merusak Islam. Tepat 1431 tahun yang lalu, Rasulullah mengajarkan bagaimana menghargai sebuah keyakinan. Keyakinan yang harus dibayar dengan meninggalkan tumpah darah dan bahkan nyawa. Hijrah, merupakan tuntutan yang paling inti dari tauhid seseorang. Sebuah momentum sejarah yang dijadikan awal penghitungan kalender Islam.

Tetapi “terasing” bukanlah mengasing-asingkan diri. Juga bukan sikap “asal beda”. Ada proses hukum dialog yang menyertainya. Ada mukadimah dan hukum sebab akibatnya. Bahwa jika pada akhirnya seseorang harus terasing atau bahkan uzlah(mengasingkan diri), itu adalah jalan darurat ketika ikhtiar telah ditempuh. Dr. Salman Audah, bahkan memberi sub judul serial ghuraba’-nya dengan min wasaaili-daf’il ghurbah (sarana keluar dari keterasingan).

Melalui telaah kritis sirah, beliau berhasil menggambarkan bagaimana kiat Rasul keluar dari keterasingan. Ruh yang harus kita tangkap adalah: bagaimana seseorang konsisten memegangi prinsip. Juga, bahwa lingkungan haruslah diposisikan sebagai obyek dakwah dan bukan musuh. Di sini diperlukan kearifan, kedewasaan, kepekaan, dan ketajaman untuk menyinkronkan antara kajian normatif syar’i dan kajian waqi’ (realitas).

Kita sering menemukan bab “pra kenabian” dan “pasca kenabian” dalam setiap buku Sirah Nabi. Digambarkan bagaimana kebodohan Arab yang menyembah berhala; melakukan praktik riba; tenggelam dalam lumpur perzinaan, dan seterusnya. Bab berikutnya memaparkan kondisi Arab paska kenabian yang begitu ideal. Rasulullah berhasil menjawab ragam problem sosial kala itu. Nampak, betapa Rasulullah sangat dekat dengan realitas umatnya. Ini membawa pesan kuat bahwa Nabi diutus untuk menjawab realitas. Permunculannya, bukan semata membawa misi dogmatik yang tak berhubungan dengan masalah-masalah sosial umat.

Di sini kita perlu berkaca. Seiring munculnya kesadaran kembali ke identitas Islam, para aktivis sering terjebak pada elitisme. Ada jarak yang cukup tajam antara pemahaman normatif dengan realita. Tidak jarang mereka membuat realitas sendiri dan seolah hidup di planet yang berbeda dengan umatnya. Ketika di sebuah kampung, seorang Kepala Desa tidak amanat menyalurkan bantuan hak rakyat, seolah ini bukan problem kita. Juga ketika di sebuah kota yang berdiri universitas, dan di sekitarnya banyak praktik kos-kosan mesum terselubung, para aktivis seolah tak berdaya hendak bertindak apa? Banyak problem sosial yang sering luput dari perhatian aktivis. Padahal jika kita cermati, problem-problem tersebut adalah wilayah dakwah dan amar makruf nahi mungkar.

Bukan tidak ada dakwah atau nahi mungkar, tapi kadang variasi kegiatan keduanya lebih cenderung monoton dalam bentuk pengajaran di madrasah dan masjid. Tidak dalam bentuk koordinasi, atau jaringan-jaringan organisasi publik terbuka yang memiliki daya pressure, lengkap dengan syarat-syarat yang harus diselenggarakan. Menyikapi birokrat yang korup misalnya, jarang terdengar aktivis Islam menggunakan lembaga masjid sebagai kontrol sosial; dalam bentuk semacam LSM misalnya, yang berposisi berhadap-hadapan dengan kelurahan atau BPD (Badan Pengawas Desa). Padahal di sini, banyak aspirasi umat bisa disuarakan.

Memang, negara ini tidak diatur berdasarkan syariat Islam. Dan bahwa para aktivis hendak mengupayakan sebuah solusi komprehensif dengan bercita menegakkan syariat Islam; dengan dakwah tauhid; dan mungkin dengan berjamaah. Tapi, saat “solusi utama” sedang berproses, apakah problem-problem parsial tersebut akan dilepaskan? Gagasan besar iqamatuddien, tidak seharusnya menumpulkan kepekaan lingkungan yang tampak remeh-temeh. Sebab sesuatu yang besar, bermula dari yang kecil. Banyak hal besar, tidak berjalan karena hal kecil kurang diperhatikan.

Dalam konteks yang lebih luas, di jagad gerakan jihadis, muhasabah Abu Mus’ab As-Suri dalam bab hashadus shahwah al-islamiyah… menarik untuk direnungkan. Beliau menyoroti kurangnya pengaruh fikih waqi’ dalam politik syar’i yang dilakukan oleh kelompok jihadis. Ini berimbas pada kurangnya materi pembinaan yang memadahi untuk dapat menjadi alat baca akurat penggolongan masyarakat: siapa kawan, siapa lawan, dan siapa netral? Tidak jarang, sering terjadi generalisasi yang berimbas kacaunya identifikasi, dan berlanjut pada penentuan pola interaksi yang juga general dan campur-aduk. Musuh kadang disikapi sebagai kawan, demikian juga kawan kadang disikapi sebagai musuh.

“Shahwah Islamiyah nonpolitik malah asyik mengisolasikan diri dari kehidupan realitas. Sedangkan aliran jihadi, karena mereka mayoritas dari sekelompok pemuda yang belum paham, hingga tidak menguasai soal-soal peradaban dan tidak memahami realitas.” Begitu simpulan As-Suri. Ideolog jihad ini melanjutkan: “Pertempuran saat ini, tidak lagi berkutat hanya dalam bidang kemiliteran dan keamanan, tetapi juga dalam bidang politik, media, dan ekonomi. Dalam konfrontasi militer dan keamanan, ilmu pengetahuan juga sangat berperan besar. Kerendahan tingkat pemahaman terhadap fikih waqi’, akan berimplikasi pada kerendahan manhaj, literatur, informasi, dan isi komunikasi serta metode penyampaiannya…”

Demikianlah, membangun kepekaan bukan semata kajian normatif. Ia memerlukan keterampilan dan pembiasaan. Dan pembiasaan yang baik adalah dengan mencermati hal-hal yang dekat. Kurangnya eksperimen dalam hal ini, membuat gerakan jihadis miskin karya di luar fikrah ushul manhaj. Ini yang juga dicatat oleh As-Suri. Beliau menulis: “Jika kita perhatikan, gagasan yang diluncurkan (gerakan jihadis), hanya terbatas dalam masalah pemerintahan Islam, dasar-dasar al-wala’ wal-bara’dan akidah. Kreativitas mereka sedikit dan kebanyakan adalah pengulangan fikih Imam Ibnu Taimiyah dan beberapa imam salaf… Padahal bencana sangat banyak. Bidang-bidang kebijakan politik Islam dan kebijakan kontemporer sangat luas. Kebutuhan untuk menuliskan hal di atas juga sangat besar…”

Tidak heran jika As-Suri menyebut bahwa eksperimen gerakan Islam di banyak negara dinilai gagal. Kegagalan antara pada lini siyasah dan opini. Mengasingkan diri dari umat, justru membuat mereka akan jauh dari kita. Mengasingkan diri, tidak selalu berkonotasi berpisah secara fisik tapi bisa nonfisik. Bagaimana aktivis bisa dekat ke umat jika tidak pernah melakukan “customer insight?” Bagaimana mereka tidak rikuh mendekat, jika kita tidak care terhadap masalah mereka? Dengan demikian, obsesi aktivis Islam yang hendak menjadikan perang terhadap kezaliman sebagai jihad sya’biyyah (jihadnya umat) agak sulit untuk diwujudkan.

Editor :
Sumber : Kiblat.net
- Dilihat 3815 Kali
Berita Terkait

0 Comments