Ahad, 02/08/2020 11:56 WIB
Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
DAKTA.COM - Pandemi Covid-19 berdampak pada segala aspek kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, ekonomi, sosial, hingga bidang pendidikan.
Semenjak kemunculan kasus infeksi virus corona di Indonesia, pemerintah mulai was-was terhadap penyebarannya yang sangat cepat dan masif seperti di negara asal virus corona, Wuhan, China yang telah menyebar ke seantero dunia.
Ketika penyebarannya sudah cukup masif, pemerintah pusat dan daerah sepakat menutup sekolah dan mengalihkannya menjadi pembelajaran jarak jauh atau PJJ secara daring.
Metode PJJ selama masa pandemi Covid-19, bukan tidak menimbulkan masalah. Justru menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat khususnya bagi para siswa dan orang tua.
Banyak orang tua yang merintih karena sulitannya fasilitas sarana dan prasarana pembelajaran daring. Sebab, PJJ menimbulkan pengeluaran biaya baru yang cukup mahal, yakni kuota internet. Belum lagi perangkatnya seperti handphone dan laptop yang tidak semua orang punya dan memadai karena faktor lemot atau harus bergantian dengan adik-kakaknya.
Masih banyak daerah yang tak bisa melakukan pembelajaran daring, akibatnya pembelajaran luar jaringan (luring) dilakukan dengan guru mengunjungi rumah siswa. Namun hal ini pun tak efektif, sebab jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua tiga angkatan misalnya di SMP atau SMA.
Di samping itu, juga ada keterbatasan waktu dan geografis yang dihadapi kebanyakan guru. Karenanya, tak semua siswa akhirnya bisa dikunjungi dan harus tertinggal pelajaran.
Diketahui tahun ajaran 2020/2021 sudah berjalan sejak Senin (13/7) pekan ini. Setidaknya 94 persen siswa masih harus melakukan PJJ.
Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pihaknya banyak menerima aduan mengenai PJJ karena sarat masalah teknis, jaringan, dan ketidakmampuan keluarga peserta didik membeli kuota internet.
Banyak masyarakat yang tidak bisa mengakses PJJ secara daring sehingga ada anak yang tidak naik kelas sampai putus sekolah.
"Gara-gara PJJ, ada kasus anak yang sampai dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan PJJ, ada juga siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ, bahkan ada siswa yang tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti ujian daring. Yang paling parah adalah anak-anak berkebutuhan khusus nyaris tidak terlayani pendidikan," ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam keterangannya, Kamis (23/7/2020).
Ilustrasi belajaran online
Selain permasalahan teknis, timbul juga permasalahan perekonomian di masyarakat yang tidak mampu membayar biaya sekolah atau kuliah. Karena banyak orang tua yang dirumahkan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Gelombang protes pun bermunculan dari kalangan orang tua hingga mahasiswa yang menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut keringanan biaya kuliah.
Seperti yang terjadi di Bekasi. Mahasiswa dari sejumlah kampus di Kota Bekasi menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pemerintah Kota Bekasi, Jl. Jenderal Ahmad Yani, Bekasi Selatan, Kamis (4/6/2020).
Dalam tuntutannya, mereka meminta Pemerintah Kota Bekasi agar mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membebaskan biaya pendidikan selama masa pandemi Covid-19.
Menurut mahasiswa, wajar jika biaya kuliah diberi keringanan, karena mereka tidak menggunakan fasilitas kampus selama hampir satu semester belajar di rumah. Apalagi rata-rata perguruan tinggi di Bekasi adalah swasta, sehingga sangat terasa beban biaya yang harus ditanggung.
Di sisi lain, Kemdikbud masih berupaya menjangkau siswa yang tidak memiliki jaringan listrik dengan pembelajaran melalui radio, termasuk melalui siaran RRI di beberapa daerah seperti Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara.
Sedangkan untuk siswa yang memiliki jaringan listrik namun terkendala akses internet, PJJ memanfaatkan program Belajar di rumah di TVRI yang masih berjalan tahun ajaran ini.
Sementara itu di tengah permasalahan yang ada, pemerintah berencana membuka sekolah yang berada di zona hijau atau bebas kasus Covid-19. Salah satu yang akan menerapkan sekolah tatap muka di wilayah zona hijau adalah Provinsi Jawa Barat.
Padahal menurut rekomendasi surat keputusan bersama (SKB) 4 menteri (Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, serta Menteri Dalam Negeri) yang mengatur panduan pelaksanaan pendidikan di daerah, belum memperbolehkan melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di wilayah yang potensial penyebaran Covid-19.
Nyatanya, berdasarkan laporan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), banyak sekolah di daerah yang melanggar hal tersebut.
Misalnya, kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI, Satriwan Salim, ada daerah belum berstatus zona hijau (resiko rendah) telah menerapkan KBM secara tatap muka.
Berdasarkan laporan yang diterima, setidaknya ada empat daerah yang telah membuka sekolah mulai tingkat TK hingga SMA, yakni Kabupaten Simeleu, Provinsi Aceh; Kabupaten Pandeglang, Banten; Kota Bekasi, Jawa Barat; dan Kota Padang, Sumatera Barat.
Di Kabupaten Simeleu, Aceh, pembukaan sekolah pada 13 Juli lalu telah diinstruksikan Dinas Pendidikan wilayah tersebut. Instruksi wajib masuk sekolah, tak hanya bagi siswa baru peserta pengenalan sekolah, namun juga bagi seluruh siswa TK, SD, SMP dan SMA.
Di Bekasi sendiri, terdapat empat sekolah yang akan menjadi role model untuk menerapkan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di masa adaptasi baru.
Empat sekolah tersebut telah disiapkan untuk menjadi percontohan sekolah lainnya dalam KBM tatap muka dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat serta fasilitas yang memadai.
Menurut penulis, pembelajaran tatap muka di Indonesia belum bisa dilaksanakan, mengingat penyebaran virus corona yang semakin masif, bahkan melampaui jumlah kasus Covid-19 di Wuhan, yang merupakan wilayah asal virus itu muncul.
Itu membuktikan, pemerintah belum maksimal dalam menangani Covid-19 dan masih banyak masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan.
Pembelajaran daring memang terlihat menyulitkan karena berbagai permasalahan dalam prosesnya, tetapi kesehatan masyarakat adalah yang utama saat ini sebelum ditemukannya vaksin.
Pemerintah pusat maupun daerah memang harus mengambil kebijakan tepat dalam menangani persoalan PJJ, seperti menyediakan fasilitas internet gratis hingga membantu meringankan biaya kuliah.
Dengan begitu, masyarakat menganggap pemerintah peduli terhadap keberlangsungan pendidikan di Indonesia khususnya di masa pandemi Covid-19 ini. (Asiyah Afiifah)
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
- Mencari Diri Lewat Selfie
0 Comments