Nasional /
Follow daktacom Like Like
Senin, 07/09/2015 12:46 WIB

Shalat Idul Adha di Tolikara Masih Dibayangi GIdI

Pembakaran masjid Baitul Muttaqin Tolikara
Pembakaran masjid Baitul Muttaqin Tolikara

TOLIKARA_DAKTACOM: Muslim Tolikara tampaknya belum bisa bernafas lega, sejak tragedi pembakaran tempat ibadah saat lebaran Idul Fitri Juli lalu. Kini, menjelang Idul Adha, Gereja Injili di Indonesia (GIdI) kembali membayangi kebebasan asasi umat islam dalam menjalankan ibadahnya.

Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan pada Sabtu, (05/09) mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh agama, pejabat pemerintah dan aparat keamanan di Tolikara. Pertemuan itu dilakukan guna membahas proses rekonsiliasi dan persiapan Hari Raya Idul Adha 1436H di Tolikara.

Sebagaimana dikutip kiblat.net, tokoh Islam Karubaga, Kabupaten Tolikara, Ustadz Ali Muchtar menegaskan bahwa dalam pertemuan itu pihak Gereja Injili di Indonesia (GIdI) meminta 3 syarat jika kaum Muslimin Tolikara ingin berlebaran Idul Adha.

“Pertama, mereka minta nama baik Gereja Injili di Indonesia (GIdI) dibersihkan,” ujar Ustadz Ali saat dihubungi via sambungan telepon. Pasalnya, pihak GIdI mengaku sejak meletusnya Tragedi Tolikara pada saat perayaan Idul Fitri, nama GIdI menjadi kurang baik.

Kedua, GIdI minta dua tersangka yang ditangkap oleh Polda Papua segera dibebaskan. Ketiga, GIdI minta kasus ini diselesaikan secara adat, tidak menggunakan hukum positif. Kendati demikian, Ustadz Ali menegaskan, Menteri Luhut meminta agar pihak GIdI menghormati bahwa dalam Tragedi Tolikara semua sama di mata hukum. Sehingga, hukum positif tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Sementara itu, Dua tersangka perusuh Tolikara, Ariyanto Kogoya (26 tahun) dan Jundi Wanimbo (31), secara resmi mengajukan penangguhan penahanan kepada Polda Papua. Surat permohonan penangguhan penahanan ini sudah diterima penyidik Polda Papua dan saat ini tengah ‎dianalisa penyidik apakah akan dikabulkan atau tidak. Kapolda Papua, Irjen Paulus Waterpauw mengatakan penangguhan penahanan merupakan hak para tersangka. Pihaknya pun tidak mempermasalahkan keduanya mengajukan hak tersebut.

“‎Mereka ajukan permohonan penangguhan penahanan, alasannya kan karena mereka pegawai. Saya sudah lapor ke pimpinan (Kapolri) soal ini,” kata Paulus pada Ahad (06/09).

Syarat yang diajukan GIdI agar dapat menjamin keamanan selama perayaan Idul Adha di Tolikara menuai kecaman dari banyak pihak. Pengamat Terorisme, Musthofa Nahrawardaya menilai permintaan GIdI sebagai satu hal yang konyol.

“Pertama, soal pembersihan nama (GIdI, red). Ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh negara. Karena kalau ini dipenuhi permintaan konyol ini, maka nanti semua organisasi-organisasi teror itu akan melakukan hal sama, itu implikasinya,” ujar Mustofa

Anggota Komisi III DPR RI Habib Aboe Bakar Al Habsyi menyatakan bahwa menjalankan shalat Idul Adha adalah bagian dari hak umat Islam yang tak bisa dikurangi walau dalam keadaan perang sekalipun. Hal itu telah diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. "Oleh karenanya tidak benar bila mereka diberikan persyaratan dalam menjalankan ibadah, Itu namanya pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap konstitusi,” pungkasnya.

Direktur An-Nashr Institute, Munarman,SH menilai GIdI tidak punya otoritas untuk melarang atau mengizinkan warga negara beribadah sesuai keyakinannya. “Apa kedudukan GIdI sehingga memberi syarat umat Islam untuk shalat Idul Adha, memangnya GIdI penguasa?” katanya. (Fajar)

Editor :
Sumber : kiblat.net
- Dilihat 1208 Kali
Berita Terkait

0 Comments