Nasional / Lingkungan Hidup /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 06/03/2020 13:58 WIB

Proyek Pembuangan Tailing Bawah Laut, Bunuh Masyarakat Pesisir

Ilustrasi
Ilustrasi
JAKARTA, DAKTA.COM – Pemerintah berencana untuk membuang tailing ke laut melalui proyek ‘pembuangan limbah nikel ke laut dalam’ (Deep Sea Tailing Placement) untuk pabrik proyek hidrometalurgi.
 
Rencan itu dikritik keras oleh lembaga pegiat lingkungan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) karena rencana itu akan menambah laju perusakan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil yang selama ini telah diporakporadakan oleh industri ekstraktif. 
 
Sebagaimana diketahui, terdapat empat perusahaan yang sudah dan tengah meminta rekomendasi pemanfaatan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, antara lain: PT Trimegah Bangun Persada di Pulau Obi; PT QMB New Energy Material; PT Sulawesi Cahaya Mineral; PT Huayue Nickel Cobalt di Morowali. 
 
PT Trimegah Bangun Persada sendiri telah mengantongi izin lokasi perairan dari Gubernur Maluku Utara, dengan N0 SK 502/01/DPMPTSP/VII/2019 pada 2 Juli 2019. 
 
Sementara PT Sulawesi Cahaya Mineral, yang merupakan Proyek Strategis Nasional, telah mendapatkan legitimasi untuk aktivitas pembuangan tailing bawah laut ini melalui Surat Direktorat Jenderal Pengelolaan Laut KKP No. B.225/DJPRL/III/2019 pada 1 Maret 2019 perihal Arahan Pemanfaatan Ruang Laut. 
 
Dasar hukum penerbitan izin yang telah dikeluarkan tidak memiliki landasan yang kuat karena hanya berdasarkan PP No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. 
 
Padahal, terdapat aturan yang lebih tinggi, yaitu: UU No. 27 tahun 2007, khususnya Pasal 35; UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.
 
Peneliti KIARA, Parid Ridwanuddin mengatakan, proyek pembuangan tailing ini menambah kehancuran wilayah pesisir dan pulau kecil, mengingat di Pulau Obi sendiri terdapat 14 perusahaan tambang nikel yang mengeruk daratan pulau yang memiliki luas 254,2 hektare itu. Sementara, daratan Morowali telah lama diobrak-abrik oleh 61 perusahaan tambang yang beraktivitas di daratan dan pesisir. 
 
Proyek pembuangan tailing ini jelas menambah kehancuran di dua wilayah itu, mulai dari keberlangsungan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan sumber daya perikanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan dan penghidupan. 
 
Dalam Konteks ini, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembuangan Limbah ke Laut menyebutkan bahwa ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang dan kawasan perikanan tangkap sebagai kawasan sensitif serta terlarang untuk dijadikan kawasan pembuangan limbah.  
 
"Potensi ancaman yang besar berikutnya adalah kesehatan masyarakat, baik karena terpapar secara langsung akibat beraktivitas di laut, maupun terpapar secara tidak langsung akibat mengonsumsi pangan laut (seafood)," katanya dalam keterangannya, Jumat (6/3). 
 
Menurutnya, lebih jauh, proyek ini akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan di perairan setempat. 
 
"Setidaknya terdapat lebih dari 7000 keluarga nelayan perikanan tangkap di Morowali yang akan terdampak proyek ini. Sementara itu, masa depan kehidupan 3.343 keluarga nelayan perikanan tangkap di Pulau Obi juga dipertaruhkan," jelasnya. 
 
Di Morowali, pihak yang paling diuntungkan dari proyek ‘pembuangan tailing ke laut dalam’ ini adalah PT QMB New Energy Material, PT Sulawesi Cahaya Mineral, PT Huayue Nickel Cobalt di Morowali. Ketiga perusahaan ini diduga terhubung ke PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). IMIP yang berdiri sejak 2013 adalah proyek bisnis Indonesia-China yang merupakan usaha patungan antara Shanghai Decent Investment Co. Ltd., PT Bintang Delapan Investama, dan PT Sulawesi Mining Investment.   
 
Sementara di Pulau Obi, Harita Group sendiri, melalui anak perusahaannya, PT Trimegah Bangun Persada adalah aktor utama yang menangguk keuntungan di atas penderitaan masyarakat Pulau Obi yang kehilangan ruang hidup akibat ekspansi industri ekstraktif. Tak berhenti di situ, anak perusahaan lainnya, PT Gane Permai Sentosa yang beroperasi di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, hendak menggusur lebih dari 700 orang warga setempat dengan alasan daerah tersebut rawan gempa bumi dan berpotensi terjadi tsunami. 
 
"Alasan lain yang digunakan oleh Perusahaaan ini adalah keberadaan pemukiman penduduk yang dekat dengan pabrik yang baru dibangun, padahal masyarakat telah lama mendiami kawasan tersebut jauh sebelum kedatangan Harita Group," katanya. 
 
Oleh karena itu, pihaknya menuntut kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan Pemerintah  Provinsi Sulawesi, untuk menghentikan proyek pembuangan tailing di laut dalam ini. 
 
"Pemerintah mestinya mulai memulihkan kedua wilayah ini untuk menghentikan perluasan perusakan akibat industri ekstraktif," pungkasnya. **
Editor :
Sumber : Rilis KIA
- Dilihat 2648 Kali
Berita Terkait

0 Comments