Ahad, 17/05/2020 11:16 WIB
Kenaikan Iuran BPJS Bisa Ditunda, Kenapa Dipaksakan Saat Pandemi
DAKTA.COM - Oleh: Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar
Menaikan iuran JKN adalah sebuah hal yang pasti harus dilakukan oleh Pemerintah. Terkait kenaikan iuran peserta mandiri (yaitu peserta PBPU dan BP) ini termuat dalam amanat Pasal 27 ayat (2) UU SJSN dan Psal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018. Amanat kenaikan ini pun diatur di perpres-perpres sebelumnya, seperti perpres 19 Tahun 2016 dan Perpres 111 tahun 2013.
Pasal 27 ayat (2) UU SJSN yang mengamanatkan : “Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.” Dan Pasal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 yang isinya : “Besaran Iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali.”
Jadi kenaikan iuran adalah hal biasa dan memang harus dilakukan oleh Pemerintah. Sejak beroperasi 2014 dan mengacu pada ketentuan hukum di atas memang Pemerintah sudah menaikkan iuran JKN di tahun 2016, yaitu paling lama 2 tahun sejak 2014, itu sudah betul, walaupun waktu itu kenaikan iurannya tidak sesuai rekomendasi DJSN, yaitu iuran PBI yang direkomendasi DJSN sebesar Rp36.000 per orang per bulan tetapi yang ditetapkan Rp23.000,- Keputusan ini yang berkontribusi pada terciptanya defisit tiap tahun hingga 2019 lalu. Kenaikan iuran di 2016 ini dituangkan dalam Perpres no. 19 tahun 2016.
Kenaikan iuran peserta mandiri di 2016 pun tidak luput dari protes masyarakat dan DPR. Akhirnya Pemerintah mendengar protes masyarakat dan DPR, dengan mengeluarkan revisi Perpres No. 19 tahun 2016 yaitu Perpres no. 28 tahun 2016, dengaan menurunkan kembali iuran peserta klas 3 mandiri dari Rp30.000 ke nilai semula yaitu Rp25.500. Revisi ini keluar hanya sebulan sejak Perpres no. 19 Tahun 2016 dikeluarkan. Memang sangat responsif Pemerintah pada saat itu.
Setelah kenaikan iuran 2016 seharusnya Pemerintah, mengacu pada ketentuan-ketentuan di atas, menaikkan lagi iuran JKN di 2018. Karena diamanatkan paling lama 2 tahun. Tapi Pemerintah tidak menaikkan iuran tersebut.
Alasannya hanya satu, yaitu takut gaduh karena 2018 adalah tahun yang dekat dengan Tahun Pemilu 2019. Waktu itu sudah masa kampanye. Kenaikan iuran digeser paska Pemilu dengan lahirnya Perpres no. 75 Tahun 2019.
Ya alasan tersebut dimengerti sih secara politik electoral supaya bisa mulus melaju lagi.
Menurut saya alasan pergeseran waktu kenaikan iuran JKN dari 2018 ke paska Pemilu, ya karena alasan electoral saja sih, tetapi tentunya Pemerintah tidak mungkin menyatakan hal itu ke publik. Saya kira itu hal biasa dan tidak perlu diperdebatkan.
Akibat tidak dinaikkannya iuran JKN di 2018 pemerintah menggelontorkan tambahan dana dari APBN ke Pos DJS BPJS Kesehatan sebesar Rp10,2 Triliun yang dibayarkan dalam dua termin. Ya ini konsekuensi APBN karena diamanatkan UU BPJS. Walaupun sudah digelontorkan Rp10,2 triliun faktanya utang klaim RS yang belum dibayarkan ke RS masih ada Rp9,1 triliun sehingga utang BPJS Kesehatan ke RS ini terbawa ke tahun 2019, sehingga waktu itu diperkirakan defisit 2019 mencapai 32 Triliun. Ini Bu Menkeu yang bilang ya.
Jadi APBN sudah setor Rp10,2 triliun, tapi masih besar juga utang yang terbawa ke 2019. Oke, itu konsekuensi yang harus dipikul Pemerintah. Dengan defisit yang besar di 2018 tersebut, Pemerintah tidak menyebut tentang kenaikan iuran JKN.
Ya, Pemerintah punya alasan untuk melanggar regulasinya sehingga tidak menaikkan iuran paling lama 2 tahun tersebut karena kondisi dan situasi 2018, TETAPI saat ini dengan situasi dan kondisi yang sangat sulit bagi rakyat karena pandemic Covid19 Pemerintah malah memaksakan kenaikan iuran peserta mandiri klas 1 dan 2 di 1 Juli 2020 dan klas 3 di 1 Januari 2021.
Kenapa ketika ada pertimbangan Pemilu Pemerintah tidak menaikkan iuran JKN tetapi ketika ada masalah kemanusiaan karena pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh sendi masyarakat sehingga banyak masyarakat yang jatuh ekonominya Pemerintah tetap memaksakan menaikkan iuran JKN. Saya kira Pemerintah harus fair-lah dalam melihat situasi.
Saya katakan di atas bahwa kenaikan iuran itu menjadi sebuah “keniscayaan” karena regulasi mengaturnya, tetapi seharusnya kenaikan iuran JKN itu dikontekskan dengan kondisi yang ada saat ini. Pemerintah mengkontekskan tahun 2018 sebagai tahun politik, ya itu sah-sah saja, tetapi kenapa tega menaikkan iuran di masa susah saat ini.
Naikkanlah iuran JKN pada saat Covid-19 sudah selesai dari bumi Indonesia ini dan ekonomi masyarakat sudah membaik, sehingga masyarakat bisa membayar iuran JKN dengan baik.
Kondisi saat ini daya beli masyarakat sedang turun drastis, tentunya kenaikan iuran JKN akan membuat masyarakat peserta mandiri akan kesulitan membayar iuran (peserta non aktif semakin meningkat) sehingga hak konstitusional masyarakat peserta mandiri tidak bisa digunakan karena JKN tidak menjamin lagi.
Masa sih tega Pemerintah membiarkan hak konstitusional kesehatan rakyat hilang hanya karena masyarakat tidak mampu bayar JKN di masa pandemi Covid19 ini.
Menganalisis Cash Flow 2020
Saya coba menghitung prediksi cash flow DJS BPJS Kesehatan di 2020 ini. Pada presentasi Dirut BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu dipaparkan RKAT Pendapatan iuran DJS BPJS Kesehatan di 2020.
Kemenkeu dan Kemenkes telah menetapkan RKAT DJS 2020 BPJS Kesehatan yaitu di posisi pendapatan iuran sebesar Rp137,66 triliun, yang terdiri dari Pendapatan Iuran dari PBI APBN Rp48,78 triliun, PPU Pemerintah Rp26,16 triliun, PPU Badan Usaha Rp30,94 triliun, PBPU Rp14,22 triliun dan Bukan Pekerja (BP) Rp.1,8 triliun, dan PBI APBD (atau Penduduk yang didaftarkan Pemda) Rp15,76 triliun.
Namun dengan adanya putusan MA maka pos pendapatan iuran PBPU di RKAT diturunkan Rp5,03 triliun sehingga proyeksi pendapatan dari segmen PBPU menjadi Rp9,19 triliun.
Dengan adanya revisi ini maka target pendapatan iuran menjadi Rp132,64 triliun. Ini belum termasuk Penerimaan BPJS Kesehatan dari Pajak Rokok sesuai Pasal 99 dan 100 Perpes no. 82 tahun 2018 yang berpotensi sebesar Rp5 – 6 triliun (mengingat cukai rokok di 2020 meningkat).
Proyeksi yang dipaparkan Pak Dirut tersebut agak berbeda dengan laporan BPJS Kesehatan di akhir Februari 2020 yang menuliskan RKAT pendapatan 2020 sebesar Rp147,39 triliun.
