Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 29/11/2022 18:00 WIB

Industri Kecil Menengah Perlu Dibebaskan dari Cukai Minuman Berpemanis

MINUMAN BERPEMANIS
MINUMAN BERPEMANIS

 

JAKARTA, DAKTA.COM -  Industri Kecil Menengah (IKM) perlu dibebaskan dari cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) karena kebijakan ini dapat mempengaruhi kinerja industri makanan minuman (mamin) dalam bentuk penurunan volume penjualan dan kenaikan harga.

 

Cukai MBDK merupakan wacana lama yang implementasinya direncanakan pada tahun 2023. Target pencanangan tersebut mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi nasional dan daya beli masyarakat,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.

 

Ia menambahkan, kebijakan ini juga menambah beban konsumen karena cukai akan didistribusikan ke konsumen secara langsung melalui instrumen kenaikan harga. Hal ini berpotensi mengurangi minat konsumen dalam mengonsumsi produk.

 

Pengenaan tarif cukai minuman berpemanis akan didasarkan pada kandungan gula dan pemanis buatan yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi kadar gulanya maka akan semakin tinggi juga besaran cukai yang akan dikenakan.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani di 2020 mengusulkan tiga jenis minuman berpemanis yang akan dikenakan tarif MBDK, yaitu teh kemasan dengan tarif Rp 1.500 per liter, minuman berkarbonasi Rp 2.500 per liter serta minuman berenergi dan kopi konsentrat sebesar Rp 2.500 per liter.

 

Kemungkinan besar Industri Besar dan Sedang (IBS) sektor makanan minuman akan memilih untuk mereformulasi produknya dengan kadar gula yang lebih rendah. Namun, perusahaan juga membutuhkan waktu untuk mengambil langkah ini mengingat risiko yang ditimbulkan juga cukup signifikan. 

 

Data BPS menunjukkan, industri makanan minuman merupakan salah satu industri yang tumbuh positif selama pandemi Covid-19. Selama empat triwulan berturut-turut di tahun 2020, kontribusinya terhadap GDP indonesia tumbuh masing-masing sebesar 3,94%, 0,22%, 0,66%, dan 1,66% secara tahunan (y-o-y).

 

Namun, peningkatan ini ditopang oleh pertumbuhan pada IBS yang hanya 1% dari total unit usaha industri makanan minuman di seluruh Indonesia. Secara kuantitas, 99 persen perusahaan di sektor ini didominasi oleh IKM. Saat pandemi Covid-19 merebak, banyak IKM sektor makanan minuman berhenti beroperasi.

 

Data BPS menunjukkan di 2020, industri kecil dana mikro sektor minuman mengalami penurunan produksi selama empat triwulan berturut-turut pada tahun 2020 yaitu sebesar -1,63%, -6,20%, -8,72%, -9,16% secara tahunan (y-o-y). Begitu juga dengan IBS sektor makanan mengalami penurunan produksi tiap triwulannya sebesar -5,64%, -11,80%, -11,47%, dan -8,99% secara tahunan (y-o-y).

 

“Ketika ekonomi nasional mulai pulih, banyak pelaku usaha sektor ini yang kembali mengoperasikan usahanya. Namun mereka kembali dihadapkan dengan tantangan lain, seperti kenaikan harga BBM bersubsidi. Tarif MBDK yang akan diberlakukan nanti sudah pasti akan semakin menambah beban pada biaya produksi,” tandasnya.

 

Sejauh ini posisi IKM sektor makanan minuman dalam cukai MBDK masih belum jelas karena subjek cukai MBDK masih belum ditetapkan. Namun, apabila subjeknya diperluas ke IKM, kebijakan ini akan menambah beban yang ditimbulkan oleh pandemi dan kenaikan harga BBM bersubsidi.

 

Pemerintah perlu memberikan kepastian waktu penerapan cukai MBDK terlepas dari kondisi apapun yang akan dihadapi Indonesia. Kepastian waktu ini juga penting untuk menghilangkan “uncertainty” atau ketidakpastian yang berpotensi mempengaruhi sikap investor IBS sektor makanan minuman.



 

 

Sumber : CIPS
- Dilihat 1238 Kali
Berita Terkait

0 Comments