DAKTA.COM - Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Darurat Sipil. Ini "testing the water" . Tes gelombang. Lempar, dan menunggu reaksi publik. Riak kecil, lanjut. Ada gelombang besar, batalkan. Ini teori umum. Sering dilakukan banyak orang, terutama di arena politik. Hanya saja, untuk era pemerintahan sekarang, "testing the water" sepertinya sudah jadi pola. Terlalu sering, sehingga mudah dibaca.
Sebelumnya, pemerintah pernah melempar gagasan RUU KPK. Riaknya kecil. Hanya di kalangan mahasiswa. Maka, jalan terus. UU KPK pun disahkan. Apalagi dapat full dukungan dari DPR.
Hal yang sama terjadi ketika pemerintah memunculkan nama Ahok untuk jabatan Komisaris Utama (Komut) PT. Pertamina. Riaknya kecil, lanjut. Dicoba lagi wacanakan ibu kota baru dan Ahok jadi Kepala Otorita-nya. Khusus hal ini, pemerintah masih dalam proses membaca riak atau gelombang yang akan dihadapi.
Begitu juga dengan RUU Omnibus Law. Kali ini yang dihadapi adalah kaum buruh. Sejauh mana kekuatan buruh melakukan konsolidasi, ini akan jadi kalkulasi maju-mundurnya pemerintah terkait RUU Omnibus Law.
Jadi, wacana darurat sipil sebagai upaya menghadapi covid-19 nampaknya juga menggunakan pola "testing the water". Lempar dulu ke publik. Ternyata, reaksi rakyat sangat besar. Hampir semua elemen bangsa menolak. Gelombangnya terlalu dahsyat. Gak mungkin dilawan. Maka, pemerintah pun menarik kembali gagasan itu.
Meski "dibatalkan", gagasan darurat sipil masih menyisakan pertanyaan di benak rakyat: apa yang memicu gagasan ini muncul?
Mungkin pemerintah terlalu paranoid. Mirip seperti anda juga: paranoid! Banyak orang saat ini jadi paranoid ketika hadapi Covid-19. Imbauan social and physical distancing, membuat banyak orang saling curiga. Jangan-jangan ODP. Atau malah positif corona.
Sedang duduk di kursi, berpikir kursi diduduki corona. Pegang plastik, berpikir corona ada di plastik. Makan di warung, takut corona ikut makan. Begitulah situasi sekarang: paranoid!
Pemerintah nampaknya mengalami hal yang sama. Kali ini bukan karena covid-19, tapi karena takut jatuh. Apalagi jika dengar Syahganda bicara: pemerintah akan jatuh sendiri, bukan dijatuhkan. Hanya menunggu waktu. Ngeri kali bicaranya bang! Emang ada pemerintahan yang jatuh tanpa dijatuhkan?
Saya kasih tahu, pemerintah sekarang dalam posisi masih sangat kuat. Tidak ada pihak yang punya nyali, keberanian, apalagi kemampuan untuk menjatuhkan pemerintah. Dukungan masih solid. TNI, Polri, parlemen dan buzzer masih terlihat kompak. Aman-aman saja. Tidak perlu takut.
Kecuali dua hal terjadi. Pertama, jika ekonomi ambruk. Covid-19 berlanjut sampai kuartal III dan IV. Ini juga akan tergantung kepada ketahanan ekonomi kita. Kalau bener-bener ambruk, siapapun presidennya akan berat untuk bertahan. Tidak hanya di Indonesia, tapi di semua negara.
Kedua, PDIP menarik diri dari koalisi. Mungkinkah? Dalam politik, tak ada yang mustahil. Apalagi hubungan Jokowi-Mega terus berjarak. Bahkan makin renggang. Kalau dua hal ini tak terjadi, pemerintah aman.
Soal ekonomi, Indonesia masih cukup kuat untuk bertahan. Diantara negara G20 yang dihajar Covid-19, Indonesia termasuk salah satu negara yang secara ekonomi masih cukup mampu bertahan. Pertumbuhan ekonomi masih ada, meski 1 persen. Selain China 1 persen, dan India 2,1 persen. Jadi, jangan bersikap berlebihan. Darurat sipil itu berlebihan. Terlalu politis. Akhirnya, paranoid.
Cadangan fiskal masih aman untuk tahun ini. Itu katanya. Ah, sok tahu soal ekonomi. Lagi belajar! Jadi, 405,1 triliun yang disiapkan pemerintah pusat untuk hadapi covid-19 dengan semua dampak sosial-ekonominya menjadi bukti Indonesia punya uang. Dari mana? Entar pemerintah yang jelasin.
Kita berharap, 405,1 triliun itu bener adanya, dan bener pula di implementasi. Jangan ada korupsi di tengah pandemi.
So, Jangan semuanya dilihat dari perspektif politik. Ini yang membuat semua langkah pemerintah terkesan jadi sangat politis. Darurat sipil itu politis. Akibatnya, pemerintah kehilangan arah. Gak fokus. Penuh curiga.
Terlihat bimbang, yang membuat kinerja gak terukur. Gamang ketika mau ambil keputusan. Terkesan lelet dan lambat. Habis energi. Menguras biaya yang hanya dinikmati oleh para buzzer.
Nah, kalau anda bertanya kenapa pemerintah "seperti" punya kekhawatiran dijatuhkan? Pertama, mungkin dibayang-bayangi oleh persoalan politik masa lalu yang sepenuhnya belum tuntas. Pemerintah belum berhasil mengajak rakyat untuk move on. Ini menyangkut soal kinerja dan komunikasi politik pemerintah yang belum mampu merubah persepsi politik dan sikap rakyat.
Kedua, akibat gagalnya pemerintah ajak rakyat untuk move on, gelombang oposisi rakyat masih sangat terasa dan terus bergema. Dinamika di medsos dan hasil sejumlah survei memotret ini semua.
Ketiga, diduga ada sejumlah oknum di lingkaran dalam dan luar istana yang secara konsisten melakukan provokasi dan menakut-nakuti pemerintah. Mereka membuat pemerintah seolah-olah terancam. Dari sini, wacana darurat sipil muncul. Dengan darurat sipil, para oknum ini berharap akan dapat peran dan bisa eksis kembali.
Bersyukur, pemerintah gak jadi memutuskan darurat sipil. Ini keputusan yang tepat dan logis. Semoga gak lagi paranoid. **
Editor | : | |
Sumber | : | Tony Rosyid |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments