Rabu, 07/08/2024 13:00 WIB
AILA Indoneisa Menentang Aturan Alat Kontrasepsi Bagi Pelajar
DAKTA.COM - Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Juli 2024 lalu telah menandatangani PP 28/2024 yang antara lain mengatur tentang kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, pelayanan aborsi, dan konsepsi perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e, Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, serta Pasal 129 ayat (2) huruf d.
Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA Indonesia) merasa perlu memberikan catatan terhadap sejumlah pasal tersebut sebagai berikut:
- Frasa “penyediaan alat kontrasepsi” yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e PP 28/2024 sebagai bentuk pelayanan kesehatan berpotensi menimbulkan miskonsepsi dan multitafsir karena justru dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan terhadap perilaku seks bebas di kalangan anak sekolah dan remaja. Padahal perilaku seks bebas di kalangan pelajar merupakan fenonema yang harus mendapatkan perhatian dari pemerintah. Karena, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tercatat bahwa sebanyak 60% dari remaja Indonesia usia 16-17 tahun telah melakukan hubungan seksual, sebanyak 20% pada usia 14-15 tahun, dan sebanyak 20% pada usia 19- 20 tahun.
- Selain itu, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut tentang bentuk dan mekanisme penyediaan alat kontrasepsi tersebut di dalam PP 28/2024 dan juga terdapat ketidakjelasan kategori “anak sekolah dan remaja” yang boleh mendapatkan pelayanan kontrasepsi. Hal tersebut menyebabkan Pasal 103 ayat (3) huruf e dapat dimaknai bahwa penyediaan alat kontrasepsi dapat diberikan kepada mereka yang belum menikah.
- Pencegahan dan penanganan perilaku seks bebas di kalangan usia sekolah dan remaja dapat diupayakan oleh pemerintah dengan memaksimalkan program yang selama ini telah berjalan dengan menggunakan pendekatan konsep “ketahanan remaja” yang dapat dikembangkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan berkeluarga bagi anak sekolah dan remaja. Bukan dengan membuat aturan yang justru berpotensi untuk melegalisasi dan menormalisasi “penyediaan alat kontrasepsi”.
- Berkenaan dengan pelayanan aborsi pada korban “kekerasan seksual lainnya” yang tertera pada Pasal 129 ayat (2) huruf d pada PP 28/2024, menurut kami frasa “kekerasan seksual lainnya” sebaiknya dihapus dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Konsep kekerasaan seksual sendiri adalah konsep yang tidak sesuai dengan Pancasila dan norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia, karena asasnya adalah sexual consent (yakni persetujuan dalam perilaku seksual atau suka sama suka).
- Bentuk-bentuk kekerasan seksual sangat beragam dan tidak memiliki definisi yang jelas sehingga dapat menimbulkan multitafsir terkait frasa “kekerasan seksual lainnya”. Hal ini disebabkan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sifatnya khusus (lex specialis) yang menjadi rujukan PP 28/2004 tersebut, tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan frasa “kekerasan seksual lainnya”. Frasa “kekerasan seksual lainnya” justru diatur dalam Penjelasan Pasal 463 ayat (2) KUHP yang sifatnya umum (lex generalis). Kondisi tersebut tentunya akan mempersulit penegakkan hukum tindak pidana seksual dan berpotensi digunakan untuk menjustifikasi aborsi secara bebas.
- AILA Indonesia menilai bahwa frasa “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” yang tertera dalam Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, tidak jelas batasan dan tujuannya. Selain itu, frasa tersebut juga bersifat kontraproduktif dengan sejumlah pasal dalam PP 28/2024, sehingga dikhawatirkan justru akan menyuburkan perilaku seks bebas karena memfasilitasi penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja serta memberikan “kelonggaran” dalam pelayanan aborsi.
- AILA Indonesia meyakini niat baik pemerintah dalam isu kesehatan bagi generasi muda Indonesia dan mengapresiasi Pasal 98 dalam PP 28/2024 yang berbunyi “upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama”. Namun agar tujuan tersebut dapat tercapai dan tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya, maka kami berharap pemerintah dapat merevisi atau mencabut Pasal 103 ayat (3) huruf e, Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, serta merevisi Pasal 129 ayat (2) huruf d pada PP 28/2024.
Reporter | : | Ardi Mahardika |
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
- KONSEP GURU MENURUT MOHAMMAD NATSIR
- Baitul Maqdis Institute Sampaikan 11 Resolusi Palestina dan Dunia Islam kepada Wakil Menlu RI, Anis Matta
- Empat Alasan Mengapa UU Pengelolaan Zakat Rugikan LAZ
- IDEAS: Dana BOS Tak Cukup Angkat Kesejahteraan Guru Honorer
- Bamsoet Minta Polri Jerat Bandar Narkoba Dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
- UMKM Pertanian-Perikanan yang Utangnya Dihapus
- Kebijakan Dan “Potensi Keuntungan”, Sepatutnya Tidak Digunakan Dalam Tindak Pidana Kerugian Keuangan Negara
- INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI HARUS BERLANJUT DENGAN PEMBENAHAN
- Nama Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
0 Comments