Harokah Islamiyah /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 11/03/2016 15:00 WIB

Fenomena Jilbab Halal: Menebar Bujuk Rayu dan Rasa Takut (3)

Ilustrasi Jilbab
Ilustrasi Jilbab
Oleh: Andika Saputra 
 
Pemimpin Redaksi Komunitas-Kultura.com
 
Belakangan ini umat Islam di Indonesia disuguhi fenomena ‘Jilbab Halal’ yang menyedot begitu banyak energi dan perhatian. Sebuah merk dagang jilbab memasarkan produknya dengan legitimasi sertifikat halal MUI sehingga berani mengusung tagline “Kerudung bersertifikat halal pertama di Indonesia”. 
 
Fenomena yang janggal ini awalnya memancing kebingungan umat Islam, sebab dalam anggapan umum halal haram barang konsumsi hanya diperuntukkan bagi produk yang masuk ke dalam tubuh semacam makanan, minuman dan obat-obatan. 
 
Energi dan waktu ulama disedot untuk menepis kebingungan yang menghinggapi umat, tapi seperti yang sudah-sudah ternyata niat baik untuk mencerahkan malah semakin membingungkan dengan usulan sebagian pihak untuk melakukan sertifikasi syari daripada sertifikasi halal yang dinilai kurang tepat untuk jilbab.
 
Kebingungan berubah menjadi kemarahan ketika merk dagang ‘Jilbab Halal’ menampilkan iklan yang memuat tulisan “Yakin hijab yang kita gunakan halal?”. Kontra argumentasi dilancarkan yang menuntut agar pihak dagang tersebut menunjukkan keberadaan jilbab yang haram atau tidak halal. Memang kebingungan begitu mudah memantik kemarahan, suatu mekanisme psikologis yang manusiawi bagi kebanyakan orang.
 
Cara pemasaran yang dilakukan merk dagang ‘Jilbab Halal’ tidak dapat dipahami sepenuhnya dengan mekanisme bujuk-rayu. Bujuk-rayu untuk menarik perhatian calon-konsumen dan memompa hasratnya hingga memunculkan keinginan untuk mengkonsumsi produk yang dipasarkan dilakukan dengan cara menampilkan kualitas-kualitas yang ‘baik’, menyenangkan dan menggoda. Sementara tagline dan iklan yang ditampilkan merk dagang ‘Jilbab Halal’ justru malah memancing kebingungan dan kemarahan sebagian umat Islam. 
 
Respon yang berkebalikan sebagaimana yang dikehendaki cara-cara bujuk-rayu. Alih-alih melancarkan bujuk-rayu, merk dagang ‘Jilbab Halal’ justru menebar rasa takut. Begitu banyak jumlah umat Islam yang awam dari kalangan muda dan baru saja mulai belajar Islam dalam kondisi iman yang sedang naik. 
 
Kalangan ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ajaran Islam yang seringkali dipahami baru sebatas halal dan haram. Halal dipahami pahala yang membawa ke surga, sementara haram dipahami dosa yang membawa ke neraka. Dengan menampilkan iklan yang memuat tulisan “Yakin hijab yang kita gunakan halal?”, secara psikologis memancing rasa takut kalangan ini sebab dipersepsikan jilbab yang digunakannya dalam status tidak pasti kehalalannya atau bahkan haram yang berarti adalah dosa, sehingga harus segera diganti dengan jilbab yang telah pasti status kehalalannya sesegera mungkin.
 
Di sinilah sertifikat halal MUI digunakan oleh merk dagang ‘Jilbab Halal’ untuk memberi kepastian status kehalalan yang tengah dicari kalangan ini.
 
Memang tidak lumrah memanfaatkan rasa takut calon-konsumen sebagai strategi pemasaran. Kalaulah benar merk dagang ‘Jilbab Halal’ menyasar kalangan umat Islam demikian, memanfaatkan rasa takut mendapatkan rasionalisasinya. Diri yang tengah dicekam rasa takut, apalagi kapasitas ilmu dan amal belum terbentuk ajeg, akan mudah diarahkan untuk tujuan tertentu. Dalam fenomena ini, rasa takut calon-konsumen dimanfaatkan merk dagang ‘Jilbab Halal’ untuk mengkonsumsi produk yang dipasarkannya.
 
Baik cara bujuk-rayu maupun menebar rasa takut, keduanya didasari motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan materi. Keduanya mengandalkan kecemasan calon-konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dipasarkan, hanya saja berbeda dalam mengkondisikan psikologis calon-konsumennya. 
 
Keduanya memanfaatkan rasa ingin memiliki terhadap sesuatu, hanya yang satu mendorong kemunculannya dengan memompa hasrat sementara yang satu lagi melalui sensitivitas terhadap ajaran agama.
 
Sisi yang menarik lagi dari iklan yang ditayangkan, merk dagang ‘Jilbab Halal’ hendak pula mendorong munculnya kegiatan konsumsi yang berterusan dari konsumennya. 
 
Setelah rasa takut hilang melalui produk yang menyandang kepastian status halal, rasa takut yang sama tidak mungkin dimunculkan kembali. Karena itu merk dagang ‘Jilbab Halal’ mengusung tagline Cantik-Nyaman-Halal dengan menempatkan kata Cantik pada urutan paling depan. 
 
Cantik adalah dambaan seluruh wanita dan tampil cantik dengan menggunakan jilbab tidak dapat dipungkiri adalah keinginan yang tidak dapat ditepis muslimah. 
 
Kata cantik dalam urutan pertama dan ditegaskan dengan menampilkan Laudya Cynthia Bella sedang mengenakan produk jilbab yang dipasarkan sebagai brand ambassador merk dagang ‘Jilbab Halal’ dalam ukuran mendominasi layout sudah cukup menarik intensi calon-konsumen yang telah reda rasa takutnya untuk tetap menjadi konsumen setia produk ‘Jilbab Halal’.
 
Dengan demikian persepsi produk yang dapat terbentuk ialah bahwa jilbab yang dipasarkan tidak saja menawarkan kenyamanan lahiriyah yakni tampil cantik, tapi juga kenyamanan batiniyah yakni kepastian status halal. Siapa yang sanggup menolak rasa inginnya?! (BERSAMBUNG) 
Editor :
Sumber : komunitas-kultura.com
- Dilihat 2269 Kali
Berita Terkait

0 Comments