Nasional /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 23/06/2022 06:00 WIB

Penggugat Nilai Putusan MK soal Status Ketua-Wakil Sarat Kepentingan

MK
MK

DAKTA.COM –  Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) selaku salah satu penggugat UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi menilai putusan MK pada Senin (20/6) sarat kepentingan politik.

 

Anggota koalisi dari KoDe Inisiatif Violla Reinida mengatakan putusan MK yang membatalkan Pasal 87 huruf a memperlihatkan bahwa mayoritas hakim konstitusi ingin memperebutkan posisi ketua dan wakil ketua MK.

"Terlihat arah yang dikehendaki mayoritas hakim konstitusi adalah mengubah konfigurasi Ketua dan Wakil Ketua MK. Pada sembilan bulan ke depan, publik akan menyaksikan mayoritas hakim konstitusi berpolitik untuk memperebutkan posisi ini," kata Violla dalam keterangannya, Rabu (22/6).

 

Dengan adanya putusan MK itu, ketua-wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama sembilan bulan sejak putusan dibacakan. Ketua-wakil ketua MK saat ini tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatannya hingga 5 tahun.

Sementara sebelumnya UU MK tahun 2020 memperpanjang jabatan ketua-wakil ketua MK dari semula hanya 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun.


Violla juga mengatakan putusan tersebut memperlihatkan bagaimana mayoritas hakim menyambut perpanjangan masa jabatan.


Para hakim disebut berusaha mempertahankan ketentuan yang memperpanjang masa jabatan mereka. Menurutnya, para hakim memilih persoalan yang sarat kepentingan mereka.


"Jika MK memiliki semangat untuk menghindari konflik kepentingan dan menegakkan supremasi konstitusi serta marwah kekuasaan kehakiman, setidak-tidaknya perpanjangan masa jabatan diberlakukan bagi para hakim pada periode berikutnya," ujar dia.


Lebih lanjut, pada putusan nomor perkara 56/PUU-XX/2022, Violla menilai MK seolah ingin memilah-milah siapa yang akan mengawasi mereka dalam penegakan etik.


Diketahui, pada Pasal 27A ayat (1) huruf b, MK menghapus unsur Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan MK dan menggantinya dengan tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun.


"Terlihat bagaimana MK memilah-milah sendiri hendak diawasi oleh siapa dengan membatalkan keberadaan unsur satu orang dari Komisi Yudisial pada Mahkamah Kehormatan MK," kata Violla.


"Celakanya, MK tidak membatalkan unsur satu orang dari hakim konstitusi aktif dalam struktur Mahkamah Kehormatan MK, padahal sarat akan konflik kepentingan," lanjutnya.


Sebelumnya, pada Senin (20/6), MK memutus empat perkara pengujian formil dan materiil UU MK Nomor 7 Tahun 2020.


Empat perkara itu adalah Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Allan Fatchan Gani Wardhana, Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Priyanto, Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Violla Reininda dkk, dan Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan Ignatius Supriyadi.


Dalam putusannya pada perkara nomor 90/PUU-XVIII/2020 dan 100/PUU-XVIII/2020, MK menolak seluruh pengujian formil dan memutus pengujian materiil tidak dapat diterima karena para pemohon dianggap tidak memenuhi legal standing.


Sementara itu, pada putusan nomor 96/PUU-XVIII/2020, MK mengabulkan sebagian dan menyatakan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki hukum mengikat.

 

 

 

Sumber : CNN INDONESIA
- Dilihat 828 Kali
Berita Terkait

0 Comments