Sabtu, 22/05/2021 09:40 WIB
279 Juta Data Penduduk Diduga Bocor, Bukti Keamanan Siber di Indonesia Masih Rendah
JAKARTA, DAKTA.COM - Masyarakat Indonesia kembali dihadirkan dengan kabar kebocoran data pribadi. Satu juta data pribadi yang kemungkinan adalah data dari BPJS Kesehatan diupload di internet. Akun bernama Kotz memberikan akses download secara gratis untuk file sebesar 240 MB yang berisi satu juta data pribadi masyarakat Indonesia.
File tersebut dibagikan sejak 12 Mei 2021 dan dalam sepekan ini ramai menjadi perhatian publik. Akun tersebut mengklaim mempunyai lebih dari 270 juta data lainnya yang dijual seharga 6 ribu dollar AS.
Dalam keterangannya pada Jumat (21/5) pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa benar tidaknya itu data BPJS Kesehatan kita tunggu keterangan resmi sembari mungkin dilakukan digital forensik.
"Bila dicek, data sample sebesar 240MB ini berisi nomor identitas kependudukan (NIK), nomor HP, alamat, alamat email, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tempat tanggal lahir, jenis kelamin, jumlah tanggungan dan data pribadi lainnya yang bahkan si penyebar data mengklaim ada 20 juta data yang berisi foto,” terang Chairman Lembaga Riset Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Pratama menambahkan, dalam file yang didownload tersebut ada data NOKA atau nomor kartu BPJS kesehatan. Menurut klaim pelaku, dirinya mempunyai data file sebanyak 272.788.202 juta penduduk. Pratama melihat hal ini aneh bila akun Kotz mengaku mempunyai 270 juta lebih data serupa, padahal anggota BPJS kesehatan sendiri di akhir 2020 adalah 222 juta.
“Dari nomor BPJS Kesehatan yang ada di file bila dicek online ternyata datanya benar sama dengan nama yang ada di file. Jadi memang kemungkinan besar data tersebut berasal dari BPJS Kesehatan,” jelasnya.
"Data dari file yang bocor dapat digunakan oleh pelaku kejahatan. Dengan melakukan phising yang ditargetkan atau jenis serangan rekayasa sosial (Social Engineering). Walaupun didalam file tidak ditemukan data yang sangat sensitif seperti detail kartu kredit, namun dengan beberapa data pribadi yang ada, maka bagi pelaku penjahat dunia maya sudah cukup untuk menyebabkan kerusakan dan ancaman nyata," terang Pratama.
Dijelaskan olehnya, pelaku kejahatan dapat menggabungkan informasi yang ditemukan dalam file CSV yang bocor dengan pelanggaran data lain untuk membuat profil terperinci dari calon korban mereka seperti data dari kebocoran Tokopedia, Bhinneka, Bukalapak dan lainnya. Dengan informasi seperti itu, pelaku kejahatan dapat melakukan serangan phising dan social engineering yang jauh lebih meyakinkan bagi para korbannya.
"Yang jelas tidak ada sistem yang 100% aman dari ancaman peretasan maupun bentuk serangan siber lainnya. Karena sadar akan hal tersebut, maka perlu dibuat sistem yang terbaik dan dijalankan oleh orang-orang terbaik dan berkompeten agar selalu bisa melakukan pengamanan dengan standar yang tinggi,” tegas Pratama.
Ditambahkan olehnya kejadian semacam ini harusnya tidak terjadi pada data yang dihimpun oleh negara. Sebaiknya mulai saat ini seluruh instansi pemerintah wajib bekerjasama dengan BSSN untuk melakukan audit digital forensik dan mengetahui lubang-lubang keamanan mana saja yang ada. Langkah ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari pencurian data di masa yang akan datang.
“Pemerintah juga wajib melakukan pengujian sistem atau Penetration Test (Pentest) secara berkala kepada seluruh sistem lembaga pemerintahan. Ini sebagai langkah preventif sehingga dari awal dapat ditemukan kelemahan yang harus diperbaiki segera,” jelasnya.
Menurut Pratama, penguatan sistem dan SDM harus ditingkatkan, adopsi teknologi utamanya untuk pengamanan data juga perlu dilakukan. Indonesia sendiri masih dianggap rawan peretasan karena memang kesadaran keamanan siber masih rendah. Yang terpenting dibutuhkan UU PDP yang isinya tegas dan ketat seperti di Eropa. Ini menjadi faktor utama, banyak peretasan besar di tanah air yang menyasar pencurian data pribadi.
“Prinsipnya, memang data pribadi ini menjadi incaran banyak orang. Sangat berbahaya bila benar data ini bocor dari BPJS. Karena datanya valid dan bisa digunakan sebagai bahan baku kejahatan digital terutama kejahatan perbankan. Dari data ini bisa digunakan pelaku kejahatan untuk membuat KTP palsu dan kemudian menjebol rekening korban,” imbuh Pratama.
"Tentu kita tidak ingin kejadian ini berulang, karena itu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sangat diperlukan kehadirannya, asalkan mempunyai pasal yang benar-benar kuat dan bertujuan mengamankan data masyarakat," pungkasnya.
Editor | : | Dakta Administrator |
Sumber | : | Rilis CISSReC |
- ARM HA-IPB DISTRIBUSI 210 PAKET BANTUAN TAHAP 2 KE CILOPANG DAN PANGIMPUNAN, SUKABUMI
- Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Perparah Kesenjangan Ekonomi
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
- KONSEP GURU MENURUT MOHAMMAD NATSIR
- Baitul Maqdis Institute Sampaikan 11 Resolusi Palestina dan Dunia Islam kepada Wakil Menlu RI, Anis Matta
- Empat Alasan Mengapa UU Pengelolaan Zakat Rugikan LAZ
- IDEAS: Dana BOS Tak Cukup Angkat Kesejahteraan Guru Honorer
- Bamsoet Minta Polri Jerat Bandar Narkoba Dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
- UMKM Pertanian-Perikanan yang Utangnya Dihapus
- Kebijakan Dan “Potensi Keuntungan”, Sepatutnya Tidak Digunakan Dalam Tindak Pidana Kerugian Keuangan Negara
0 Comments