Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Sabtu, 29/01/2022 13:00 WIB

Efektivitas Program Pupuk Bersubsidi Harus Dievaluasi

Pupuk
Pupuk

JAKARTA, DAKTA.COM Pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas program pupuk bersubsidi karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, misalnya saja beras. Menyerap anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, diperlukan reformasi kebijakan pupuk nasional secara menyeluruh, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap. 

 

“Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta.

 

Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan dari 2014-2019. Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Angka sementara produksi padi 2021 adalah 55,27 juta ton GKG, menunjukkan bahwa target ini tidak tercapai. 

 

 

Berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) pupuk bersubsidi tahun 2020, usulan kebutuhan terbesar datang dari petani subsektor tanaman pangan (padi dan palawija). Jika dikaitkan dengan sasaran produksi yang ingin dicapai melalui pupuk bersubsidi, berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2020-2024, sasaran produksi padi untuk 2021 mencapai 62,50 juta ton gabah kering giling (GKG).

 

Yang menarik, Renstra Kementerian Pertanian 2020-2024 memperkirakan kebutuhan subsidi pupuk akan terus berkurang setiap tahunnya, dari Rp26,60 triliun pada 2020, menjadi Rp23,10 triliun pada 2021, dan terus menurun hingga Rp15,40 triliun pada 2024. Pada kenyataannya, realisasi subsidi pada tahun 2020 dan 2021 justru melonjak mencapai 30 triliun.

 

Realisasi subsidi pupuk tahun 2021 diperkirakan mencapai Rp29,06 triliun, lebih sedikit  dibandingkan dengan 2020 yang sebesar Rp 34,24 triliun, salah satu realisasi subsidi pupuk terbesar sepanjang masa. Sementara itu, APBN 2022 menetapkan alokasi subsidi pupuk sebesar Rp25,28 triliun, atau yang terendah sejak 2014.

 

Melihat tren di atas, kebijakan subsidi pupuk dalam jangka pendek belum menunjukkan potensi perubahan yang signifikan, seperti pengurangan anggaran secara drastis atau realokasi subsidi ke bidang lain.

 

Kebijakan input pertanian dari pemerintah, termasuk pupuk bersubsidi, tampak hanya difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada tahun 2024. Padahal, perlu dilakukan reformasi bantuan untuk mencegah perverse incentive, mendorong kompetisi, dan pada akhirnya mendukung kemandirian usaha tani.

 

 

 

Adopsi Kartu Tani oleh petani berjalan sangat lamban. Pada 2020, jumlah Kartu Tani tercetak mencapai 9,30 juta kartu (66,91 persen dari total 13,90 juta petani calon penerima di e-RDKK), Kartu Tani yang sudah didistribusikan mencapai 6,20 juta kartu (44,60 persen calon penerima). Sedangkan yang sudah digunakan petani baru mencapai 1,20 juta kartu (8,63 persen).

 

“Kebijakan input pertanian, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Perlu diingat bahwa pupuk bersubsidi adalah instrumen untuk mendorong investasi petani pada sarana pertanian untuk meningkatkan produktivitas,” cetusnya.

 

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator “kelulusan” seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi. 

 

Namun mekanisme evaluasi ini harus didukung data pertanian yang akurat yang selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani. Tidak kalah penting, kebijakan di sisi suplai turut diperlukan untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar.

Sumber : CIPS
- Dilihat 1489 Kali
Berita Terkait

0 Comments