Senin, 23/03/2020 09:47 WIB
Menakar Kinerja Pemerintah Tangani Pandemi Covid-19
JAKARTA, DAKTA.COM - Penanganan wabah virus corona baru (Covid-19) di Indonesia mendapat sorotan dunia. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sampai meminta Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan mekanisme tanggap darurat menghadapi penanggulangan pandemi virus corona.
Saat ini status bencana nasional sudah ditetapkan. Per (19/3/2020) sudah 309 orang positif terinfeksi, dengan 25 orang meninggal.
Penanganan krisis corona oleh pemerintah menjadi sorotan warga. Warga menunggu-nunggu setiap informasi dan arahan dari pemerintah pusat dan daerah. Wabah corona yang sudah menyebar ke beberapa provinsi membuat peran kepala daerah juga ditunggu.
Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) melakukan pelacakan dan pemantauan kinerja pemerintah yang terekam media daring dan media sosial. Pemberitaan dan percakapan dilacak (crawling and tracking) dengan menggunakan kata kunci yang relevan.
"Lalu, hasil pelacakan dilihat jumlah mention dan porsi perbincangan, potensi jangkauan dan sentimen yang berkembangan di kalangan netizen. Dari situ akan tergambar kinerja virtual sejumlah instansi pemerintah dalam kacamata netizen," papar Direktur Eksekutif LKSP, Astriana B Sinaga dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/3).
Astriana mengatakan, pelacakan dilakukan pada tiga periode, yakni saat wabah pertama kali muncul (18 Desember 2019 – 1 Maret 2020), saat pengumuman pertama pasien terpapar Covid-19 di Indonesia (2 – 12 Maret 2020), dan ketika terbentuk Satgas Penanggulangan Covid-19 yang dikomandani Kepala BNPB.
Pada periode pertama, empat lembaga pemerintah terlihat menonjol, yaitu: Presiden Jokowi (jumlah mention 7.359 dan porsi pembicaraan 87,97 persen), Gubernur Jawa Barat (393 dan 4,70 persen), Gubernur DKI Jakarta (275 dan 3,29 persen), dan Menteri Kesehatan RI (270 dan 3,23 persen).
Pada periode kedua, saat pengumuman korban pertama warga terpapar Covid-19, Presiden Jokowi tetap mendapat perhatian utama dengan 73.76 persen porsi perbincangan atau 10.578 mention, tapi kini diikuti Gubernur DKI Jakarta (13.63 persen atau 1.955 mention).
"Pada periode ketiga, ketika ditetapkan Satgas Covid-19, posisi Gubernur DKI Jakarta semakin membayangi Presiden Jokowi dengan porsi perbicangan 24.34 persen atau 3.768 mention. Sementara Presiden Jokowi teratas dengan 48.96 persen perbincangan atau 7.579 mention," ungkap Astriana.
Jangkauan
Dari segi jangkauan, ujar Astriana, Presiden Jokowi memiliki potensi paling besar dalam periode pertama dengan menjangkau 91,05 juta akun/viewers melalui kanal Twitter (41,95 persen) dan Facebook (39.09 persen).
Kemudian diikuti oleh Gubernur DKI Jakarta (55,33 juta), Menteri Kesehatan RI (30,46 juta), dan Gubernur Jawa Barat (3,22 juta). Twitter dan Facebook merupakan kanal yang paling banyak digunakan.
Pada periode kedua, potensi jangkauan netizen menjadi lebih besar. Presiden Jokowi (132,66 juta akun/viewers), Gubernur Jawa Barat (66,78 juta), Gubernur DKI Jakarta (51,25 juta), Menteri Kesehatan RI (32,29 juta) dan Gubernur Banten (27,18 juta) menduduki posisi lima besar. Twitter, Facebook dan Instagram merupakan kanal paling banyak digunakan.
Periode ketiga mencatat puncak jangkauan Presiden Jokowi (104,59 juta akun/viewers) dibayangi Gubernur DKI Jakarta (75,01 juta), Ketua Satgas Covid-19 (73,00 juta), Gubernur Jawa Tengah (52,74 juta) dan Gubernur Banten (47,18 juta). Kanal Facebook lebih unggul daripada Twitter untuk periode ini.
Potensi jangkauan Gubernur Jawa Barat menurun (26,05 juta), diikuti Jubir Covid-19 (2,51 juta), Wali Kota Solo (1,63 juta), Menteri Kesehatan RI (1,33 juta), Wali Kota Depok (177.900), Walikota Bogor (131.060), dan Wali Kota Surabaya (55.100). Media mainstream berperan dominan, kecuali untuk Gubernur Jabar (Facebook) dan Wali Kota Surabaya (Twitter).
