Nasional /
Follow daktacom Like Like
Senin, 06/03/2023 16:00 WIB

Partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain Belum Optimal

CIPS
CIPS

JAKARTA , DAKTA.COM -  Partisipasi Indonesia di dalam Global Value Chain (GVC) atau rantai nilai global masih belum optimal dan masih perlu ditingkatkan.

 

“Selain masih didominasi oleh produk manufaktur sederhana, angka partisipasi forward dan backward Indonesia dalam GVC juga mengalami penurunan,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.

 

Partisipasi forward adalah kondisi dimana sebuah negara mengekspor barang antara ke luar negeri yang digunakan sebagai bahan baku produk barang jadi di negara lain.

 

Sementara itu, partisipasi backward dalam adalah partisipasi dimana sebuah negara mengimpor barang antara dari luar negeri untuk dijadikan bahan baku produk jadi yang hasilnya akan digunakan untuk tujuan ekspor.

 

Menurut Asian Development Bank, partisipasi forward Indonesia dalam GVC turun dari 21,5% di tahun 2000 menjadi 12,9% di 2017. Di sisi lain, partisipasi backward juga turun dari 16,9% di tahun 2000 menjadi 10.1% di tahun 2017.

 

Penurunan ini menunjukkan berkurangnya impor barang antara karena Indonesia lebih banyak menggunakan produk antara olahan dalam negeri seiring dengan tumbuhnya industri hulu.

 

Penurunan ini menunjukkan berkurangnya ekspor barang antara Indonesia ke luar negeri karena dialihkan untuk konsumsi domestik.

 

Menurunnya partisipasi forward maupun backward Indonesia di dalam GVC terjadi karena beberapa alasan, demikian dilanjutkan Hasran.

 

Pertama, kebijakan industri dalam negeri cenderung mengorbankan industri hilir demi menyokong pembangunan industri hulu. Langkah pemerintah ini ditindaklanjuti dengan persyaratan tingkat penggunaan komponen dalam negeri (TKDN).

 

TKDN secara tidak langsung membatasi perusahaan menggunakan bahan baku impor yang lebih murah dan berkualitas. Pada akhirnya, hal ini mengurangi daya saing perusahaan Indonesia di pasar global.

 

Menyokong industri hulu telah menyita sumber daya pemerintah yang seharusnya difokuskan ke industri hilir yang lebih canggih dan memiliki nilai tambah yang tinggi. Dalam kata lain, sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah terbatas sehingga mustahil untuk membangun industri hulu dan hilir secara bersamaan.

 

Lalu partisipasi backward dalam GVC masih terhambat oleh kebijakan non-tarif atau non-tariff measures (NTM).

 

Dua jenis NTM di Indonesia yang dianggap sebagai penghambat impor adalah proses pengajuan persetujuan impor yang cukup kompleks dan pembatasan kuota impor yang kurang transparan.

 

Menurut Bank Dunia, tingkat partisipasi suatu negara dalam GVC ditentukan oleh faktor fundamental seperti endowment (lahan, tenaga kerja, SDA, permodalan), geografis, institusi, dan pangsa pasar. Untuk itu, Indonesia perlu melakukan penyesuaian terhadap kebijakan domestik.

 

Pertama, untuk memaksimalkan faktor endowment, Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang mampu meningkatkan akses pembiayaan dan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan pelatihan, pendidikan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang fleksibel.

 

Cara tercepat dalam memaksimalkan faktor endowment adalah melalui penarikan investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).

 

FDI adalah penanaman modal asing oleh negara lain ataupun perusahaan multinasional ke Indonesia dalam bentuk greenfield FDI maupun brownfield FDI. Melalui greenfield FDI perusahaan multinasional melakukan pembangunan perusahaan/ pabrik baru di Indonesia.

 

Sedangkan brownfield FDI berarti perusahaan multinasional mengakuisisi atau melakukan merger dengan perusahaan lokal.

 

“Namun, perusahaan multinasional tidak akan begitu saja melakukan merger atau membangun pabriknya di Indonesia karena pada dasarnya langkah tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” tandasnya.

 

Sumber : CIPS
- Dilihat 641 Kali
Berita Terkait

0 Comments