Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 14/03/2022 20:00 WIB

Kebijakan DMO dan HET Tidak Efektif Atasi Kenaikan Harga Minyak Goreng

Minyak Goreng
Minyak Goreng

JAKARTA, DAKTA.COM  Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) atau export ban dan harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif atasi kenaikan harga minyak goreng. Kebijakan ini berpotensi mendistorsi perdagangan, mengurangi reliabilitas perusahaan Indonesia bagi partner dagang luar negeri dan mengundang retaliasi dari negara lain yang dapat merugikan kepentingan Indonesia di pasar internasional. Sementara itu, HET merugikan pedagang dan berpotensi memunculkan pasar gelap.  

 

“Kebijakan DMO dan HET berangkat dari asumsi bahwa permasalahan minyak goreng di Indonesia adalah kelangkaan CPO atau crude palm oil yang merupakan input penting di pasar domestik. Kebijakan ini juga berangkat dari asumsi bahwa petani lebih suka ekspor karena harganya lagi tinggi. Ini asumsi yang sangat masuk akal tapi tidak diikuti fakta di lapangan,” jelas Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta.

 

Ia melanjutkan DMO memang bisa dipakai untuk mengatasi kelangkaan pasokan CPO. Namun menurut Mendag, yang juga diamini oleh GIMNI, sekarang stok CPO dalam negeri justru berlebih tapi minyak goreng tetap saja langka.

 

“Harga CPO domestik yang naik bisa saja didorong oleh penggunaan CPO yang lain yaitu biodiesel. Selama pengguna CPO untuk biodiesel tidak dipertimbangkan, maka harga domestik pasti akan tetap naik. Pemaksaan penerapan HET justru akan merugikan produsen minyak goreng atau penjual minyak goreng retail dan malah menyebabkan kelangkaan di pasar,” jelas Krisna.

 

Saat ini, BPDPKS masih memberi subsidi biodiesel. Minyak goreng tidak bisa bersaing dengan biodiesel karena biodiesel disubsidi dan penjualan minyak goreng dikenakan HET. Pengenaan HET akan membuat pedagang enggan melepas stoknya ke pasar dan memperbesar terjadinya kelangkaan. HET juga dapat memunculkan pasar gelap karena selisih harga yang cukup besar antara HET dengan harga jual yang sebenarnya.

 

“Untuk menghindari CPO diberi ke industri non minyak goreng (spillover), maka akibatnya kewajiban DMO dibuat semakin luas dan mencakup industri turunan CPO yang tidak ada hubungannya dengan minyak goreng. Kebijakan DMO tidak akan berpengaruh ke biodiesel karena biodiesel kebanyakan dikonsumsi secara domestik. Kebijakan ini malah dapat berpengaruh ke industri oleokimia yang jadi tidak bisa ekspor juga, padahal produsen oleokimia tidak memproduksi minyak goreng,” cetusnya.

 

Ia melanjutkan, produksi CPO domestik kemungkinan tidak akan bisa mengikuti kenaikan konsumsi, terutama yang datang dari biodiesel. Ongkos transportasi yang mahal juga membuat implementasi DMO semakin sulit.

 

Pernyataan yang menyebut ada eksportir yang kesulitan memenuhi 20% DMO karena mereka tidak punya cukup jaringan ke pembeli domestik, apalagi pabrik minyak goreng, sangat beralasan karena mereka memang spesialis ekspor.

 

Keadaan ini akan semakin parah kalau besaran DMO dinaikkan menjadi 30%. Krisna menyatakan, kebijakan ini akan memperparah keadaan kalau beberapa faktor yang dikhawatirkan, seperti terjadi kenaikan demand biodiesel, berkurangnya produksi CPO, kekurangan buyer domestik dan besaran ongkos produksi dan logistik yang jumlahnya sudah melebihi HET, terjadi.

 

Menambah bea keluar, meskipun tidak ideal, bisa jadi solusi yang lebih kecil distorsinya daripada DMO ataupun export ban. Hasil pengenaan bea keluar tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi masyarakat secara langsung.

 

Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan adanya penambahan batas wajib pasok kebutuhan dalam negeri atau dikenal dengan istilah Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 30%. Sebelumnya, kebijakan DMO untuk minyak goreng hanya sebesar 20% saja.

Sumber : CIPS
- Dilihat 1195 Kali
Berita Terkait

0 Comments