Sentimen
Astriana mengatakan, pada periode awal sentimen netizen cenderung netral. Sentimen negatif terhadap Presiden Jokowi (4,67 persen), Menteri Kesehatan RI (4,44 persen), Gubernur DKI Jakarta (2,18 persen) dan Gubernur Banten (5,00 persen). Periode ini ditandai sikap pemerintah pusat yang dipandang lambat dan sikap pemda yang cepat berinisiatif (DKI Jakarta dan Banten).
Namun, Gubernur Banten juga mendapat tanggapan positif (25,00 persen), sebagaimana Presiden Jokowi (26.85 persen), Menteri Kesehatan RI (18.89 persen), Gubernur DKI Jakarta (12,00 persen), Gubernur Jawa Tengah (10,87 persen), dan Gubernur Jawa Barat (9,41 persen). Gubernur Jabar cukup mengesankan karena belum ada sentimen negatif pada periode ini.
Pada periode kedua, sentimen negatif tertuju kepada Menteri Kesehatan RI (11,70 persen), Wali Kota Depok (7,94 persen), dan Presiden Jokowi (6,11 persen). Kasus terbukanya identitas pasien Covid-19 mewarnai periode ini. Respon negatif netizen juga tertuju kepada Gubernur DKI Jakarta (4,25 persen), Gubernur Jawa Tengah (2,12 persen), Gubernur Jawa Barat (0,54 persen), dan Gubernur Banten (0,49 persen).
Periode ketiga ditandai sentimen negatif kepada Jubir Covid-19 (10,84 persen), Menteri Kesehatan RI (6,78 persen), Wali Kota Surabaya (5,58 persen), Wali Kota Solo (4,55 persen), Gubernur DKI Jakarta (4,23 persen) dan Presiden Jokowi (3,22 persen).
Astriana mengatakan, interaksi lembaga pemerintah di jagat virtual mengalami fluktuasi sebagaimana terlihat dalam jumlah mention, jangkauan atau sentimen yang berkembang. Akumulasi dari semua aspek itu akan membentuk Social Reputation Score (SRS).
"Secara umum, skor reputasi sosial lembaga pemerintah di atas rerata (50 persen), hanya Wali Kota Solo (47,73) yang reputasinya di bawah rerata.
"Secara umum netizen tidak puas terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintah, terlihat dari skor reputasi Presiden Jokowi hanya (56,31) sedikit di atas rata-rata," papar dia.
Lembaga pemerintah yang mendapat porsi perbincangan dan jangkauan luas, seperti Gubernur DKI Jakarta (52,74), Gubernur Jawa Barat (53,31), Ketua Satgas Covid-19 (55,54), dan Menteri Kesehatan RI (53,93) juga meraih skor reputasi tidak menggembirakan.
"Hal itu harus menjadi cambuk bagi pemerintah, agar menghilangkan segala bentuk kontraversi kebijakan yang terlihat nyata di depan publik," ungkap Astriana.
Astriana menyebut, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menambah kebingungan dan kecemasan publik.
Padahal berdasarkan data perkembangan jumlah pasien, Indonesia baru memasuki tahap awal persebaran virus corona, bila dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain. "Tidak terbayangkan, bagaimana kondisi yang dialami masyarakat, bila terjadi puncak ledakan Covid-19," katanya. **
Reporter | : | |
Editor | : |
- BP Haji: Sesuai Perintah Presiden, Sudah ada 7 Penyidik KPK yang dilantik menjadi Eselon 2 dan 1 orang lagi akan menjadi Eselon 1 di BPH
- Saudi Berencana Batasi Usia Jemaah Haji Lansia di Atas 90 Tahun pada 2025
- Kritik OCCRP, Pakar Hukum: Nominasikan Tokoh Korup Tanpa Bukti adalah Fitnah
- 5 Profil Finalis Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 Versi OCCRP, Jokowi Salah Satunya
- Akal Bulus BI, CSR Dialirkan ke Individu Lewat Yayasan, Ada Peran Heri Gunawan dan Satori?
- Promo Libur Akhir Tahun Alfamidi
- 85 PERSEN PROFESIONAL INGIN REFLEKSI DIRI YANG LEBIH INTERAKTIF
- ARM HA-IPB DISTRIBUSI 210 PAKET BANTUAN TAHAP 2 KE CILOPANG DAN PANGIMPUNAN, SUKABUMI
- Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Perparah Kesenjangan Ekonomi
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
0 Comments