Senin, 09/05/2016 14:45 WIB
Cinta untuk Yuyun, Sitok dan Alkohol (2)
Oleh: Azeza Ibrahim, Jurnalis
Tuduhan-tuduhan keji bahwa Indonesia memiliki kultur kekerasan seksual pun pada akhirnya tidak memiliki dasar empiris yang jelas melainkan hanya menjadi wacana, bahkan propaganda.
Akhirnya pun kita dapat melihat bahwa tudingan pengasong feminisme ini tiada lain dan tiada bukan merupakan bentuk generalisasi sempit yang lahir dari kurangnya pengalaman empiris dan hanya mengandalkan wacana-wacana tak membumi. Pun usul-usul perbaikan yang diajukan pada akhirnya menjadi jauh panggang dari api, seperti RUU KKG, menganjurkan edukasi seks bebas nilai, dan melepaskan agama sebagai standar moral.
Tentunya kita akan bertanya-tanya, akankah tak ada Yuyun lainnya jika ide-ide mereka diterapkan? efektifkah solusi yang mereka tawarkan bagi penegakan hukum terkait kasus pemerkosaan? Apakah wacana-wacana mereka sudah menumbuhkan kesadaran di kalangan pemerkosa? Lalu apa respon mereka jika muncul pemerkosa atau pelaku kekerasan seksual dari kalangan mereka sendiri?
Adakah Cinta untuk Sitok dan Alkohol?
Tidak bisa dipungkiri bahwa kasus Yuyun kemudian membawa wacana pelarangan minuman keras menyeruak dan makin digaungkan oleh beberapa tokoh. Lucunya segera saja ada suara-suara nyinyir yang menyerukan agar jangan menyalahkan minol, cukup fokus pada aksi pelaku saja. Argumen pendukung pun segera ditampilkan. Data statistik antara negara konsumen minol tertinggi dibandingkan dengan negara dimana kasus pemerkosaan paling banyak terjadi.
Hasilnya, nama negara Estonia keluar sebagai konsumen minol terbesar dan Afrika Selatan muncul sebagai negara dengan angka tingkat perkosaan paling tinggi. Selesai dan kesimpulan langsung dibuat tanpa keterangan dan sikap kritis lebih lanjut. Dan tanpa sadar, sejenak mereka yang mendengar argument ini lupa bahwa Yuyun tewas setelah diperkosa oleh belasan pemabuk.
Nalar kita diarahkan agar seolah minol itu muncul dari ruang kosong yang netral akan kepentingan, padahal, Teh Botol Sosro saja berkepentingan untuk terus hadir dalam tiap momen makan kita. Lalu mengapa kita jarang sekali bertanya, mengapa harus membuat minuman yang berpotensi tinggi memabukkan konsumennya?
Ditengah tren banjir opini seperti ini, sering membuat kita kurang berhati-hati dalam mencerna persoalan. Padahal, tidak mungkin ada pemabuk tanpa minuman beralkohol. Dan dari sebagian pemabuk itu terdapat pula pemerkosa dan pembunuh.
Para pembela kultur mabuk minuman beralkohol di republik ini seolah ingin cuci tangan dari aksi sebagian rekan sejawat sehobi mereka yang kerap melakukan tindakan kriminal berat. Padahal kita tahu bahwa membuat diri atau orang lain mabuk pasti selalu diiringi motivasi-motivasi tertentu.
Jika merujuk kasus Yuyun, adakah dari kita yang bertanya-tanya mengapa bisa ada segerombolan pemuda bisa mabuk-mabukan tanpa kontrol dan pengawasan? Mengapa tuak bisa sedemikian mudah diakses dengan harga yang sangat murah di Bengkulu?
Bukan tidak mungkin mabuknya para pemuda ini berkolerasi dengan tingginya angka kemiskinan di desa Kasien Kasubun tempat Yuyun tinggal. Namun apakah fakta ini masuk dan sinkron dengan kampanye edukasi seks dini dan penghapusan budaya pathriarch?
Suara-suara yang mencoba menghubung-hubungkan setiap kasus perkosaan dengan budaya patriarki dan penafian alkohol sebagai sarana utama pelecehan seksual seharusnya kembali membuka telinga tentang kasus Sitok Srengenge yang menjadi salah satu pentolan Komunitas Salihara tiga tahun lampau.
Saat itu, jargon Rape is Rape yang mereka gaungkan betul-betul melempem dan digantikan dengan kata-kata “skandal asmara” atau “hubungan gelap”. Tidak ada lilin yang dinyalakan untuk para korban Sitok. Di kasus Sitok ini kita juga diingatkan bahwa kondisi mabuk atas campur tangan alkohol memainkan peran penting untuk memuluskan aksi seniman yang berasal dari komunitas yang juga kerap menyuarakan isu-isu kesetaraan gender ini.
Tentunya sulit mengukur tanggung jawab dari sebuah ideologi yang hanya menghasilkan hipokritas dan wacana-wacana apologetik atas kasus multidimensional seperti masalah pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Jika bertanggung jawab untuk ideologinya sendiri saja tidak mampu, lantas bagaimana para pengusung kesetaraan gender dan feminisme ini bisa memberikan imbas positif terhadap kehidupan masyarakat di akar rumput yang berhadapan langsung dengan berbagai dinamika dan masalah.
Lantas apa bedanya mereka dengan Cinta yang galau dan mengambil keputusan tanpa kejelasan?
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments