Opini /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 05/01/2020 09:45 WIB

Ironi Islamophobia di Negeri Mayoritas

Ilustrasi Islamophobia
Ilustrasi Islamophobia

DAKTA.COM - Oleh: Najma Faiza

 

Tanah air dikejutkan dengan berita penggerebekan sebuah sekolah PAUD yang dilakukan oleh Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri. Densus menggeledah sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kampung Kutawates RT 07 RW 10 Dusun Kragilan Sinduadi, Sleman, Yogyakarta (Republika.co.id). Penggeledahan ini dilakukan karena pemilik PAUD dinyatakan sebagai terduga teroris.

 

Aksi Densus ini bisa jadi merupakan aksi dari kontroversi pernyataan wakil presiden mengenai lembaga PAUD yang terpapar radikalisme. Sebelumnya,  Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyatakan mulai ada gejala penanaman radikalisme di bidang pendidikan,  mulai tingkat PAUD hingga SD.

 

Ma'ruf Amin melihat gejala radikalisme tersebut dengan dipamerkannya poster-poster tokoh-tokoh radikal dalam acara tertentu (CNNIndonesia.com/15/11/2019).  Wapres juga menyatakan bahwa bahan pembelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah dasar di Indonesia bahkan tingkat PAUD terindikasi terpapapar radikalisme (radarcirebon.com/3/12/2019).

 

Pernyataan wapres tersebut sontak menimbulkan reaksi keras dari tokoh-tokoh pendidikan Indonesia.  Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASi,  Erna Nurjanah menilai, harus ada kajian mendalam terhadap pernyataan Wapres Ma'ruf Amin.  Ena juga meminta aga pelabelan radikal terhadap lembaga PAUD tidak diberikan secara sembarangan agar tidak menimbulkan perdebatan.  Hal senada disampaikan juga oleh Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini.

 

Menurut KBBI, radikal bermakna (1) secara mendasar, (2) amat keras menuntut perubahan, (3) maju dalam berpikir atau bertindak.  Sedangkan radikalisme adalah (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.  Jika mengacu kepada definisi radikal dalam pengertian secara mendasar, sebenarnya hal yang sangat wajar jika pada usia PAUD anak-anak ditanamkan prinsip tauhid secara mendalam.

 

Pada usia tersebut, justru saat yang tepat untuk mengokohkan akidah anak.  Pada usia golden age akan sangat menancapkan pengenalan terhadap Allah sebagai Sang Pencipta dan Pengatur Kehidupan, mengenal nabi-nabi, memahamkan Islam sebagai agama dan jalan hidup serta Al Qur'an sebagai kitab suci sekaligus pedoman hidup bagi seorang muslim.

 

Akan sangat terlambat jika baru mengenalkan akidah di usia tamyiz (7 tahun) dan pra baligh. Di usia tersebut, selain mengokohkan akidah, anak sudah mulai dikenalkan, dan diajarkan untuk mengerjakan syariat-syariat yang lain, seperti sholat, shaum, bersedekah, menutup aurat, dan lain-lain. 

 

Diharapkan, saat menginjak usia baligh, anak sudah siap menjalankan seluruh syariat Allah dan memahami konsekuensinya jika melanggar. Yang jadi permasalahan adalah, ketika pelabelan radikal atau radikalisme dimaknai dengan konotasi negatif seperti yang berkembang saat ini. Kata radikal dan radikalisme selalu disematkan kepada sebuah  tindakan yang ditujukan kepada umat Islam yang berupaya menjalankan syariat Islam secara kaffah.

 

Sungguh ironis. Negeri mayoritas muslim justru phobia terhadap agamanya sendiri. Pelekatan istilah radikal dan radikalisme terhadap umat Islam sungguh tidak adil. Daripada terus menimbulkan kegaduhan dan prasangka di tengah-tengah masyarakat tentang narasi radikalisme di tubuh PAUD, akan lebih bijaksana jika pemerintah lebih fokus dalam meningkatkan kualitas pengajaran PAUD dan sekolah dasar berasaskan akidah Islam agar tercetak generasi yang kuat pondasi akidahnya dan siap membangun peradaban cemerlang, bukan generasi rusak yang terpapar budaya k-pop, penyuka free sex, penyuka sesama jenis atau generasi sakit semacam cross hijaber.

 

Apakah generasi semacam ini yang diharapkan kelak untuk membangun negara?  Tidak bukan? **

Editor :
Sumber : Najma Faiza
- Dilihat 2560 Kali
Berita Terkait

0 Comments