Nasional / Hukum dan Kriminal /
Follow daktacom Like Like
Senin, 10/02/2020 12:02 WIB

Pengamat: Pemerintah Perlu Formulasi Hukum Pemulangan WNI Eks ISIS

Ilustrasi pria membawa senjata (istimewa)
Ilustrasi pria membawa senjata (istimewa)
JAKARTA, DAKTA.COM - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Fahri Bachmid menyebut, tidak ada formulasi aturan hukum khusus terkait wacana pemulangan 660 orang mantan anggota ISIS asal Indonesia. 
 
Menurut Fahri Bachmid, pemulangan WNI eks anggota ISIS yang menuai polemik tersebut perlu ditinjau oleh pemerintah dalam konteks konstitusi dan perundang undangan yang berlaku.
 
Sebab, lanjut Fahri, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (1) tersebut menegaskan ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, sehingga setiap orang secara konstitusional bebas memilih kewarganegaraannya.
 
"Dengan demikian untuk menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945)," ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya yang diterima Dakta, Senin (10/2).
 
Ia mengatakan, memang terdapat sedikit kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika mengunakan instrumen UU RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mendasarkan pada ketentuan pasal 23 poin yang menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden,”. 
 
Sementara, point F yang menyebutkan bahwa “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.”
 
"Ini tentu membutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional," ucapnya.
 
ISIS Sebuah Negara? 
 
Ia menjelaskan, secara normatif subjek hukum internasional terdiri dari a. Negara berdaulat; b. Gabungan negara negara; c. Tahta suci vatikan; d. Orgainsasi internasional,baik yang bilateral, regional maupun multilateral; e. Palang merah internasional; f. Individu yang mempunyai kriteria tertentu; g. Pemberontak (Belligerent) atau pihak yang bersengketa; h. Penjahat perang (Genocide).
 
Dengan demikian subjek hukum internasional terdapat kelompok pemberontak, yang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu “Insurgent” dan Belligerent."
 
Sedangkan ISIS termasuk dalam kelompok Belligerent. Namun, lanjutnya, menjadi sulit secara hukum jika WNI eks ISIS itu dikualifikasikan sebagai warga negara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah atau janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut sebagaimana diatur dalam kaidah ketentuan pasal 23 point f UU No.12/2006.
 
"Karena secara konseptual maupun hukum internasional ISIS tidak dapat dikategorikan sebagai negara, karena tidak memenuhi unsur-unsur negara, sehingga ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities). Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati-hati agar ketika membangun konstruksi hukum terkait dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke Indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal - konstitusional, dan tidak melawan hukum," paparnya.
 
Ia menerangkan, berdasarkan Konvensi Montevideo Tahun 1933 Tentang Hak dan Kewajiban Negara yang ditandatangani pada tanggal 26 desember 1933, yang mengodifikasikan teori deklaratif kenegaraan disebutkan syarat hukum berdirinya sebuah negara yang harus dipenuhi secara mutlak, yaitu: a. Memiliki rakyat; b. Wilayah; c. Pemerintahan; d. Kemampuan berhubungan dengan negara lain; e. Pengakuan kedaulatan dari negara lain.
 
"Berdasarkan hal tersebut maka secara faktual ISIS tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara lain apalagi mendapat pengakuan kedaulatan dari negara lain, sehingga secara hipotetis disimpulkan bahwa ISIS adalah sebuah negara menjadi gugur," terang Fahri.
 
Fahri menambahkan, WNI eks ISIS ini secara hukum telah “stateless” (tanpa kewarganegaraan). Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mereka dipulangkan ke Tanah Air, maka beberapa instrumen dan payung hukum yang berkaitan dengan Pelaksanaan UU RI No. 12/2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi. 
 
Misalnya, identifikasi WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan) ISIS, atau hanya sekadar korban, bahkan yang levelnya sangat bahaya karena sangat radikal dan ekstrem sampai pada level yang resikonya sangat kecil. Itu semua harus dikerucutkan.
 
Kemudian harus ditentukan, proses assessment deradikalisasi mereka dan menunjuk lembaga yang bertanggung jawab penuh atas mereka. Namun, yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat, yang tentunya melibatkan pemerintah daerah karena mengatur tentang tangung jawab dan sebagainya.
 
"Hal hal ini yang harus dikaji secara cermat dan komprehensif oleh pemerintah. Setelah semua proses itu dilalui baru selanjutnya mereka diwajibkan untuk menjalani proses administrasi Pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 8 sampai dengan pasal 16 UU No. 12/2006 yang mana pasal 16 mengatur tentang Sumpah atau Pernyataan Janji Setia kepada Negara Republik Indonesia," jelasnya.
 
Fahri Bachmid mencontohkan pengalaman empiris terkait memperlakukan eks kombatan ISIS, yaitu mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Batam, Dwi Djoko Wiwoho pada tahun 2018 yang silam. 
 
Djoko dan keluarganya menghilang sejak Agustus 2015 dan belakangan diketahui Djoko telah bergabung dengan ISIS dan beroperasi di Iraq. Namun, akhirnya Djoko dan keluarganya berhasil dipulangkan ke Indonesia dan Djoko mendekam dipenjara setelah divonis 3,5 tahun penjara. Sementara anggota keluarga yang lainnya menjalani program deradikalisasi dan ahirnya dilepaskan.
 
"Dan ini bisa menjadi referensi terkait hal ini, agar proses integrasi WNI eks ISIS ke Indonesia tidak menjadi permasalahan baru. Jadi pendidikan serta pembinaan dalam rangka deradikalisasi menjadi penting, agar paham radikal dan ekstremis bisa benar-benar dihilangkan, serta idiologi yang mereka gunakan dapat ditinggalkan," pungkasnya. **
 
Reporter : Ardi Mahardika
Editor :
- Dilihat 1847 Kali
Berita Terkait

0 Comments