Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 11/03/2016 12:00 WIB

Fenomena Jilbab Halal: Menebar Bujuk Rayu dan Rasa Takut (2)

Ilustrasi Wanita Berjilbab
Ilustrasi Wanita Berjilbab
Oleh: Andika Saputra 
 
Pemimpin Redaksi Komunitas-Kultura.com
 
Agar keuntungan materi terus terakumulasi melalui kegiatan konsumsi yang berterusan, selain menggunakan cara bujuk-rayu, Kapitalisme-lanjut juga melakukan diferensiasi produk yakni dengan cara mempersingkat masa-pakai produk melalui pengguliran trend yang lebih cepat bahkan terus semakin cepat. 
 
Diferensiasi perlu dilakukan sebab keinginan bersifat eksplosif dan nir-batas. Dalam artian keinginan memiliki produk terus meledak-ledak jika terus didorong untuk muncul walaupun produk yang diinginkan telah dimiliki. 
 
Untuk itu produk baru harus terus dimunculkan agar keinginan terus berada dalam kadar yang tinggi dengan cara terus menerus memompa hasrat calon-konsumen. Memang diferensiasi beberapa produk tidak dapat dilakukan secara longgar seperti produk elektronik yang dapat dilakukan kapanpun sepanjang tahun. 
 
Diferensiasi produk tertentu seringkali harus menunggu momen tertentu seperti sarung dan baju koko pada saat menjelang momen hari raya.   Serangan bujuk-rayu yang bertubi-tubi dan diferensiasi produk tanpa putus telah mengikis kesadaran-kritis calon-konsumen. 
 
Diri calon-konsumen yang terjerat bujuk-rayu dikuasai oleh kesadaran-palsu yang menjadikannya tidak dapat berpikir kritis dan rasional untuk mengambil keputusan terkait butuh atau tidak butuh suatu produk yang dipasarkan dan harga produk tersebut dengan kemampuan finansialnya. 
 
Secara psikologis, tumbuh rasa cemas yang mendorong diri untuk memiliki produk yang diiklankan dan rasa iri kepada pihak yang telah memiliki produk yang diinginkan. Kapitalisme-lanjut memunculkan pribadi-pribadi dengan kondisi psikologis yang tidak stabil. 
 
Sementara secara sosial memunculkan kalangan masyarakat yang disatukan oleh trend yang satu dengan lainnya saling memendam rasa iri terhadap kepemilikan produk. Masyarakat dengan kohesi yang ilusif karenanya sangat rapuh.
 
Dampak terjauh yang dialami pribadi yang terjerat cara-cara Kapitalisme-lanjut ialah mengkonstruksi identitas dirinya berdasarkan produk-produk yang dikenakannya. 
 
Siapa ia ditentukan oleh konsumsi nilai-tanda yang melekat pada produk yang dibeli dan dimilikinya. Tanpa mengenakan produk yang diiklankan oleh seorang tokoh agama, ia merasa tidak sebaik dan se-shalih(ah) ketika mengenakan produk tersebut. Perasaan ini dipicu anggapan bahwa dengan mengenakan produk demikian secara otomatis dalam lingkup sosiologis-imajiner ia menjadi bagian dari anggota komunitas tokoh agama tersebut. 
 
Bayangkan jika setumpuk produk dimiliki dengan beragam nilai-tanda yang melekat bahkan nilai-nilai yang saling kontradiktif, betapa rapuh identitas diri yang dikonstruknya. Antar waktu ia memandang dirinya dengan cara yang berbeda berdasarkan produk yang dikenakannya.
 
Tidak berarti sepenuhnya manusia dibentuk dan dapat dipengaruhi oleh produk yang dikenakannya. Begitupula tidak berarti suatu produk menentukan identitas diri pribadi yang mengenakannya. Manusia selalu memiliki kebebasan untuk memilih, termasuk memilih dengan apa mengkonstruksi identitas dirinya, bagaimana dirinya ditampilkan dan dikomunikasikan ke orang lain. 
 
Hanya saja kebebasan tersebut dirampas dengan terbentuknya kesadaran-palsu yang menjadikan calon konsumen tidak mampu mengambil keputusan secara mandiri dengan bergantung pada pihak lain untuk menentukan apa yang harus diputuskannya, yakni iklan yang terus bergulir tanpa putus dalam media informasi dan komunikasi. 
 
Siapa ia, apa yang harus dikenakannya dan bagaimana cara menampilkan diri diputuskan dan didikte oleh pihak lain yang melakukannya atas dasar keuntungan materi semata. (BERSAMBUNG)
Editor :
Sumber : komunitas-kultura.com
- Dilihat 3316 Kali
Berita Terkait

0 Comments