Nasional /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 19/07/2022 10:00 WIB

Implementasi Aturan User Generated Content Ancam Kebebasan Berekspresi

KONTEN
KONTEN

DAKTA.COM - Implementasi regulasi yang berkaitan dengan User Generated Content (UGC) atau konten buatan pengguna di Indonesia masih perlu diperjelas karena mengancam kebebasan berekspresi, penelitian Center or Indonesian Policy Studies (CIPS) memperlihatkan.

 

“Tanpa definisi jelas untuk konten yang dilarang, berisiko menyebabkan PSE terlalu berhati-hati hingga memblokir konten secara berlebihan,” jelas Peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan.

 

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, melarang jenis konten tertentu tanpa memberikan batasan yang jelas, terutama untuk konten yang dianggap “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”.

 

Penelitian CIPS menemukan, berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Indonesia pada 29 Oktober 2005, pemerintah bisa membatasi kebebasan berekspresi untuk tujuan keamanan nasional dan perlindungan harga diri manusia terhadap rasisme, hoaks, ujaran kebencian, dan penistaan (ICCPR, 1976). Pembatasan ini dilakukan melalui UU dan peraturan.

 

Namun, dengan tidak jelasnya batasan “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, pembatasan yang ada bisa memperburuk kebebasan berekspresi di Indonesia.

 

Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 mendefinisikan PSE lingkup privat sebagai sistem elektronik yang dijalankan oleh orang, badan usaha, atau masyarakat. PSE ini diwajibkan untuk memastikan platform mereka tidak mengandung atau memfasilitasi transmisi konten yang dilarang. 

 

Pendefinisian konten yang dilarang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum Permenkominfo tersebut, yaitu konten yang melanggar perundangan dan peraturan di Indonesia atau apapun yang meresahkan atau mengganggu ketertiban masyarakat.  

Namun, lanjut Pingkan, definisi konten yang dilarang telah mengalami beberapa kali perubahan dari peraturan-peraturan sebelumnya seperti Permenkominfo Nomor 19 tahun 2014 terkait Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dan Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk UGC.

Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 kemudian mencabut Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Akibatnya, istilah “konten negatif” tidak lagi digunakan, dan meskipun sudah ada upaya untuk memperjelas definisi konten yang dilarang, tetap masih terdapat ambiguitas.  

 

Jika konten yang dilarang didefinisikan secara rigid juga tidak menjawab permasalahan yang ada. Untuk itu, CIPS merekomendasikan pemerintah untuk menggunakan pendekatan koregulasi atau pengaturan bersama dalam meregulasi user generated content dengan pihak swasta. Dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab dalam implementasi regulasi akan membantu proses hukum menjadi lebih relevan dan terus berkembang seiring cepatnya perkembangan lanskap digital yang sangat dinamis.

 

Pengaturan bersama, yaitu pendekatan regulasi yang berfokus pada pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan non-pemerintah dalam lanskap kebijakan, harus dipertimbangkan dalam formulasi hingga implementasi regulasi karena cara ini dapat membantu pemerintah dan juga pihak platform dalam menilai suatu konten memiliki dampak buruk bagi masyarakat atau tidak dengan adanya ruang dialog dan due process.

 

 

 

 


 

 

 

Sumber : CIPS
- Dilihat 1096 Kali
Berita Terkait

0 Comments