Nasional /
Follow daktacom Like Like
Senin, 25/11/2024 18:00 WIB

KONSEP GURU MENURUT MOHAMMAD NATSIR

GURU
GURU

DAKTA.COM _DAKTA.COM - Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mohammad Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa  tersebut.  Pernyataan  ini dikutip  oleh  Natsir,  karena  pada  saat  itu  minat  kalangan akademik untuk menjadi guru sudah menurun.

 

“Berkaitan   dengan   masalah   ini,   Natsir   menulis   artikel   dengan   kalimat pembuka : “Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak-anak saya”. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru-guru Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaan (alih profesi) dari yang semula sebagai  guru  menjadi  pegawai  Pos.  Hal  yang  demikian  terjadi,  antara  lain karena kesejahteraan pekerjaan sebagai guru, khususnya guru yang mengajar di sekolah partikelir sangat kecil atau kurang memadai. Karena itu, bagi seorang guru  akan  sulit  membiayai  pendidikan  anak  dan  biaya  hidup keluarganya apabila gajinya kecil.”

 

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan jika seorang guru harus dapat berkorban dan berminat untuk mejadi seorang pendidik, karena pekerjaan sebagai guru untuk mendidik anak dengan tidak diberikan upah yang mencukupi kebutuhan para guru. Dibutuhkan pengorbanan seorang guru pada saat itu untuk terus mengajar dan memberikan ilmu kepada siswanya.

 

Lebih lanjut Natsir mencoba menganalisis tentang sebab-sebab mengapa kalangan akademisi tidak mau menjadi guru. Dalam kaitannya ini Natsir menemukan dua alasan sebagai berikut:

  1. Mereka itu mungkin tidak pernah memiliki cita-cita menjadi guru, akan tetapi karena dipaksa ia masuk juga sekolah guru, hingga mendapatkan diploma. Dan setelah  mereka menjadi  guru  baru  menyadari  bahwa  pekerjaan  tersebut  tidak sepadan dengan keinginan hati kecil yang sebenarnya, sehingga pada setiap masuk kelas untuk mengajar, ia seperti berada dalam kamar tahanan yang membelenggu kreativitas dan cita-citanya, sehingga ia meminta untuk berhenti.
  2. Mereka pada mulanya memang bercita-cita menjadi guru, akan tetapi setelah ia memperoleh pendapatan yang tidak sebanding dengan kebutuhan rumah tangga, termasuk  biaya  pendidikan  anaknya  kelak,  maka  ia  memutuskan  untuk  alih profesi.  Sementara  itu  di  bidang  lain  terlihat  tampak  terbuka  kesempatan pekerjaan yang hasilnya jauh lebih besar, lalu ia meminta berhenti dan pindah pekerjaan.

 

Terkait persoalan guru, seperti diungkap di atas, Natsir mengutip dari DR.G.J.Nieuwenhuis “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut”. Makna lainnya adalah hal ini menjadi sebuah api tersendiri bagi Natsir mendapati kenyataan sangat minimnya minat menjadi guru. Kegelisahan Natsir ini sangat beralasan karena kenyataannya seorang tamatan HIK yang semula guru beralih profesi menjadi pegawai Pos. Alasan orang itupun sederhana dan familiar, kesejahteraan ekonomi yang tidak terjamin jika menjadi guru. Pesan  penting yang ingin disampaikan Natsir adalah seorang guru memerlukan pengorbanan. Dalam arti lain guru tidak bisa dijadikan sandaran pekerjaan, tetapi merupakan bentuk pengabdian.

 

Menanggapi kenyataan tersebut di atas, M. Natsir mengucapkan “selamat” terhadap mereka yang alih profesi. Yakni selamat untuk tidak mau berkorban. Biarkan tugas guru bagi mereka yang mau berkorban. Ungkapan M. Natsir ini menegaskan bahwa menjadi guru harus memiliki pengorbanan yang besar. Ia harus rela menanggung kesengsaraan hidup yang disebabkan oleh upah yang tidak memadai, sementara ia dituntut harus profesional dalam menjalankan tugasnya serta memiliki ruh keagamaan yang kuat.

 

Namun demikian, dalam prakteknya M. Natsir tidak menjadikan prinsipnya itu sebagai alat untuk menghibur guru-guru yang mengajar di Sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang ia pimpin. Ia tetap berusaha keras untuk mensejahterakan guru-guru partikelir walaupun harus menggadaikan gelang emas milik istrinya. Menurut Adian Husaini, “ Natsir bukan hanya politisi handal, dia adalah seorang pejuang pendidikan yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya”.

 

Bagi  Natsir,  guru  adalah  sosok  teladan  bagi  anak-anak  sehingga tidak hanya pandai dalam pengajaran saja, tetapi juga sebagai contoh bagi anak-anak dalam tingkah laku dan tutur katanya. Natsir merasa senang membimbing anak-anak yang memang mau maju. Dan anak-anak itu agaknya merasa senang pula pelajaran di situ, gurunya ramah serta menghargai setiap murid sebagai pribadi. Merekapun dapat menanyakan hal-hal yang tidak diketahuinya secara lebih mendalam yang selalu dilayani gurunya dengan penuh perhatian. Kesan-kesan yang baik itu agaknya disampaikan kepada kawan-kawannya yang lain, sehingga bulan  berikutnya  ada  lagi  beberapa  murid  yang  datang  mendaftar.

 

Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan kurang lebihnya konsep guru menurut Natsir haruslah memiliki sifat sabar, tekun, ramah, menghargai setiap murid, selalu melayani murid-murid dengan penuh perhatian, dan selalu memberi kesempatan kepada murid untuk menanyakan hal-hal yang belum diketahui.

 

Guru sangat  penting dan  berharga  karena jasa-jasanya yang tak ternilai untuk kemajuan bangsa. Seorang guru harus memiliki sikap profesionalitas, ikhlas, tulus dalam mengemban amanah sebagai guru. Karena guru adalah tonggak kemajuan bagi suatu peradaban yang maju mundurnya suatu bangsa dilihat dari pendidikan yang berlaku pada suatu bangsa tersebut.

 

Natsir juga terkenal selain seorang yang taat beragama juga sangat mengecam kepada seseorang yang dalam mengerjakan ibadah hanya mengikuti gurunya saja atau taqlid, sehingga untuk menjadi guru juga harus seorang yang memang memiliki ilmu yang benar-benar tahu dari mana sumbernya bukan hanya tahu dari gurunya yang telah mengajarinya dahulu.

 

Dari pemaparan M. Natsir di atas nampak jelas titik tekan kompetensi pendidik yang harus dimiliki adalah kompetensi kepribadian. Sangat realistis jika Natsir menekankan pada personality, karena jika berkaca pada sejarah, keberhasilan Nabi SAW, sebagai pendidik didahului oleh bekal kepribadian (personality) yang berkualitas unggul ini ditandai dengan kepribadian Rasul yang dijuluki al-Amin yakni orang yang sangat jujur dan dapat dipercaya, kepedulian Nabi terhadap masalah-masalah sosial religius, serta semangat dan ketajamannya dalam iqro’ bismirobbik. Kemudian beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman dan amal saleh, berjuang dan bekerja sama menegakkan kebenaran.

 

Pemikiran Natsir terhadap pendidikan sebenarnya sama dengan pandangannya terhadap kehidupan. Pandangan Natsir tentang Islam yang integral antara dunia dan akhirat tersebut selanjutnya memengaruhi pandangannya tentang integrasi pendidikan agama dan pendidikan umum yang selanjutnya mengarah pada penghapusan dikotomi antara keduanya. Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup (way of life) bagi seluruh umat manusia yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, material dan spiritual, dan seterusnya. Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan di muka bumi dan harus melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia.

 

Kompleksitas masalah pendidikan tidak hanya berhenti pada dikotomi ilmu. Persoalan guru juga masih menjadi diskursus aktual hingga saat ini. Gaji, profesionalisme, kompetensi, merupakan contoh kecil yang menjadi kerikil dalam mencapai hilir dalam proses pendidikan. Peran dan tanggung jawab pendidik (guru) dalam proses pendidikan sangat berat.

 

Seperti yang diuraiakan oleh Suryo Subroto, Pendidik berarti orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah SWT dan mampu melakulan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.

