Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 21/06/2022 08:00 WIB

Kesenjangan Antara Literasi dan Inklusi Keuangan Lemahkan Posisi Konsumen

LITERASI KEUANGAN
LITERASI KEUANGAN

 

DAKTA.COM-  Kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan cukup besar dan hal ini perlu diatasi. Kesenjangan ini melemahkan posisi konsumen dalam memahami informasi yang memadai mengenai produk dan layanan jasa keuangan serta apa yang menjadi risiko maupun hak-hak mereka.

 

“Dibutuhkan upaya yang lebih terstruktur dan lebih masif dari semua pelaku industri jasa keuangan dan pemerintah untuk lebih mengarusutamakan literasi keuangan,” terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan.

 

Survei literasi keuangan yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2013 menunjukkan, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di angka 21,84 persen. Sementara inklusi keuangan berada di angka 59,7 persen.

 

Sementara itu, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) tahun 2019 menunjukkan kemajuan di kedua bidang, namun belum banyak mempersempit kesenjangan di antara keduanya. Tingkat literasi keuangan mencapai 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.

 

Kesenjangan literasi keuangan juga terjadi antara wilayah pedesaan yang sebesar 34,53 persen dan perkotaan yang sebesar 41,41 persen.

 

Jika dilihat berdasarkan sektor, penguasaan literasi keuangan tertinggi adalah pada sektor perbankan yang sebesar 73,88 persen. Sedangkan yang terendah adalah tentang sektor pasar modal sebesar 1,55 persen dan lembaga keuangan mikro yang sebesar 0,72 persen.

 

Penelitian CIPS berjudul “Menciptakan Konsumen yang Terinformasi: Melacak Program-Program Literasi Keuangan di Indonesia” menemukan beberapa permasalahan yang berkontribusi pada lebarnya kesenjangan literasi dan inklusi keuangan. Yang pertama adalah fokus dari konten program literasi keuangan berbeda-beda di tiap negara dan kawasan. Di Indonesia, fokusnya adalah menangani masalah keterlilitan utang dan pinjaman.

 

Dalam kontroversi terkait pinjaman online, salah satu kekhawatiran yang paling banyak diutarakan masyarakat selaku konsumen adalah tingginya suku bunga (1–3 persen per hari).

 

Namun demikian, data dari Departemen Perlindungan Konsumen (DPLK) OJK menunjukkan bahwa konsumen lebih khawatir tentang praktik penagihan utang yang agresif, ketidakmampuan melunasi (dan selanjutnya merestrukturisasi utang), dan memilih produk legal di tengah banyaknya pemberi pinjaman online yang ilegal.

 

Selain itu, lanjut Pingkan, sistem pelaporan kredit di Indonesia belum cukup kuat, dan sistem identitas nasional yang ada saat ini belum mampu mencegah pencurian identitas yang kian marak terjadi. Selain itu, karena izin tidak dibutuhkan untuk meminjamkan uang secara informal, jumlah pinjaman online ilegal kian membludak.

 

Kekhawatiran literasi keuangan digital masih berfokus pada tujuan jangka pendek, seperti memastikan akses konsumen terhadap produk-produk yang legal dan taat peraturan.

 

Isu-isu jangka panjang terkait peningkatan kesejahteraan konsumen, membangun profil kredit, mengelola eksposur kredit, dan perencanaan keuangan secara jangka waktu yang lebih lama belum disentuh oleh program-program literasi keuangan dari OJK dan industri keuangan.

 

Penelitian CIPS merekomendasikan, OJK dan industri keuangan sebagai satu kesatuan harus memperbaiki kualitas program-program literasi keuangan yang ada dari segi keragaman, konten, dan metode penyampaian dalam jangka panjang.

 

Diperlukan juga adanya pemantauan dan evaluasi yang komprehensif dan sistematis atas program-program literasi keuangan demi menentukan program mana yang paling efektif secara dampak dan biaya.

 

Sumber : CIPS
- Dilihat 1503 Kali
Berita Terkait

0 Comments