Opini /
Follow daktacom Like Like
Senin, 29/02/2016 08:30 WIB

Menimbang Kalijodo dan Dolly dalam Prespektif Niat

Ilustrasi Warung Remang remang
Ilustrasi Warung Remang remang
Oleh: Azeza Ibrahi Rizki, Jurnalis
 
 
Media massa nasional beberapa waktu ini banyak menyuguhkan berita tentang penggusuran wilayah Kalijodo Jakarta yang menyandang predikat buruk sebagai area prostitusi. Tentunya tidak berlebihan jika beberapa pihak membandingkan peristiwa di Ibukota tersebut dengan penutupan Gang Dolly di Surabaya.
 
Berbagai analisa, opini dan pendapat pun mengalir. Namun dibalik persamaan-persamaan dalam fenomena penggusuran Kalijodo dan penutupan Gang Dolly, rupanya yang banyak muncul justru perbedaan-perbedaan. 
 
Mulai dari metode dan cara penanganan yang tampak secara zahir berbeda entah karena faktor sosial dan budaya hingga efek yang muncul selama proses tersebut berlangsung. 
 
Namun jika ditelisik lebih jauh sebenarnya ada hal fundamental yang mendasari perbedaan sikap dan aksi dari masing-masing pihak dalam menghadapi persoalan prostitusi.
 
Mengutip Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung dari niatnya, maka perbedaan fenomena antara penggusuran Kalijodo dan penutupan Gang Dolly bisa kita refleksikan sebagai imbas dari persoalan niat dalam menghadapi lokalisasi pelacuran.
 
Bagi seorang Muslim, dasar niatan yang paling utama adalah demi menggapai ridhlo Allah SWT. Dan dengan dasar niat sedemikian, kita memiliki bukti sejarah bahwa betapa fenomena Hijrah (yang juga menjadi tautan utama Hadits soal niat) telah menjadi tonggak penting kesuksesan penyebaran agama Islam ke seluruh dunia.
 
Artinya, jika seorang muslim berlaku lampah didasari dengan niatan karena Allah SWT semata, maka efek positifnya pun akan terus berkembang sebagai bentuk nyata bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Oleh karenanya dalam persoalan penanganan prostitusi, kerangka berfikir serta kacamata yang digunakan kaum muslimin, sudah selayaknya sesuai dengan niatan mencari ridhlo Allah SWT.
 
Pada perkembangan kecenderungan masyarakat akhir-akhir ini, kita dapat melihat bahwa banyak persoalan yang justru dilihat, disikapi dan dihadapi dengan bingkai yang jauh dari niatan menggapai restu Ilahiah. Akibatnya penanganannya pun menjadi parsial dan justru berpotensi memicu persoalan baru.
 
Jika niatan memberantas prostitusi didasari hanya karena merusak rancangan tata kota, maka selesai menggusur habislah perkara. Padahal dalam kacamata Islam, persoalan prostitusi bukan sekedar masalah penggunaan lahan terbuka hijau secara illegal, namun disana juga ada masalah krisis moral, sosial, kesehatan dan bahkan pendidikan. Disini makin kentara, mengapa penggusuran Kalijodo tidak bisa disamakan dengan penutupan Gang Dolly
 
Dengan menanamkan niatan Lillahi ta’ala dalam setiap laku perbuatannya, sesungguhnya seorang muslim sedang berlepas diri dari batasan dan belenggu kepentingan manusiawi yang cenderung sempit. Imbasnya pun jelas, ketika dirinya berhadapan dengan masalah, maka ia dapat bersikap dengan jauh lebih tenang dan mampu mengambil perpektif lebih luas sehingga persoalan yang ia hadapi jelas ujung pangkalnya.
 
Selain itu, kerangka berfikir yang didasarkan pada niat yang ikhlas ini juga dapat meningkatkan daya kritis seseorang dalam mencerna setiap kejadian ataupun informasi yang hadir dalam keseharian. Sebab, secara otomatis kita akan menggunakan koridor Haq dan Bathil sehingga setiap berita yang diterima dapat dipisahkan antara yang bermanfaat atau malah merusak.
 
Namun demikian, mematri niatan dengan tujuan menggapai ridhlo Allah semata tentunya bukan hal mudah, apalagi konsisten menerapkannya dalam keseharian. Ini mengingat tantangan zaman yang justru banyak menawarkan konsep kebebasan nyaris tanpa batas hingga perceraian antara nilai agama dan tataran sosial.
 
Contoh paling nyata dapat kita lihat bahwa betapa Ulama-Ulama kita mendapat porsi siar yang sama atau bahkan jauh dibawah para pemuja syahwat di berbagai media, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberi andil akan berdirinya wilayah-wilayah seperti Kalijodo ataupun Gang Dolly.
 
Kenyataan ini sudah seharusnya menyadarkan kita bahwa sikap mawas diri tidak bisa ditaruh barang sejenak. 
 
Kewaspadaan yang dibarengi ketenangan pun seolah menjadi barang mahal, sebab perubahan yang begitu cepat, mudah memancing seseorang untuk mengambil sikap secara terburu-buru. 
 
Sementara di sisi lain, yang luarannya tampak rileks, ternyata tak jarang justru terbawa suasana dan larut tanpa dapat menunjukkan ketegasan dalam bersikap.
 
Disinilah, frasa “kembali pada niat” menjadi  relevan. Sebab makna dari Lillahi ta’ala bukan berarti menunjukkan kepasrahan total tanpa ada usaha karena sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Pencipta. Tapi dibalik kepasrahan tersebut, kita sadar bahwa Allah SWT sudah mengamanatkan kepada kita sebagai khalifah di bumi ini untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan tuntunanNya.
 
Jika kesadaran yang demikian sudah tumbuh secara kolektif di dalam nalar dan dasar berfikir umat Islam di Indonesia, maka kerja dan aksi yang mungkin tampak kecil akan tumbuh menjadi besar dan memberi manfaat yang luas.
 
Editor :
Sumber : Azeza Ibrahim
- Dilihat 4267 Kali
Berita Terkait

0 Comments