Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 05/04/2016 14:32 WIB

TK Amanah Ummah dan Mimpi Suratmi yang Terenggut

Suratmi
Suratmi
KLATEN_DAKTACOM: Hari masih pagi. Selarik semburat mentari Klaten menembus tirai jendela, membelai hangat bangku-bangku panjang nan mungil yang masih tertelungkup antar meja satu sama lain. Ruangan sederhana dengan alas keramik hijau itu lengang, senyap. Kini, tak ada lagi hingar bingar keceriaan yang mewarnainya seperti sebulan silam.
 
Sudah hampir sebulan ini, ruangan itu membisu.Tak ada lagi hilir mudik para bocah mungil yang menggemaskan. Tak ada lagi canda tawa, semuanya membisu. Tak ada lagi kalam-kalam Ilahi yang terlafal dari bocah-bocah Raudhatul Athfal Amanah Umah, TK Islami impian Siyono dan Suratmi.
 
Masih sebulan silam, kebahagiaan masih menyergap seisi ruangan ini. Satu per satu anak yang lucu dan mungil mengeja kata. Warna-warni angka yang tertempel di dinding. Bangku-bangku yang diduduki para empunya. Meja hijau tempat mereka belajar mencorat-coret kertas.
 
Ruangan mungil yang kini muram inilah, impian sepasang kekasih yang memulai biduk rumah tangga empat belas tahun silam. Dua orang guru TK yang bersua, menjalin ikatan pernikahan, bercita-cita membangun Taman Kanak-kanak bersama: Raudhatul Athfal (TK)  Amanah Ummah.
 
Kini, ruang mungil itu masih membisu. Tak ada lagi canda tawa para bocah. Hanya tangis  bocah tiga tahun yang kehilangan sang Ayah yang tak kembali setelah dijemput paksa Densus 88. Balita yang sedari tadi menangis di pangkuan sang bunda yang nampak tegar, kehilangan sosok suami penyayang anak-anak.
 
Mengawali April 2016, pada sepetak ruang tamu yang disulap jadi TK ini, kami tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bersua dengan Suratmi, dengan mata berkaca-kaca. Janda lima anak yang sedari tadi mengayunkan lengannya menempatkan buah hatinya, Ibrahim yang terus menangis ke pangkuannya.
 
"Bagaimana saya tidak merasa sedih, hari Jum'at akhir Februari bapak saya meninggal. Lalu 8 Maret suami saya ditangkap dan meninggal hari Kamis," kata Suratmi mengenang almarhum Siyono, terisak-isak sambil berusaha menyeka air matanya yang mulai berjatuhan.
 
Awan duka masih menggelayut di mata Suratmi setelah sang Ayah wafat, namun tak sampai dua pekan, kabar satu ini benar-benar membuat dirinya terhentak. Bagaimana tidak, sepenggal Maret, saat anak-anak TK mulai mengeja kata, disanalah kebiadaban terjadi.
 
Papan kapur yang tak sempat terhapus, menjadi saksi tangis histeris anak-anak yang melihat kepongahan punggawa Densus 88 yang menodongkan senjata menggeledah paksa. Guru-guru hanya gemetaran, sebagian kocar-kacir penuh isak tangis. 
 
Tawa sempat berganti tangis histeris, tapi kini tak ada tawa dan histeris. Ruangan ini membisu. Hanya kursi-kursi mungil yang teronggok di sudut-sudutnya, di tengahnya bersimpuh Suratmi di atas tikar. Kepalanya tertunduk. Mencoba membenarkan nafasnya yang mulai tak beraturan. 
 
Kepalanya kembali terangkat, dia melanjutkan kisahnya bahwa  Selasa ba’da maghrib, suaminya dijemput oleh tiga orang di Masjid. “Lalu bapak mertua saya memberi tahu, ‘ndok, bojomu dibawa ke Polres.’ Mendengar itu, saya langsung lari masjid dan suami saya sudah menghilang,” Suratmi mengenang. (BERSAMBUNG)
Editor :
Sumber : Rilis JITU
- Dilihat 2933 Kali
Berita Terkait

0 Comments