Nasional /
Follow daktacom Like Like
Senin, 04/11/2024 07:00 WIB

Kebijakan Dan “Potensi Keuntungan”, Sepatutnya Tidak Digunakan Dalam Tindak Pidana Kerugian Keuangan Negara

033789300 1661756943 ilustrasi korupsi
033789300 1661756943 ilustrasi korupsi

DAKTA.COM _Mengutif informasi dari website kantor berita yang memberitakan “Nama eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, belakangan ini jadi sorotan publik. Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa, 29 Oktober 2024. Dalam keterangan resminya, Kejagung menyatakan ada kerugian negara sekitar Rp 400 miliar dalam kasus tersebut. Kerugian negara itu disebut berasal dari potensi keuntungan yang seharusnya diterima PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Kejagung menjerat Tom Lembong dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).” 

 
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut: 
 
Pertama, pendapat hukum terkait kebijakan.  Pendekatan pidana pada ranah hukum administrasi, perlu ditinjau ulang. Kebijakan masuk kedalam ranah hukum administrasi, jika terdapat kekeliruan maka kebijakan tersebut dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh pembuatan kebijakan tersebut (asas contrarius actus actus), atau dapat dibatalkan oleh Pengadilan TUN (Tata Usaha Negara) jika kebijakan tersebut bersifat beckshickking (penetapan konkret dan individual), jika bersifat regelling (peraturan) yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) maka dapat diajukan HUM (Hak Uji Materiil) di Mahkamah Agung. 
 
Apabila terdapat kekeliruan terhadap kebijakan, maka sanksi yang memungkinkan adalah sanksi administratif dari pimpinan yang lebih atas. Sanksi pidana semestinya tidak diterapkan atas kebijakan, sehingga pendekatan pidana dalam ranah kebijakan berpotensi mengacaukan hukum.  
 
Kecuali apabila terdapat “persekongkolan jahat” untuk melakukan “tindakan kejahatan”, sedangkan “tindakan kejahatan” tersebut tidak dapat terlaksana tanpa ada kebijakan. Maka yang dapat dipidana adalah persekongkolan jahatnya dan tindakan jahatnya, tetapi bukan pada ranah kebijakan dikarenakan kebijakannya sendiri bukan pada ranah pidana. 
 
Kedua, pendapat hukum terkait “potensi kerugian negara”  Apabila seseorang ditetapkan tersangka atas tuduhan merugikan keuangan negara, sedangkan kerugian negara itu berasal dari “potensi keuntungan” yang seharusnya diterima oleh negara melalui perusahaan milik negara. 
 
Dalam hal ini saya berpendapat bahwa “potensi keuntungan” tidak dapat dijadikan dasar penetapan tersangka kepada seseorang. Frasa “potensi keuntungan” secara tafsir kebalikan (contrario) adalah uang tersebut belum menjadi milik negara. Penggunaan unsur pidana “merugikan keuangan negara” menurut hemat saya adalah berkurangnya uang milik negara bukan berkurangnya potensi keuntungan/pendapatan artinya uang negara tersebut bersifat pasti dan nyata, bukan angan/angan atau potensi. 
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK yang berbunyi: “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 
 
Saya berpendapat bahwa unsur “kerugian keuangan negara” adalah delik materil, sehingga kerugian keuangan atau daerah bersifat nyata dan pasti ini, adalah kata lain dari kerugian itu harus betul-betul ada dan merupakan akibat yang nyata, bukan potensi. Jika “potensi keuntungan” digunakan maka akan rancu dan melebar (obscuur). 
 
 
Demikian. 
Terimakasih 
 
IG @chandrapurnairawan
Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 121 Kali
Berita Terkait

0 Comments