Rabu, 13/05/2020 10:03 WIB
Efektivitas Program Bansos Sangat Tergantung pada Akurasi Data
JAKARTA, DAKTA.COM - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan menekankan pentingnya akurasi data penerima bantuan sosial apalagi di tengah pandemi Covid-19.
Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan Jaring Pengaman Sosial sebagai respon dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Salah satu dari kebijakan tersebut ialah Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang kini telah bertransformasi menjadi Program Sembako.
Ia menilai, permasalahan mengenai data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi polemik belakangan ini dikarenakan adanya kecemburuan sosial di masyarakat. Bukan tanpa sebab, hal ini dapat terjadi jika pemerintah tidak segera memperbarui data KPM dan melakukan sosialisasi mengenai hal ini.
"Transparansi mengenai data penerima bantuan sosial, termasuk BPNT/Program Sembako diharapkan dapat membantu proses penyaluran bantuan dari supply-side dan demand-side," katanya dalam keterangan tulisnya yang diterima, Rabu (13/5).
Dari sisi supply, lanjut Pingkan, adanya data yang komprehensif dapat membantu pemerintah mengalokasikan bantuan dengan sistematis. Selain itu, tidak menutup kemungkinan untuk mendorong pemerintah berkolaborasi dengan elemen masyarakat yang juga bahu-membahu meringankan beban mereka yang terdampak dengan melakukan donasi dan aksi solidaritas.
Jika gerakan sosial masyarakat tersebut dapat terintegrasi dengan data pemerintah tentu akan memberikan dampak yang lebih besar bagi masyarakat. Sedangkan untuk sisi demand, data yang terhimpun dapat membantu memberikan gambaran daerah mana saja yang perlu mendapat perhatian ekstra dalam proses penyaluran bantuan.
”Selain transparansi data, pemerintah pusat dan daerah juga perlu memiliki pemahaman yang sama mengenai kriteria penerima bantuan sehingga mereka yang menerima memang mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan,” terang Pingkan.
Data KPM selama ini dihimpun dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dihimpun oleh Kementerian Sosial. Melihat sebaran masyarakat prasejahtera yang cukup merata, menurutnya, pemerintah pusat perlu terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah daerah dalam hal pendataan tersebut. Peran serta dari Pemerintah Daerah, baik di tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi menjadi sangat krusial karena menjadi corong terdepan untuk menangkap situasi di daerah masing-masing.
"Pendataan DTKS memang dilakukan secara berkala. Hanya saja, di tengah situasi pandemi seperti ini, semakin banyak masyarakat yang terdampak dan menjadi rentan sehingga pendataan ulang perlu dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat untuk kemudian dapat diolah di tingkat pusat sebagai acuan pembuatan kebijakan yang berbasis pada fakta di lapangan," ucapnya.
Ia memaparkan, selain pendataan ulang, proses verifikasi yang valid atas data para KPM juga diperlukan untuk memastikan bantuan ini tepat sasaran dan berdampak kepada yang berhak menerima.
Tentu saja hal ini tidak lepas dari peran serta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk terus berkoordinasi untuk memastikan validitas data KPM dan perlunya pemeriksaan secara langsung di lapangan untuk memastikan kebenarannya.
Pendataan ulang yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu silam merupakan salah satu contoh yang dapat diikuti oleh daerah-daerah lainnya.
"Hal ini juga penting untuk memastikan penerima bantuan ini tidak tumpang tindih dengan penerima bantuan skema yang lain, mengingat bahwa kebijakan jaring pengaman sosial memiliki pos alokasi anggaran dari APBN dan juga APBD sehingga peran aktif dari daerah sangat dibutuhkan," katanya.
BPNT atau Program Sembako adalah skema bantuan untuk memastikan ketahanan pangan masyarakat prasejahtera. Untuk itu, sangat penting memastikan penyaluran BPNT/Program Sembako ini tepat sasaran agar dapat memberikan dampak yang optimal terhadap para KPM.
Setidaknya terdapat 24,9 juta masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan dan 115 juta masyarakat kelas menengah rentan yang dapat terdampak dari pandemi Covid-19.
Merespon situasi tersebut, pemerintah telah melakukan penyesuaian pada program dengan melakukan peningkatan jumlah KPM dari 15,2 juta menjadi 20 juta hingga peningkatan jumlah manfaat yang diberikan, yaitu dari Rp.150.000/KPM/bulan (Januari-Februari) menjadi Rp 200.000/KPM/bulan (Maret-Desember).
"Namun, transformasi tersebut tidak akan efektif jika tidak tepat sasaran. Dalam hal ini, pemerintah perlu membenahi proses pendataan KPM," pungkasnya. **
Reporter | : | Ardi Mahardika |
Editor | : |
- Saudi Berencana Batasi Usia Jemaah Haji Lansia di Atas 90 Tahun pada 2025
- Kritik OCCRP, Pakar Hukum: Nominasikan Tokoh Korup Tanpa Bukti adalah Fitnah
- 5 Profil Finalis Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 Versi OCCRP, Jokowi Salah Satunya
- Akal Bulus BI, CSR Dialirkan ke Individu Lewat Yayasan, Ada Peran Heri Gunawan dan Satori?
- Promo Libur Akhir Tahun Alfamidi
- 85 PERSEN PROFESIONAL INGIN REFLEKSI DIRI YANG LEBIH INTERAKTIF
- ARM HA-IPB DISTRIBUSI 210 PAKET BANTUAN TAHAP 2 KE CILOPANG DAN PANGIMPUNAN, SUKABUMI
- Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Perparah Kesenjangan Ekonomi
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
- KONSEP GURU MENURUT MOHAMMAD NATSIR
0 Comments