Rabu, 22/04/2020 14:11 WIB
Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
DAKTA.COM - Oleh: Dr. Adian Husaini
DAKTA.COM - Hari Senin (20/4/2020), saya menerima kiriman poster bertajuk: “Kartini Masa Kini dalam Krisis Covid-19: Perlindungan Warga dan Kerjasama Luar Negeri”. Para pembicara terdiri atas 10 Duta Besar RI, dan 1 orang staf ahli bidang diplomasi ekonomi. Semuanya perempuan.
Kata sambutan diberikan Menteri Luar Negeri RI, yang juga perempuan. Diskusi melalui webinar-zoom itu dilakukan pada 21 April 2020, tepat di Hari Kartini. Entah mengapa, istri Presiden Jokowi tidak dimasukkan dalam daftar pembicara di situ.
Membaca poster diskusi itu, mungkin ada yang berpikir, bahwa itulah cita-cita Kartini di masa lalu. Ingin perempuan Indonesia “maju”. Maju, diartikan perempuan Indonesia bisa berkarir, meraih jabatan-jabatan tinggi di berbagai bidang.
Dan yang penting, perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga, mendidik anak-anak dan melayani suami dengan baik, tidak dipandang sebagai satu prestasi dan kemajuan perempuan yang patut dibanggakan.
Biasanya ada tambahan ungkapan: “Dulu, perempuan hanya mengurusi “dapur, sumur, dan kasur”. Tapi, sekarang perempuan sudah bisa menjadi Presiden, Ketua DPR, menteri, dan sebagainya.”
Benarkah Kartini punya cita-cita seperti itu? Kartini adalah sosok ibu rumah tangga yang taat kepada suami dan seorang anak yang sangat patuh dan sayang kepada ayahnya. Untuk menyenangkan hati ayahnya, Kartini rela menjadi istri keempat Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat.
Kartini lahir pada 21 April 1879. Ia wafat pada 17 September 1904, pada umur 25 tahun. Empat hari sebelumnya, 13 September 1904, Kartini melahirkan anak satu-satunya.
Gagasan-gagasan “kemajuan” Kartini diungkapkan dalam surat-suratnya kepada sejumlah sahabatnya, orang-orang Belanda. Banyak opini telah ditulis tentang RA Kartini. Sebagai muslim kita harus bersikap adil terhadap Kartini. Pikiran-pikirannya yang baik perlu diapresiasi.
Tetapi, kita juga harus bersikap adil kepada para perempuan muslimah yang hebat, yang puluhan bahkan ratusan tahun sebelum Kartini, telah meraih prestasi tinggi dalam berbagai bidang kehidupan. Itu dilakukan tanpa memandang rendah tugas mulianya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Jangan sampai anak-anak kita melupakan banyaknya perempuan-perempuan muslimah hebat di Nusantara. “Ibu kita” bukan hanya Kartini. Sebutlah contoh seorang lulusan pesantren bernama Malahayati. Dialah perempuan pertama yang menjadi Panglima Perang di era modern.
Malahayati yang lulusan Akademi Angkatan Laut Aceh, Baitul Maqdis, menjadi Panglima Perang Kerajaan Aceh pada abad ke 16 M. Tahun 1599 M, ia berhasil menaklukkan armada Belanda pimpinan Cornelis de Houtman.
Pikirkanlah, bahwa di abad ke-16, sudah ada muslimah di Nusantara yang menjadi Panglima Perang, menjadi Laksamana Angkatan Laut. Tanpa perlu slogan feminisme atau “gembar-gembor” emansipasi, apalagi teriakan tentang penindasan perempuan, dan tanpa proposal paham Kesetaraan Gender.
Dalam buku “Satu Abad Kartini (1879-1979)”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Prof. Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.
Dalam bukunya, guru besar UI tersebut menunjuk dua sosok perempuan hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku “Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.
VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah (Ratu) Safiatuddin memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Ratu Bone, Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio.
Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh Siti Aisyah We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dan memang, ribuan muslimah telah menunjukkan prestasi-prestasi hebat, tanpa harus meneriakkan slogan Kesetaraan Gender.
Tahun 1957, Universitas Al-Azhar Mesir memberika gelar “Syaikhah” kepada Rahmah el-Yunusiah, ulama perempuan Padang yang juga pendiri Pesantren Dinilah Putri Padang Panjang. Rahmah dianggap memberi inspirasi kepada al-Azhar tentang pendidikan perempuan.
Saya dapat cerita dari tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tentang kehebatan istri Mohammad Natsir, yang biasa dipanggil “Umi”. Pak Natsir sering bekerja sampai larut malam. Jika staf beliau ingin pulang kantor, terkadang “terpaksa” berkata kepada Pak Natsir, “Pak ada telpon dari Umi”. Maka, Pak Natsir pun bergegas pulang ke rumah.
Jadi, kita harus bersikap adil dan bijak dalam memandang dan meletakkan RA Kartini pada tempatnya yang betul. Begitu juga muslimah-muslimah hebat lain di berbagai penjuru Nusantara. Wallahu A’lam bish-shawab. **
Editor | : | |
Sumber | : | Dr. Adian Husaini |
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
- Inovasi Teknologi Kunci Peningkatan Kesejahteraan Petani
0 Comments