Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, Jurnalis
Seringkali kita menjebak nalar pribadi dengan konsepsi-konsepsi membingungkan hanya demi terlihat berbeda. Jika tidak percaya silakan lihat betapa kata “cinta” tidak pernah bisa dipahami dengan gamblang oleh seorang sutradara kenamaan di negeri ini, bahkan butuh waktu 14 tahun hanya untuk mengulang pertanyaan yang sama, Ada Apa dengan Cinta.
Lalu, apakah Dian Sastro mampu menjawab pertanyaan itu? nyatanya pun tidak.
Kita sepakat bahwa cinta itu universal, tapi tidak lantas multitafsir. Contohnya sederhana. Jika kita menyatakan cinta akan suatu profesi tertentu, akankah kita rela jika fokus kita terhadap profesi tersebut dibuyarkan oleh kegiatan hura-hura atau senang-senang sesaat?
Atau jika kita menyatakan cinta pada lingkungan sekitar, mungkinkah kita akan berleha-leha lenggang kangkung saat korporasi besar merusaknya dengan cemaran limbah? Mungkinkah kita mencintai tanpa bertanggung jawab? Dengan pertanyaan terakhir ini tentunya kita bisa mengukur sejauh mana hati Rangga.
Namun sayangnya, pertanyaan terakhir ini jarang atau mungkin tidak terbesit di alam pikiran mereka yang tega memanfaatkan kematian seorang anak perempuan bernama Yuyun yang tewas setelah dinodai oleh belasan pemuda pemabuk untuk mempromosikan ideologi kesetaraan gender yang bias dan menganggap agama sebagai penyebab kultur kekerasan seksual.
Bagaimana tidak? Wacana yang dipaparkan oleh kaum yang mengaku berpendidikan ini jauh dari konteks dan realitas. Karena api lilin, walau jutaan dinyalakan, tidak akan pernah bisa menjawab keadilan yang dituntut oleh keluarga korban. Pun lilin, betapa banyaknya dilelehkan, takkan bisa menembus telinga manusia yang mabuk tuak.
Feminisme dan Generalisasi Kasus Pemerkosaan
Dalam menyikapi kasus Yuyun, banyak pegiat pembela perempuan plus idelogi feministnya menyatakan bahwa ada yang salah dalam kultur serta budaya Indonesia saat melihat kasus pemerkosaan, hal ini disebabkan kuatnya dominasi agama dengan budaya patriarki yang melihat perempuan sebagai penyebab.
Tudingan demi tudingan pun berlanjut, Indonesia dianggap memiliki kultur pemerkosaan, masyarakat hanya menyalahkan pihak perempuan, pihak pria tak pernah disalahkan, pelaku pemerkosaan selalu dilindungi hingga menganggap mereka yang menyatakan bahwa alkohol dan pornografi sebagai pemicu pemerkosaan sebagai bigot atau orang purba.
Padahal, mereka sepakat bahwa pemerkosaan adalah tindakan kejahatan namun gagal melihat taksonomi kriminalitas yang meniscayakan kondisi kompleks dalam setiap kasus dan kejadian. Akibatnya, tuduhan mereka bahwa mayoritas masyarakat Indonesia selalu memainkan “blame game” atau main tuduh dalam kasus pemerkosaan justru menjadi bumerang. (BERSAMBUNG)
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments