Rabu, 18/05/2016 13:36 WIB
Kekeliruan Maarif Institute Soal Indikator Kota Islami di Indonesia (2)
Oleh: A. Kholili Hasib, Peneliti InPAS Surabaya
Salah satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada Allah Swt sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab kepada-Nya dengan percaya dan beribadah kepada-Nya. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti diberikan kepada mereka. Dua-duanya adalah kewajiban yang sifatnya hierarkis.
Berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat buruk kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid. Dua perilaku ini tidak bisa disebut ISLAMI.
Artinya, seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang sempurna. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut berperilaku ISLAMI. Seharusnya, hal seperti itu menjadi pertimbangan dasar untuk dijadikan indikator utama.
Kota atau masyarakat yang Islami adalah kota atau masyarakat yang mendasarkan tata cara hidupnya berdasarkan keimanan kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir.
Dengan berdasarkan pada indikator yang semestinya seperti di atas, maka tidak akan mungkin seseorang itu disebut “Hindu-Islami”, “Kristen-Islami”. Seorang Hindu tidak percaya kepada Allah Yang Maha Esa mustahil disebut Islami. Seorang Kristen yang tidak percaya risalah Nabi Muhammad Saw tidak masuk akal disebut Islami.
Hindui-Islami atau Kristiani-Islami adalah dua hal yang bertolak belakang. Jadi, tidak mungkin masyarakat yang Kristen pada saat sama Islami. Jika masyarkat Non-Muslim itu mengamalkan sebagian kecil ranting-ranting Islam pun tidak serta merta disebut Islami. Sebab, pondasinya saja tidak Islam. Sesuatu itu tegak tergantung pondasi dan akar. Bukan pada ranting dan cabang.
Dual hal yang bertolak belakang konsepsinya tidak bisa salah satunya menjadi nisbat kepada yang lainnya. Sebagaimana tidak mungkin kita mengatakan segitiga yang bulat atau bola yang trapesium. Dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, dalam penelitian Maarif Institut yang menempatkan Denpasar yang mayoritas Hindu sebagai Islami, merupakan kesalahan yang sangat fatal dalam metodologi.
Belum lagi jika kita lihat tiga wilayah tersebut dari perspektif yang lebih komprehensif. Akan terlihat kesalahan metodologis Maarif Institut tersebut. Yogyakarta menduduki tempat kelima sebagai kota dengan pengguna Narkoba terbesar di Indonesia. Dalam catatan BNN (Badan Narkotika Nasional), 2,37 pengguna Narkoba ada di kota Yogyakarta. Sementara Bali menempati urutan ke-8 dengan angka 2,22 persen. Artinya, dua wilayah ini masuk 10 besar di anatara propinsi di Indonesia yang penduduknya mengkonsumsi Narkoba (sumber: metronews.com 9 Maret 2015).
Sedangkan, dari segi maksiat seks, kota Bandung dan Yogyakarta menempati urutan tiga dan empat sebagai kota dengan prostitusi terbesar. Sedangkan Bali menempati urutan urutan ketujuh. Meski urutan ketujuh, tetapi Bali dikenal dengan kehidupan hedonism yang banyak dibawa oleh turis asing Eropa.
Belum lagi, indikasi kemaksiatan lainnya. Bagaiaman mungkin daerah yang banyak maksiatnya disebut Islami? Lantas Islami dari mana? Maka riset tersebut tidak metodologis, dalam arti gagal menarasikan indikator kota Islami.
Prof.Syed Naquib al-Attas, menjelaskan indikator pertama untuk menilai seorang itu sholeh atau tidak adalah adabnya kepada Allah. Orang yang tidak percaya Tuhan, atau atheis adalah orang yang tidak beradab kepada Tuhannya, alias biadab.
Meskipun si atheis atau si kafir itu orang berdisiplin, jujur dan suka menolong orang lain tetap disebut biadab, bukan beradab. Sebab, amalnya batal atau tidak sah di depan Allah Swt.
Seperti firman Allah: “Dan orang-orang kafir amal-amalnya mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air’ itu, maka dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. Al-Nur: 39).
Karenanya, karakter masyarakat non-Muslim yang kita anggap berbudaya disiplin, jujur, sejahtera itu sesungguhnya hanya karakter palsu, laksana fatamorgana.
Makanya, mereka tidak dapat disebut masyarakat yang islami. Yang islami apanya? Percaya kepada Allah saja tidak, shalat tidak, bertauhid-pun juga tidak.
Editor | : | |
Sumber | : | InPAS Online |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments