Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 16/01/2022 08:25 WIB

Penentuan Alokasi Impor Gula Dengan Sistem Kuota Tidak Efektif

GULA
GULA

JAKARTA, DAKTA.COM : Penentuan alokasi impor gula menggunakan sistem kuota tidak efektif karena hanya didasarkan pada asumsi supply dan demand pemerintah sendiri sehingga pembebasan impor dari kuota ini diharapkan akan membantu pasar merealisasikan impor gula yang sesuai dengan kebutuhannya.

 

“Pemerintah juga diharapkan bisa menggunakan kebijakan ini untuk menentukan waktu impor yang tepat, yaitu pada saat harga gula internasional rendah. Dengan begitu, gula yang masuk bisa membuat harga gula di pasar stabil dan juga mampu memenuhi permintaan,” terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nisrina Nafisah.

 

Keputusan pemerintah untuk impor gula merupakan respon tepat dalam menyikapi peningkatan permintaan, terutama menjelang Imlek, Ramadan dan Idul Fitri. Namun sayangnya, sistem kuota seringkali menghambat impor yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan tepat waktu, ujarnya.

 

Tidak jarang importir harus menunggu berbagai rapat koordinasi sehingga momentum untuk mengimpor di saat harga murah terlewat.

 

Selain itu, pemerintah perlu membenahi data gula karena data yang ada masih belum harmonis dan karenanya kurang akurat untuk mendasari pengambilan kebijakan.

 

“Pembenahan data perlu jadi prioritas pemerintah, salah satunya kuota impor gula harus ditentukan secara efektif untuk menghindari kerugian petani tebu akibat surplus gula impor. Proses impor yang tidak singkat juga berpotensi membuat impor berdekatan dengan masa panen,” tambah Nisrina.

 

Data tebu dan gula yang akurat, sebagaimana juga bagi komoditas lainnya, yang dapat dijadikan acuan, masih relatif sulit ditemukan di Indonesia.

 

 

Data yang terbuka bagi publik pun berbeda-beda antara instansi. Jika pengambilan kebijakan didasarkan atas data yang tidak akurat, lanjut Nisrina, maka kebijakan yang dihasilkan tidak akan mampu merespons permasalahan yang ada.

 

 

Impor gula juga terus menuai kritik karena tidak efektif menurunkan harga komoditas ini di Indonesia. Impor gula perlu diikuti pembenahan tata niaga dan tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya alat dalam mengatasi permasalahan gula di Indonesia. Tanpa pembenahan tata niaga gula, impor hanya akan menjadi solusi sementara yang efektivitasnya terus dipertanyakan.

 

 

Biaya logistik yang tinggi, akibat panjangnya rantai perdagangan bagi propinsi non-produsen, juga perlu menjadi perhatian. Data BPS 2019 menunjukkan rata-rata margin perdagangan dan pengangkutan di Indonesia adalah sebesar 33.18 persen dengan margin di Maluku bahkan mencapai 57.49 persen.

 

 

Gula dari luar provinsi harus melalui distributor, agen dan pedagang eceran sebelum sampai ke tangan konsumen. Biaya logistik yang tinggi sekaligus panjangnya rantai perdagangan membuat harga gula menjadi cukup tinggi di tingkat konsumen.

 

 

Menurut Nisrina, pemerintah perlu terus memperbaiki tata niaga gula, baik secara on-farm maupun off-farm. Selain revitalisasi mesin dan pabrik gula, kebijakan harus difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri. Regulasi impor juga perlu dibuat sesederhana mungkin dan memperbolehkan impor oleh pihak yang kompeten dalam membaca kebutuhan pasar.

 

Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 1487 Kali
Berita Terkait

0 Comments