Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 20/03/2020 11:49 WIB

Pandemi Covid-19, Indonesia Harus Waspada Terhadap Ancaman Resesi

Ilustrasi grafik pertumbuhan ekonomi
Ilustrasi grafik pertumbuhan ekonomi
JAKARTA, DAKTA.COM - Indonesia perlu mewaspadai ancaman terjadinya resesi. Gangguan rantai suplai global, melemahnya permintaan dan layanan ekspor-impor, serta menurunnya aktivitas bisnis di berbagai negara, yang salah satunya disebabkan oleh penyebaran virus corona (Covid-19), menjadi faktor yang berkontribusi pada terjadinya resesi.
 
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, melihat berbagai dinamika dalam perekonomian global, target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang sebesar 5,3% untuk tahun ini rasanya akan sulit tercapai. 
 
Menurutnya, jika melihat ke belakang, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 lalu hanya berada pada level 5,02%. Angka ini turun dari capaian pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang menyentuh level 5,17%. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Q1-2020 ini terkoreksi ke level 4,8% - 4,9% dalam keterangan resminya kemarin. Koreksi yang dilakukan oleh Menteri keuangan ini sangatlah realistis.
 
Menyikapi ancaman resesi global yang semakin nyata, pihaknya memberikan catatan bagi pemerintah. Pertama, ialah stimulus fiskal. Hal ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif jangka panjang dari perlambatan ekonomi global yang saat ini tengah berlangsung.
 
"Hingga saat ini pemerintah telah memberikan dua paket stimulus fiskal. Kemarin, Menteri Keuangan kembali menyatakan akan menyiapkan paket stimulus jilid III yang mencakup aspek kesehatan, perlindungan sosial serta upaya menjaga kinerja pelaku usaha. Tentu saja hal ini perlu disambut baik dan diharapkan dalam prosesnya dapat terkoordinasi dengan baik di segala lapisan," tutur Pingkan Audrine dalam keterangan tulisnya kepada Dakta, Jumat (20/3).
 
Ia menjelaskan, selain stimulus di tingkat nasional, koordinasi di tataran global untuk memberikan stimulus juga sangat dibutuhkan. Berdasarkan pengalaman saat krisis keuangan global 2008 yang lalu, stimulus fiskal yang diberikan oleh G-20 berjumlah sekitar 2% dari PDB, setara lebih dari USD 900 miliar dollar Amerika Serikat (AS) di tahun 2009.
 
“Selanjutnya, kebijakan moneter yang melibatkan bank sentral perlu memperhatikan aliran kredit dapat tersalurkan ke sektor ekonomi riil. Di masa krisis seperti saat ini, intervensi valuta asing dan langkah-langkah manajemen aliran modal dapat bermanfaat melengkapi tingkat suku bunga dan tindakan kebijakan moneter lainnya. Terlebih melihat kondisi Rupiah yang pada hari ini melemah terhadap dollar AS hingga mencapai Rp16.038,” ungkapnya.
 
Berikutnya adalah perlunya regulasi yang tanggap terhadap dinamika perekonomian. Pengawasan sistem keuangan harus bertujuan untuk mengedepankan keseimbangan antara menjaga stabilitas keuangan, menjaga kesehatan sistem perbankan dan meminimalisir dampak negatif perekonomian.
 
Selanjutnya, harmonisasi kebijakan pusat dengan daerah. Hal ini sangat krusial mengingat jumlah penduduk Indonesia yang banyak dan tersebar di 34 provinsi. Koordinasi dan harmonisasi kebijakan perlu terus diupayakan dan ditingkatkan agar menjamin kesiapan segala pihak termasuk masyarakat dalam memitigasi dampak negatif dari pandemik Covid-19.
 
Faktor kesehatan tentu menjadi fokus utama, namun perlu diingat pula bahwa karakteristik masyarakat di daerah satu dan lainnya berbeda sehingga penyesuaian kebijakan di sektor lain seperti ekonomi juga berdampak pada kemaslahatan hidup banyak orang.
 
Ia melanjutkan, kondisi Indonesia pada tahun lalu sejalan dengan dinamika perekonomian global. Sepanjang tahun lalu, perlambatan ekonomi di tataran global dipicu oleh beberapa hal seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China, menurunnya aktivitas manufaktur antarnegara, serta meningkatnya ketegangan di beberapa kawasan. 
 
Ketegangan itu memberikan ketidakpastian pada pelaku bisnis dan investor seperti yang terjadi di Eropa karena Brexit dan demonstrasi di Hong Kong.
 
”Koreksi atas pertumbuhan ekonomi tahun 2020 ini juga dilakukan oleh negara-negara lain hingga lembaga internasional seperti Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Hal ini tidak lepas dari dampak yang ditimbulkan oleh perlambatan ekonomi global sebagai efek dari melonjaknya kasus Covid-19. Data dari World Health Organization (WHO) menggambarkan bahwa hingga Rabu, 18 Maret 2020 pandemik Covid-19 ini telah mencapai 208.512 kasus dengan 8.821 kematian dan 83.396 orang yang pulih di seluruh dunia,” jelasnya.
 
Menurutnya, OECD memangkas pertumbuhan ekonomi global ke level 2,4% dari yang semula di level 2,9%. Sri Mulyani sendiri bahkan memprediksi bahwa pertumbuhan global hanya akan berada pada level 1,5% saja melihat dinamika global yang terjadi saat ini dengan kasus Covid-19 yang terus bertambah setiap harinya. 
 
Negara-negara lain seperti Singapura dan Inggris mengoreksi pertumbuhan ekonomi mereka masing-masing dari 1,5% ke level 0,5% dan 1,0% ke level 0,8%. **
Reporter : Warso Sunaryo
Editor :
- Dilihat 4206 Kali
Berita Terkait

0 Comments