Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 30/09/2021 07:30 WIB

Kebijakan Pangan Bukan Swasembada vs Perdagangan Pangan

Panen
Panen

BEKASI, DAKTA.COM. Kebijakan pangan Indonesia seringkali terpusat pada dua hal, yaitu swasembada pangan melawan perdagangan pangan yang diasosiakan dengan kepentingan petani melawan kepentingan konsumen. Padahal petani juga merupakan konsumen sehingga diperlukan kebijakan pangan yang menyeluruh untuk melindungi keduanya.

“Kebijakan pangan harus bergeser dari sebatas dikotomi swasembada versus perdagangan pangan yang tidak produktif. Kebijakan pangan yang komprehensif harus secara strategis mengembangkan pertanian domestik sekaligus memanfaatkan pasar internasional dengan rasional dan berbasis data,” terang Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta.

Fokus kebijakan peningkatan pertanian domestik juga harus beranjak dari hanya pada kuantitas menjadi pada kuantitas, kualitas, keterjangkauan dan keberlanjutan.

Produktivitas pertanian dan perkebunan yang cenderung menurun dan juga luas lahan yang terus berkurang membuat produksi tidak lagi dapat mengimbangi permintaan. BPS misalnya, mencatat produksi Gabah Kering Giling (GKG) berkurang dari 59,2 juta ton di 2018 menjadi 54,6 juta ton di 2019.

Pertanian merupakan sektor penting yang, tidak saja menyediakan lapangan pekerjaan bagi petani dan pekerja di sepanjang rantai pasok, tetapi juga menjadi tumpuan bagi pekerja sektor industri atau pelayanan yang kehilangan pekerjaan selama pandemi.

“Sayangnya, kebijakan untuk produksi domestik selama ini kurang memperhatikan aspek kualitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Rencana food estate yang mengambil lahan gambut berisiko alami gagal panen dan sebabkan kerusakan lingkungan,” tambahnya.

Kebijakan impor pangan juga patut disorot karena cenderung proteksionis dan dijalankan dengan sistem lisensi dan kuota yang tidak transparan yang berpotensi menyebabkan masalah, seperti pembatasan akses pasar, kenaikan harga, penambahan biaya administratif dan perilaku pencari rente.

Felippa membeberkan beberapa hal yang menyebabkan penggunaan sistem lisensi dan kuota impor tidak efisien untuk sistem pangan Indonesia. Pertama, importir harus meminta rekomendasi dari Kementerian Pertanian dan meminta izin dari Kementerian Perdagangan, proses yang terkadang memakan waktu yang lama sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga di dalam negeri.

Kedua, karena berbasis kecukupan, keputusan impor biasanya dikeluarkan ketika stok sudah menipis karena jauh dari musim panen. Namun justru ketika stok menipis baik di Indonesia maupun di negara lain, impor pun akan menjadi mahal. Riset CIPS misalnya, menunjukkan bahwa Bulog bisa berhemat Rp. 303 miliar antara November 2010 hingga Maret 2017 jika keputusan impor terbit lebih cepat, saat harga internasional masih rendah.

Ketiga, proses perizinan, pembelian, dan pengiriman yang makan waktu berbulan-bulan karena harus melalui berbagai persyaratan kadang malah membuat impor masuk justru ketika petani Indonesia sedang panen, sehingga malah merusak harga. Sistem lisensi impor berbasis kuota yang digadang-gadangkan menguntungkan petani malah justru merugikan mereka.

Keempat, setiap jenjang keputusan impor diambil secara tidak transparan sehingga membuka celah rente, seperti yang terjadi pada kasus suap daging sapi, gula, dan juga bawang putih. Korupsi itu bukan karena impor, melainkan sistem regulasi yang kompleks dan berbelit yang membuka banyak celah penyelewengan.

Pendekatan kebijakan peningkatan produksi pertanian domestik dan pendekatan perdagangan pangan merupakan kebijakan komplementer yang sama-sama dibutuhkan demi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

“Masing-masing pendekatan memiliki keunggulan dan juga risiko. Indonesia dapat memanfaatkan kedua pendekatan tersebut untuk membenahi kebijakan pangan yang lebih efektif,” tandasnya.

 


 

 

Reporter :
- Dilihat 1592 Kali
Berita Terkait

0 Comments