Opini /
Follow daktacom Like Like
Sabtu, 30/05/2020 09:12 WIB

New Normal yang Mengkhawatirkan

Anggota Komisi V DPR RI Ahmad Syaikhu
Anggota Komisi V DPR RI Ahmad Syaikhu
DAKTA.COM - Oleh: Anggota F-PKS DPR RI, Ahmad Syaikhu
 
Usai Idul Fitri, kita seperti dibuat bingung. Tiba-tiba 'kampanye' new normal membahana. Bahkan sampai Presiden Joko Widodo datang ke Bekasi, tepatnya ke Summarecon Mall. Katanya untuk memastikan kesiapan Kota Bekasi menerapkan new normal.
 
Di sisi lain, kasus penambahan positif Corona terus saja terjadi. Update terbaru yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jumat, 29 Mei 2020, menunjukkan total kasus positif corona di Indonesia kini mencapai 25.216 pasien. Sebanyak 17.204 pasien positif corona di tanah air masih dalam perawatan dan menjalani isolasi. 
 
Angka kasus aktif tersebut sebanding dengan 68,7 persen dari total kasus Covid-19 yang sudah dilaporkan dari 34 provinsi di Indonesia. Sampai pukul 12.00 WIB pada hari ini, terdapat 678 kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Data kasus baru ini sedikit menurun dibandingkan laporan pada Kamis kemarin yang mencatatkan ada 687 kasus baru. 
 
Sedangkan jumlah keseluruhan pasien positif corona yang telah meninggal dunia di tanah air saat ini sebanyak 1.520 jiwa, atau ada penambahan 24 kasus kematian baru selama 24 jam terakhir. Jumlah pasien meninggal itu sekitar 6 persen dari total kasus.
 
Membingungkan bukan? Di satu sisi kasus positif terus bertambah, tapi di sisi lain, pemerintah terkesan 'memaksakan' new normal.
 
Kita perlu memperhatikan pesan dari World Health Organization (WHO). Setiap negara yang akan melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal harus memperhatikan:
 
1. Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi Covid-19 dapat dikendalikan.
 
2. Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina.
 
3. Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi , terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
 
4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan - dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan.
 
5. Risiko kasus impor dapat dikelola.
 
6. Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan New Normal.
 
Kata WHO, jika negara tidak dapat memastikan kriteria tersebut sebelum mengurangi batasan, maka sebaiknya pikirkan kembali. Covid-19 tidak kenal ampun dan memiliki kemampuan untuk membanjiri sistem kesehatan terkuat di Eropa dengan cepat. 
 
Syarat-syarat dari WHO banyak yang belum terpenuhi di negeri kita. Contoh, masih ada kesenjangan sarana prasarana kesehatan di setiap daerah dan juga SDM tenaga kesehatan.
 
Rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di tahun 2018 hanya 1 dibanding 1000 penduduk, di Korea Selatan rasio 11 dibanding 1000 penduduk.
 
Sementara, Presiden meminta Puskemas untuk lebih dilibatkan dalam penanganan Covid-19, namun baru 33 persen yang kondisinya memadai.
 
Contoh lain tentang pelaksanaan PSBB. Di berbagai daerah tidak optimal dan banyak pelanggaran terjadi. Ini bisa dibaca bahwa tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah.
 
Apakah dengan kondisi masyarakat seperti ini akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat?
 
Ingat, banyak pakar kesehatan yang menyatakan bahwa kurva kita belum sampai puncak. Padahal, syarat mutlak new normal adalah ketika kurva kasus positif corona melandai atau turun signifikan.
 
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi ada wacana anak-anak sekolah akan mulai masuk. Potensi klaster baru terbuka lebar.
 
New normal harus dipikir ulang. Bahkan harus dibatalkan. Pemerintah harus fokus dulu pada penanganan kesehatan. Lakukan koordinasi pusat dan daerah secara optimal. 
 
Jika new normal dipaksakan, sama saja kita membiarkan rakyat berjuang sendiri. Sungguh mengkhawatirkan...
Reporter :
Editor :
Sumber : Ahmad Syaikhu
- Dilihat 3746 Kali
Berita Terkait

0 Comments