Perbedaan ada di proyeksi penerimaan segmen PPU Badan Usaha yang dicantumkan sebesar Rp31,41 triliun dan segmen PBPU sebesar Rp23,2 triliun. Ini perlu penjelasan tentunya dari Direksi BPJS Kesehatan.
Dalam laporan tersebut realisasi pendapatan iuran sampai dengan akhir Februari 2020 sebesar Rp23,52 triliun. Bila ritme realisasi pendapatan iuran ini konstan sampai akhir 2020 maka diperkirakan realisasi pendapatan iuran bisa mencapai Rp141,12 triliun.
Namun dengan pandemi Covid19 ini tentunya harapan ritme realisasi pendapatan akan konstan tentunya tidak realistis. Saya menyoroti 2 pos pendapatan yang akan gagal terpenuhi karena masa pandemi ini yaitu pos pendapatan PPU Badan Usaha dan PBPU.
Dengan kondisi sektor usaha (badan usaha) yang goyah maka sudah banyak PHK terjadi dan pekerja yang dirumahkan tanpa upah juga semakin banyak.
Dengan PHK dan merumahkan tanpa upah maka pendapatan iuran dari PPU Badan Usaha akan turun. Belum lagi badan usaha yang menunggak iuran.
Di kondisi normal saja (per 29 Februari 2020) utang iuran dari PPU Badan Usaha sebesar Rp447,33 miliar, apalagi dalam masa susah seperti saat ini tentunya akan semakin meningkat jumlahnya.
Demikian juga dengan daya beli masyarakat yang menurun saat ini, tentunya akan menambah jumlah utang iuran ke BPJS Kesehatan.
Di akhir Februari 2020 saja utang iuran peserta mandiri dari PBPU adalah sebesar Rp. 12,33 T, melambung tinggi dari yang biasanya sekitar Rp3 – 4 triliun.
Itu untuk utang satu bulan ya, belum dihitung utang 23 bulan lainnya (karena tagihan utang iuran itu maksimal 24 bulan). Besarnya utang iuran peserta mandiri ini karena Perpres 75 tahun 2019 yang menaikkan iuran cukup besar.
Saya sangat khawatir, dengan adanya Covid-19 dan dipaksakannya kenaikan iuran di 1 Juli 2020 untuk kelas 1 dan 2 serta kelas 3 per 1 Januari 2021, utang iuran peserta mandiri akan semakin besar.
Dengan utang yang tinggi berarti potensi pemasukan pendapatan iuran tidak akan terealisir, sehingga target Rp9 triliun pun akan gagal dipenuhi. Lebih baik tunda kenaikan iuran mandiri sehingga target Rp9 triliun terpenuhi.
Dengan dua kondisi di atas seharusnya Pemerintah mencari solusi sehingga potensi loss pendapatan iuran dari kedua segmen ini dapat diminimalisir. Menunda kenaikan iuran di 1 Juli 2020 sampai Covid-19 selesai dan ekonomi relatif kembali membaik adalah salah satu solusinya.
Sekarang saya masuk untuk sisi biaya manfaat pelayanan kesehatan. Dalam RKAT Biaya Manfaat 2020 Kemenkeu dan Kemenkes telah menetapkan sebesar Rp111,24 triliun, dengan perincian proyeksi biaya Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) sebesar Rp16,12 triliun, Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) sebesar Rp1,38 triliun, Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) sebesar Rp30,21 triliun, Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) sebesar Rp62,93 triliun, dan biaya preventif promotive Rp583,1 miliar.
Proyeksi Pembiayaan Manfaat sebesar Rp111,24 triliun ditambah biaya utang ke RS di 2019 yang terbawa ke 2020 sebesar Rp15,5 triliun dan ditambah dengan biaya operasional BPJS Kesehatan sebesar Rp4,55 triliun maka total seluruhnya Rp131,29 triliun.
