Ahad, 29/11/2020 12:37 WIB
Persetujuan Tindakan dan Rahasia Kedokteran
JAKARTA, DAKTA.COM - Sehubungan dengan adanya kehendak pihak-pihak tertentu yang meminta pemeriksaan swab (ulang) kepada Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS), penulis selaku akademisi dan Praktisi Medikolegal terpanggil untuk menulis Persetujuan Tindakan dan Rahasia Kedokteran untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dan masyarakat luas.
PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan, demikian bunyi Pasal 45 ayat (1) UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan dimuat ulang dalam Pasal 2 ayat (1) No. 290/2008 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan.
Persetujuan Tindakan Kedokteran terbilang “sakral”, karena merupakan bagian pengakuan atas otonomi pasien (patient autonomy) terhadap tubuhnya sendiri (taking ownership of their own body) yang harus dihargai dan dihormati, salah satu wujud dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dahulu di beberapa negara-negara Eropa diperbolehkan para tenaga medis atas perintah penguasa untuk melakukan force feeding terhadap demonstran yang melakukan mogok makan yang kondisinya telah mulai melemah parah, sebagai duty of the State to protect life.
Dalam keputusan yang lebih baru, European Court of Human Rights telah menyatakan bahwa orang yang kompeten dapat menolak intervensi medis apa pun konsekuensinya, termasuk kematian. Dengan demikian force feeding tanpa informed consent atau bahkan mengabaikan refusal akan dinilai sebagai suatu bentuk torture atau degrading treatment yang melanggar ketentuan Art.3 ECHR yang berbunyi No one shall be subjected to torture or to inhuman or degrading treatment or punishment. Redaksi yang mirip dapat kita baca pada Pasal 28G Paragraf Kedua UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 36/2009 tentang Kesehatan lebih lanjut diatur bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 ini berlaku bagi pasien penderita apa pun, bahkan terhadap pasien yang diduga mengidap virus HIV tetap diperintahkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan untuk dimintakan persetujuan terlebih dahulu jika hendak dilakukan tes HIV, tidak boleh dilakukan secara diam-diam.
Kiranya sudah jelas pemeriksaan atau swab terhadap seseorang yang diduga mengidap virus Covid-19 pun haruslah diperlakukan sama dengan pasien-pasien lainnya, tidak boleh mengabaikan otonomi pasien yang merupakan HAM-nya.
PENGECUALIAN ATAS PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
Selanjutnya Pasal 56 ayat (2) UU No.36/2009 menyatakan bahwa Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
Keberlakuan pengecualian pada huruf a dari Pasal 56 ayat (2) di atas adalah pada seseorang yang telah terkonfirmasi menderita penyakit menular yang dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian frasa penderita penyakit merupakan unsur pokok karena merupakan subyek regulasi. Bagi mereka yang tidak atau belum terkonfirmasi sebagai penderita penyakit (yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas) tentu tidak termasuk yang mendapat pengecualian persetujuan tindakan kedokteran ini.
Apakah seseorang yang menolak dilakukan pemeriksaan (swab) Covid-19 memenuhi unsur Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004 tentang Wabah Penyakit Menular yang berbunyi barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)?
Yang dimaksud frasa Undang-Undang ini pada Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004 adalah apa yang tersebut dalam Pasal 5 UU No. 4/2004, dalam hal ini dikutip ketentuan yang relevan dengan konteks yang tengah dibahas, yang jika diringkaskan menjadi berbunyi upaya penanggulangan wabah meliputi pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina.
Penjelasan yang diberikan pembuat UU atas ketentuan di atas adalah bahwa pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina adalah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap penderita dengan tujuan:
1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan;
2. Menemukan dan mengobati orang yang nampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit ("carrier").
Memperhatikan tujuan yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 5 tersebut, dihubungkan dengan informasi yang diperoleh Penulis bahwa HRS telah menjalani pemeriksaan swab Covid-19 dengan hasil negatif, maka hemat Penulis bahwa HRS tidak memenuhi unsur Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004.
Mengenai kehendak pihak-pihak tertentu yang meminta agar HRS dilakukan pemeriksaan swab ulang, itu hanya dapat dibenarkan apabila secara medis memang ada indikasi untuk dilakukan swab ulang. Tidak boleh alasannya dikarenakan pemeriksaan swab itu dilakukan di RS Swasta sehingga tidak kredibel, karena alasan serupa ini jelas bersifat merendahkan tim tenaga medis yang telah melakukan pemeriksaan terhadap HRS dan juga merendahkan RS Swasta pada umumnya.
RAHASIA KEDOKTERAN
Pasal 38 ayat (1) UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran. Aturan yang mirip diatur dalam UU No.36/2009 Pasal 57 ayat (1) yang menyebutkan setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
Permenkes No.36/2012 tentang Rahasia Kedokteran mengatur lebih lanjut bahwa:
- semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dan atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran (Pasal 4 ayat (1)).
- Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia (Pasal 4 ayat (3)).
Diatur pula tentang Hak Ingkar untuk menyampaikan Rahasia Kedokteran ini sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.44/2009 bahwa rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. Pasal 11 Permenkes No.36/2012 tentang Rahasia Kedokteran menegaskan bahwa penanggungjawab pelayanan pasien atau pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dapat menolak membuka rahasia kedokteran apabila permintaan tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kerahasiaan kedokteran tidaklah bersifat mutlak atau absolut, ada beberapa alasan yang memungkinkan dibukanya rahasia kedokteran. Adapun alasan pembukaan rahasia kedokteran diatur secara rinci dalam Permenkes No.36/2012 Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan kesehatan pasien antara lain untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan pasien (Pasal 6 ayat (1) Permenkes No.36/2012).
Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum dapat dilakukan pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan, untuk itu harus dilakukan secara tertulis dari pihak yang berwenang (Pasal 7 ayat (1) Permenkes No.36/2012).
Pembukaan rahasia kedokteran atas dasar permintaan pasien sendiri dapat dilakukan dengan pemberian data dan informasi kepada pasien baik secara lisan maupun tertulis (Pasal 8 ayat (1) Permenkes No. 36/2012).
Pembukaan rahasia kedokteran berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka kepentingan penegakan etik atau disiplin, serta kepentingan umum.
Pembukaan rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan umum dilakukan tanpa membuka identitas pasien, kecuali untuk hal-hal tertentu antara lain adanya ancaman Kejadian Luar Biasa/wabah penyakit menular dan ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat (Pasal 9 ayat (4) dan (5) Permenkes No.36/2012).
Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan ancaman Kejadian Luar Biasa/wabah penyakit menular dan ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat, identitas pasien dapat dibuka kepada institusi atau pihak yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 9 ayat (5) Permenkes No. 36/2012).
Memperhatikan Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5) Permenkes No.36/2012, Penulis berpendapat sebagai berikut:
1. Pembukaan Rahasia Kedokteran dilakukan oleh pihak manajemen RS kepada institusi atau pihak yang berwenang, apabila ada pasien yang terkonfirmasi mengidap penyakit menular;
2. Rahasia Kedokteran pada angka 1 hanya dibuka untuk institusi atau pihak yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut dalam konteks pencegahan penularan bagi masyarakat, bukan untuk mengumumkan kondisi penyakit seseorang yang dianggap menular; dan
3. Terhadap pasien yang tidak mengidap penyakit menular maka rahasia kedokterannya tetap tidak boleh dibuka kepada siapapun termasuk kepada institusi atau pihak yang berwenang, untuk itu pihak RS memiliki Hak Ingkar sebagaimana telah dijelaskan di atas sesuai ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No.44/2009 dan Pasal 11 Permenkes No. 36/2012. ***
DR. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.
Akademisi dan Praktisi Medikolegal
Reporter | : | Ardi Mahardika |
- PT Siloam International Hospitals Tbk Umumkan Susunan Dewan Komisaris dan Direksi Baru
- Waspdai Penyakit TB. Ini Penjelasan Dokter Eka Hospital Bekasi
- Siloam Hospitals Mampang Gelar Bincang Sehat: Penanganan Komprehensif Orthopedi dan Ekstremitas Atas dan Bawah
- Peran Jantung dalam Kesehatan Tubuh dan Penanganan Penyakit Kardiovaskular di Siloam Hospitals Lippo Cikarang
- Siloam Hospital Lippo Village Gelar Acara Strength in Style untuk Dukung Penyintas Kanker
- Mochtar Riady Resmikan Nano Device Laboratory di FTUI, Dorong Pengembangan Industri Chip dan Teknologi Nano di Indonesia
- AKSI RELAWAN MANDIRI DAN IPB UNIVERSITY SEDIAKAN LAYANAN KESEHATAN DAN PENGOBATAN GRATIS BAGI WARGA CILEUKSA, BOGOR
- Siloam Hospital Kebon Jeruk Rayakan 10 Tahun Deep Brain Stimulation Therapy untuk Penyakit Parkinson di Indonesia
- Siloam Hospitals Lippo Cikarang Berpartisipasi Dalam Program Khitanan Massal Forsil WMLC
- Hansaplast Gelar Sunat Massal Gratis di Kota Bekasi
- Siloam Hospital Group Gelar Simposium Kesehatan Bertajuk Scientific Update in Pediatric
- Bekasi Bebas Nyeri, Simak Tips Unggulan dari Pain Clinic Siloam Hospitals Bekasi Timur
- Mitra Keluarga Bekasi Timur, Tingkatkan Pusat Layanan Onkologi Terlengkap
- JIP: 13,4 Persen ODHA Mendapat Stigma Dari Orang Lain
- Komitmen Tanpa Batas, BPJS Kesehatan Berikan Layanan JKN Selama Libur Lebaran
0 Comments