Makna Hijrah Dalam Kehidupan Seorang Muslim
Oleh: H. Dedih Surana, Drs., M.Ag. (Dosen Universitas Islam Bandung/Unisba)
Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah hijrah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syari’at Islam.
Dengan merujuk kepada hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw tersebut sebagaian ulama ada yang mengartikan bahwa hijrah adalah keluar dari “darul kufur” menuju “darul Islam”. Keluar dari kekufuran menuju keimanan.
Umat Islam wajib melakukan hijrah apabila diri an keluarganya terancam dalam mempertahankan akidah dan syari’ah Islam.
Perintah berhijrah terdapat dalam beberpa ayat Al-Qur’an, antara lain: Qs. Al-Baqarah 2:218).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpakn rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)
Pada ayat-ayat di atas, terdapat esensi kandungan:
1. Bahwa hijrah harus dilakuakn atas dasar niat karena Allah dan tujuan mengarah rahamt dan
keridhaan Allah.
2. Bahwa orang-oerang beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan
untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah, mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh
pengampunan Allah, memperoleh keebrkahan rizki (ni’mat) yang mulai, dan kemenangan di sisi Allah.
3. Bahwa hijrah dan jihad dapat dilakukan dengan mengorbankan apa yang kita miliki, termasuk harta
benda, bahkan jiwa.
4. Ketiga ayat tersebut menyebut tiga prinsip hidup, yaitu iman, hijrah dan jihad. Iman bermakna
keyakinan, hijtah bermakna perubahan dan jihad bermakna perjuangan dalam menegakkan risalah Allah.
Makna Hijrah
Hijrah sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa kita maknai dengan benar. Secara bahasa hijrah berarti meninggalkan. Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi 2 syarat, yaitu, yaitu yang pertama ada sesuatu yang ditinggalkan dan kedua ada sesuatu yang dituju (tujuan). Kedua-duanya ahrus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Meninggalkan segala hal yang buruk, negative, maksiat, kondisi yang tidak kondisif, menju keadaan yang lebih yang lebih baik, positif dan kondisi yang kondusif untuk menegakkan ajaran Islam.
Dalam realitas sejarah hijrah senantiasa dikaitkan dengan meninggalkan suatu tempat, yaitu adanya peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat meninggalkan tepat yang tidak kondisuf untuk berdakwah. Bahkan peristiwa hijrah itulah yang dijadikan dasar umat Islam sebagai permulaan ahun Hijriyah.
Tahun Hiriyah, ditetapkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khatab ra, sebagai jawaban atau surat Wali Abu Musa Al-As’ari. Khalifah Umar menetapkan Tahun Hijriyah Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya, seperti yang berasal dari tahun Gajah, Kalender Persia, Kalender Romawi dan kalender-kalendar lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Khlifah Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai taqwim Islam, karena Hijrah Rasulullah aw dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa paling monumental dalam perkembangan dakwah.
Secara garis besar hijrah kita bedkan menajdi dua macam yaitu:
1. Hijrah Makaniyah : Yaitu meinggalkan suatu tempat. Bebebrapa jenis hijrah maknawiyah, yaitu:
a. Hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Habasyiyah.
b. Hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah.
c. Hijrah dari suatu negeri yang didalamnya didominasi oleh hal-hal
yang diharamkan.
d. Hijrah dari suatu negeri yang membahayakan kesehatan untuk menhindari penyakit menuju negeri
yang aman.
e. Hijrah dari suatu tempat karena gangguan terhadap harta benda.
f. Hijrah dari suatu tempat karena menghindari tekanan fisik
Seperti hijrahnya Ibrahim as dan Musa as, ketika Beliau khawatir akan gangguan kaumnya.
Seperti yang tecantum dalam al-Qur’an:
Berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan).
Tuhanku, Sesungguhnya Dialah yang Maha erkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. Al-Ankabuit, 29:26).
Maka keluarkanlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatri, dia berdo’a “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu (Qs. Al-Qashah, 2:21).
2. Hijrah Maknawiyah
Secara maknaiyah hijrah dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
a. Hijrah I’tiqadiyah
Yaitu hijrah keyakinan. Iman bersifat pluktuatif, kadang menguat menuju puncak keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah mendekati kekufuran Iman pula kadang hadir dengan kemurniannya, tetapi kadang pula bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain mendekati memusyrikan. Kita harus segera melakuakn hijrah keyakinan bila berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan keyakinan. Dalam konteks psikologi biasa disebut dengan konversi keyakinan agama.
b. Hijrah Fikriyah
Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran. Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari belahan bumi bisa secara oline kitya akses.
Dunia yang kita tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan perang yang kasat mata. Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan manusia gendeang perang telah dipukul dalam medan yang namanya “Ghoswul Fikr” (baca: Perang pemikiran).
Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana dari senjata-senjata perengut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, dan sosialisasi bahkan momunisasi telah menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus ganas yang sulit terditeksi oleh kacamata pemikiran Islam. Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw, melalui para sahabat tabi’in, tabi’it, tabi’in dan para generasi pengikut shalaf.
“Rasulullah Saw bersabda: Umatku niscaya akan mengikuti sunan (budaya, pemikiran, tradisi, gaya hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang biawak pasti umatku mengikuti mereka. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apaakh mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani ? Rasulullah menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka.
c. Hijrah Syu’uriyyah
Syu’uriyah atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semau yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kuarng Islami Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, rumah, idola semua pihak luput dari pengaruh nilai-nilai diluar Islam. Kalau kita perhatikan, hiniran dan musik seorang muslim takjauh beda dengan hiburannya para penganut paham permisifisme dan hedonisme, berbau hutra-hura dan senang-senang belaka.
Mode pakain juga tak kalah pentingnya untuk kita hiraukan Hijrah dari pakaian gaya jahiliyah menuju pakaian Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya. Apa fungsi pakaian ? Tak lain hanyalah untuk menutup aurat, bukan justru memamerkan aurat. Ironis memang banyak diantara manusia berpakaian tapi aurat masih terbuka. Ada yang sudah tertutup tapi ketat dan transparan, sehingga lekuk tubuhnya bahkan warna kulitnya terlihat. Konon, umat Islam dimanjakan oleh budaya barat dengan 3 f, food, fan, fashan.
d. Hijrah Sulukiyyah
Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juag akhlaq. Dalam perjalanannya ahklaq dan kepribadian manusia tidak terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai. Pergeseran dari kepribadian mulai (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela akhlaqul sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermuculan berbagai tindak moral dan asusila di masyarakat. Pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, penghinan dan penganiyaan seolah-olah telah menjadi biasa dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi,, prostitusi dan manipulasi hampir bisa ditemui di mana-mana. Dalam moment hijrah ini, sangat tepat jika kita mengkoreksi akhlaq dan kepribadian kita untuk kemudian menghijrahkan akhlaq yang mulia.
Refleksi
Dengan telah berakhirnya tahun 1431 H dan tibanya tahun 1433 H, serta sebentar lagi akan segera pergantian tahun masehi dari 2011, suatu hal yang pasti bahwa usia kita bertambah dan jatah usia kita semakin berkurang. Sudah selayaknya kita menghisab drii sebelum dihisab oleh Allah. Rasulullah Saw bersabda:
“Hisablah (lakukan perhitungan atas) dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lakukanlah kalkulasi amal baik dan amal burk sebelum Allah memberikan kalkulasi amal atas dirimu.
Apakah kehidupan kita banyak diisi dengan beribadah atau bermaksiat ? Apakah kita banyak mematuhi ajaran Allah ataukah banyak melanggar atauran Allah ? Apakah kita ini termasuk orang yang menunaikan shalat fardlu atau malah lalai dalam menunaikan shalat fardlu ? Apakah diri kita ini termasuk golongan orang – orang ynag celaka mendapat siksa neraka ? Rasulullah bersabda :
Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir mengatakan:
“Tanda-tanda orang yang akan mendapatkan kecelakaan di akherat kelak ada empat perkara:
1. Terlalu mudah melupakan dosa yang diperbuatnya, padahal dosa itu tercatat di sisi Allah.
Orang yang mudah melupakan dosa ia akan malas bertobat dan mudah mengerjakan dosa kembali.
2. Selalu mengingat (dan membanggakan) atas jasanya dan amal shalihnya, padahal ia sendiri tidak
yakin apakah amal tersebut diterima Allah atau tidak. Orang selalu mengingat jasanya yag sudah lewat
ia akan takabur dan malas untuk berbuat kebajikan kembali di ahri-hari berikutnya.
3. Selalu melihat ke atas dalam urusan dunia. Artinya ia mengagumi sukses yang dialami orang lain dan
selalu berkeinginan untuk mengejar sukses orang tersebut. Sehingga hidupnya selalu merasa kekurangan.
4. Selalu melihat ke bawah dalam urusan agama. Akibat ia akan merasa puas dengan amalnya selama
ini, sebab ia hanya membandingkan amalnya dengan amal orang lain di bawah dia.***
Editor | : | |
Sumber | : | unisba.ac.id |
- Mengapa Agama Jadi Kriteria Utama Calon Istri Menurut Islam? Begini Penjelasannya
- Banyak Gunung Alami Erupsi, Benarkah Pertanda Kiamat Dekat?
- 8 Keutamaan Mengajarkan Ilmu
- Sikap-Sikap yang Termasuk dalam Kemurtadan
- Ramadhan Telah Pergi, Bagaimana Kualitas Keimanan Kita?
- Hindari Kufur Nikmat, Berikut Lima Cara Mendapat Kepuasan Hidup
- Empat Janji Allah yang Tertuang Dalam Alquran
- Muhasabah Bagi Mukmin
- Cara Mempertahankan Iman Setelah Ramadhan
- Istighfar Sebagai Pembuka Pintu Rezeki
- Parfum Jabir bin Hayyan
- Bagaimana Islam Memandang Kesehatan Mental?
- Doa Meminta Keturunan yang Saleh
- Ikhtiar dan Tawakal
- Janganlah Mencela Makanan
0 Comments