 

Ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik, yaitu; Kematangan diri yang stabil, artinya memahami diri sendiri, mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain. Kematangan sosial yang stabil, maksudnya dalam hal ini pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain. Kematangan professional (kemampuan mendidik), Yakni menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendidik.

 

Apalagi dalam konteks pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan dalam Islam terkait dengan nilai-nilai, yang melihat guru bukan saja pada penguasaan material pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan ke arah pembentukan kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam pendidikan Islam, guru dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berperilaku yang baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus mempraktikkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.

 

Bisa   diartikan   juga   bahwa   pemikiran   M.   Natsir   tentang   pendidik mendekati pemikiran filosof muslim. Al-Ghozali semisal, menganjurkan agar setiap pendidik memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

  1. Seorang guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid-muridnya dan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap diri sendiri.
  2. Tidak mengharapkan  balas  jasa  ataupun  ucapan  terimakasih,  tetapi  dengan mengajar itu ia bermaksud mencari keridhoan Allah dan mendekatkan  diri kepada-Nya.
  3. Mencegah murid dari suatu akhlaq yang tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin dengan terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela.
  4. Memperhatikan tingkat akal fikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan  menyampaikan  sesuatu  yang  melebihi tingkat  daya  tangkap  para siswanya  agar  ia  tidak  lari  dari pelajaran, atau bicaralah dengan bahasa mereka.
  5. Seorang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlainan kata dengan perbuatannya.

 

Selain pribadi yang religius terlihat pemikiran Natsir yang revolusioner, dalam arti budaya taqlid yang menjamur, perlahan ingin dikikis oleh Natsir. Ia berpandangan bahwa Islam sangat menghormati kedudukan akal, dan untuk itu ia meletakan penghormatan Islam terhadap akal sebagai sumber pertama kekuatan Islam, di atas kewajiban menuntut ilmu, dilarang bertaklid, kritis,  inisiatif, dan akulturasi. Dalam hal ini beliau memaparkan :

 

“Tegasnya, Islam melarang bertaklid buta kepada paham dan i'tikad jang tak berdasar kepada Wahju Tuhan, yaitu jang hanya turut paham Mama jang turun-temurun saja, dengan tiada pemeriksaan tentang studi atau tidaknya.”

 

Natsir ingin menegaskan kembali bahwa Islam menolak sikap taklid buta. Al-Qur'an dengan tegas mencela manusia yang tidak menggunakan akalnya. Islam menghargai akal manusia dan melindunginya dari pada tindasan-tindasan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Tuhan yang tidak ternilai itu. Islam mendorong orang mempergunakan akalnya, dan mencela orang yang tidak mempergunakan akalnya. Meskipun konsep pendidikan Islam Mohammad Natsir saat ini sudah terimplementasi dalam wujud sistem pendidikan Madrasah dan Sekolah Islam Terpadu, akan tetapi kualitas guru yang mampu menerjemahkan konsep integral, harmonis dan universal dalam pendidikan Islam harus ditingkatkan. Kunci utama kesuksesan pendidikan adalah guru yang memiliki kepribadian dan kecakapan yang baik. Guru yang siap berjuang dan rela berkorban.

 

Bukan guru yang pribadi dan kinerjanya hanya diukur dengan berapa gaji dan tunjangan didapatkan. Akan tetapi guru juga harus mendapatkan penghargaan lebih daripada profesi yang lain. Karena guru bertugas untuk mempersiapkan pemimpin bangsa dan menjaga kepribadian bangsa. Oleh karena beratnya tugas tersebut Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat wajib memperhatikan dan memenuhi segala kebutuhan guru agar mereka dapat fokus dan maksimal dalam bertugas pada tugas mereka yang sangat mulia tersebut.

 

Referensi:

Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta : Media Da’wah, 2014)

Mohammad Natsir, Capita Selecta 1, (Jakarta : Bulan Bintang : 2014)

Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983 (Bandung: Gema Syahida, 1995)

Adian Husaini, VirusLiberalisme di Perguruan Tinggi Islam (Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2009)

Ajip Rosidi, M.Natsir Sebuah Biografi

Muhaimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)

B Suryosubrata, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan (Jakarta: Bina Aksara, 1983)

Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif (Yogyakarta: Diva Press, 2011)

Hamdani Ihsan dan H.A Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam

 

 

Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 186 Kali
Berita Terkait

0 Comments