Data realisasi biaya manfaat per 29 Februari 2020 (realisasi biaya Januari dan februari 2020) adalah sebesar Rp18,52 dengan perincian RJTP sebesar Rp2,49 triliun, RITP Rp215,96 miliar, RJTL Rp5,52 triliun, RITL Rp10,31 triliun, dan biaya preventif promotive Rp40 miliar, sehingga Total Biaya selama 2 bulan adalah Rp18,52 triliun atau sekitar Rp9,26 triliun per bulan.
Bila ritme pembiayaan pelayanan ini relatif konstan tiap bulan maka potensi total biaya manfaat setahun sekitar 12 bulan x Rp9,26 triliun = Rp111,12 triliun.
Dengan kondisi Covid-19 sebenarnya pembiayaan ke RS cenderung berkurang karena peserta JKN takut pergi ke RS, sehingga biaya INA CBGs bisa lebih berkurang.
Seorang teman jurnalis bercerita ke saya kalau realisasi biaya di RS, yaitu RITL dan RJTL di masa Covid-19 ini relatif menurun hingga mencapai 50% lebih.
Penurunan ini memang masuk akal karena faktanya banyak peserta menahan diri tidak RS karena takut terinfeksi Covid-19.
Beberapa pasien JKN juga cerita ke saya tentang hal ini. Kalau pun sakit dan bisa ditahan dulu ya sebaiknya memang tidak perlu ke RS walaupun sudah dapat rujukan, demikian cerita seorang peserta.
Realisasi pembiayaan penyakit katastropik (jantung, stroke, ginjal dsb) per 29 Februari 2020 (Januari dan Februari 2020) sebesar Rp1,97 triliun atau rata-rata sebesar Rp985 miliar per bulan.
Bila ritme pembiayaan penyakit katastropik ini bisa relatif konstan dalam setahun ini maka total biaya yang akan dikeluarkan sekitar Rp11,82 triliun. Tentunya angka perkiraan ini sangat lebih kecil dari realisasi pembiayaan penyakit katastropik di tahun 2019 yang memakan biaya Rp20,27 triliun.
Dengan kondisi Covid-19 ini tentunya bisa menjadi “berkah” bagi penurunan pembiayaan INA CBGs ke RS, sehingga realisasi biaya manfaat di RITL dan TJTL bisa lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi yang tertera dalam RKAT 2020.
Jadi bila mengacu pada RKAT 2020, bila dibandingkan potensi pendapatan dan potensi pembiayaan selama 2020 maka ada surplus sebesar Rp1.45 triliun (dari Rp132,64 triliun – Rp131,19 triliun).
Surplus ini belum memasukkan potensi pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapi Rp5 - 6 triliun. Bila memasukkan pajak rokok maka surplus akan lebih besar lagi. Tentunya perhitungan surplus ini tanpa adanya kenaikan iuran di 1 Juli 2020 dan 1 Januari 2021.
Perhitungan surplus ini memang harus mengkalkulasi potensial loss pendapatan dari PPU Badan Usaha dan PBPU serta potensi penghematan biaya INA CBGs dengan adanya Covid19 ini.
Saya kira Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus membuka perhitungan-perhitungan ini sehingga masyarakat tahu, bagaimana kondisi cash flow DJS BPJS Kesehatan saat ini hingga akhir 2020.
Surplus bisa terjadi bila Direksi BPJS Kesehatan fokus dan bekerja keras mencapai target penerimaan, dan mengendalikan biaya manfaat pelayanan Kesehatan khususya INA CBGs. Saya mendorong Presiden terus mengevaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan atas target-target yang sudah ditentukan tersebut.
Kenaikan iuran lakukan saja tapi mohon setelah Covid-19 selesai dan perekonomian membaik. Tentunya pelayanan JKN kepada peserta juga harus ditingkatkan sehingga kalau pun ada kenaikan maka peserta menerima karena puas dengan pelayanan JKN. **
Editor | : | |
Sumber | : | Timboel Siregar |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments