Selasa, 11/02/2020 10:22 WIB
Penyebab Maraknya Fenomena Bullying Antar Pelajar
DAKTA.COM - Oleh: Jasra Putra, Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak
JAKARTA, DAKTA.COM - Kisah siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang meninggal menjadi gambaran ekstrem fatal dari intimidasi bullying fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman temannya pada medio Februari 2020 ini.
Fenomena kekerasan adalah fenomena anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik, bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian.
Luka fisik bisa dicari obatnya, tetapi luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya kepada anak sehingga menjadi pelaku bullying.
Oleh karena itu semangat Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam melihat anak-anak yang melakukan kejahatan dalam hukum bukan sebagai subyek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya.
Selain itu pasal 9 Undang Undamg nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak dalam ayat (1a) menyatakan setiap anak berhak memdapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Fenomena Bullying, Gangguan Pertumbuhan, dan Konsentrasi Anak Sangat Mengkhawatirkan
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019 mencatat ada 37.381 pengaduan. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Yang trennya terus meningkat, data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es. Sama seperti pernyataan Presiden pada ratas (9/1/2020) melalui Data SIMFONI PPA.
Bahkan Januari sampai Februari kita terus setiap hari membaca berita dan menonton fenomena kekerasan anak. Tentunya ini sangat disadari dan menjadi keprihatinan bersama.
Kalau melihat skala dampak yang disebabkan dari 3 peristiwa di atas, memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal.
Meski secara fisik dan daya belajar anak baik bahkan memiliki prestasi. Namun ketika menghadapi realitas, anak anak tidak siap. Sehingga terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental yang dapat bereaksi agresif seperti bullying. Umumnya bullying adalah perbuatan berulang ulang yang dilakukan anak.
Pemicunya sangat banyak, karena kontrol sosial masyarakat yang berubah lebih agresif dan cepat, sangat mudah ditiru oleh anak. Begitupun represif yang berulang ulang.
Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial. Dan itu kisah yang berulang, karena bisa diputar balik kapan saja oleh anak, tidak ada batasan untuk anak-anak mengonsumsinya kembali.
Sayangnya kondisi yang mengganggu anak tersebut, tidak banyak penyaringannya bila terjadi di sosial media, keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Guru Konseling, Bukan Profesi Sampingan Setelah Mengajar
Meski sudah ada guru dan orang tua juga guru konseling, tetapi lebih nampak perannya saat terjadi kekerasan di sekolah.
Fenomena paparan kekerasan sangat represif masuk ke kehidupan anak dari berbagai media. Tentunya fenomena zaman ini, ada kebutuhan sekolah untuk membaca kondisi kejiwaan setiap siswanya.
Artinya sangat tidak cukup sekolah hanya memiliki 1 guru komseling. Dengan kondisi gangguan di luar yang masif menghantui anak-anak Indonesia. Bahwa ke depan guru konseling bukan profesi sampingan, apalagi dibebankan juga dengan mengajar.
Perlu ada upaya lebih serius dan personal dirasakan setiap anak, dalam upaya membaca dan mencegah gangguan perilaku. Kisah anak SMPN 147 Cibubur yang lompat dari lantai atas sekolahnya menjadi pelajaran dunia pendidikan kita.
Sebenarnya sudah ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun perlu ada upaya luar biasa dengan masifnya paparan kekerasan, dengan menyiapkan psikolog.
Dalam UU Perlindungan Anak, pengobatan kesehatan anak secara komprehensif, baik promosi, rehabilitasi, maupun pengobatan. Dengan maraknya fenomena bullying menjadi kesempatan implementasi pasal 44.
Dimana pada ayat (1) dinyatakan pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
Sedangkan pada ayat (4) dinyatakan Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara percuma-cuma bagi Keluarga yang tidak mampu. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang kesehatan penanganan anak tersebut harus dilakukan secara tuntas.
Dengan peran para psikolog yang memiliki metode yang baik dalam membaca kejiwaan anak dengan metode menulis, menggambar, wawancara, dan pendekatan personal dalam mengambarkan kejiwaan anak-anak. Dapat membantu sekolah, guru konseling dan orang tua menyelamatkan anak-anak mereka dari bullying.
Harapan KPAI, JR MK Dikabulkan
Harapan yang lain, dari peristiwa tersebut. KPAI sedang berupaya melakukan judicial review (JR) Undang Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dengan JR ini KPAI ingin memastikan mekanisme pengawasan dan pencegahan kasus-kasus seperti ini referralnya berjalan sampai tuntas di tingkat bawah.
Dengan kewajiban membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Kita sudah tidak bisa menangani dengan cara cara dulu dan keterbatasan yang ada sekarang.
Saya kira peran serta masyarakat dan lembaga cukup besar selama ini, hanya Negara perlu meningkatkan kewenangan dalam melindungi kerja kerja mereka.
Untuk itu fungsi KPAI bisa diperluas sampai tingkat bawah, dengan membentuk KPAD, agar ada yang berwenang melakukan pengawasan di daerah dalam memastikan penyelenggaraan perlindungan anak berjalan secara efektif. Kemudian memastikan jangan sampai sejengkal tanah pun di NKRI ini, luput dari pengawasan perlindungan anak. **
Editor | : | |
Sumber | : | Jasra Putra |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments