Senin, 30/12/2019 13:45 WIB
Kekerasan Anak di Bidang Pendidikan Sepanjang 2019
JAKARTA, DAKTA.COM - Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sepanjang 2019 terus terjadi, mulai dari kekerasan verbal, kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.
Dari hasil pengawasan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masih menemukan fakta bahwa banyak guru dan banyak sekolah hanya tahu cara menangani siswa yang dianggap “nakal” adalah dengan menghukum fisik.
Dampak kekerasan pada anak tidak hanya berasal dari kekerasan fisik semata, melainkan juga berasal dari kekerasan emosional, dan keduanya sama buruknya karena dapat mengganggu perkembangan emosional serta fisik anak, dan juga dapat mengganggu proses tumbuh kembang termasuk mengganggu perkembangan kecerdasannya. Oleh karena itu, sudah seharusnya sekolah yang merupakan lembaga pendidikan zero kekerasan.
Namun faktanya, berbagai kekerasan terus terjadi di sekolah-sekolah, bahkan pada tahun 2019 telah menimbulkan korban jiwa. KPAI menerima pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak di pendidikan sebanyak 153 kasus, yang terdiri dari anak korban kekerasan fisik dan bullying.
Dari jumlah tersebut, yang diselesaikan dengan mediasi sebanyak 19 kasus (13%), melalui rujukan ke pihak terkait 16 kasus (10%), melalui rapat koordinasi nasional di Jakarta sebanyak 95 kasus (62%), dan 15% diselesaikan melalui pengawasan langsung ke lokasi dan penyelesaian melalui rapat koordinasi dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait sebanyak 23 kasus kekerasan fisik di lembaga pendidikan.
Berikut rangkuman kasus kekerasan fisik terhadap anak di bidang pendidikan sepanjang 2019:
Pertama, Kekerasan Fisik Menurut Jenjang Pendidikan
Kekerasan fisik dan bullying tersebut 39% terjadi dijenjang SD/MI, 22% terjadi di jenjang SMP/sederajat, dan 39% terjadi di jenjang SMA/SMK/MA. Adapun jumlah siswa yang menjadi korban kekerasan fisik dan bullying mencapai 171 anak; sedangkan guru korban kekerasan ada 5 orang.
Kedua, Pelaku Kekerasan Fisik di Sekolah
Adapun pelaku kekerasan adalah kepala sekolah, guru, siswa dan orangtua. Kasus kekerasan guru/kepala sekolah ke peserta didik sebanyak 44%, kekerasan siswa ke guru sebanyak 13%; kekerasan orangtua siswa ke guru/siswa 13%; dan Pelaku kekerasan siswa ke siswa lainnya juga cukup tinggi, yaitu 30%.
Selain itu, ada kasus unik, tahun 2019 yaitu seorang motivator yang diundang sekolah untuk menjadi narasumber justru melakukan kekerasan terhadap peserta seminarnya, ada 10 anak menjadi korban penamparan dan makian “goblok”. Sayangnya penyelesaian kasus ini justru melalui jalur damai, tidak diproses hukum.
Ketiga, Bentuk Kekerasan Fisik di Sekolah
Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru atas nama mendisiplinkan siswa berupa dicubit, dipukul/ditampar, dibentak dan dimaki, dijemur diterik matahari dan dihukum lari keliling lapangan sekolah sebanyak 20 putaran.
Sedangkan kekerasan siswa terhadap sesama siswa umumnya dilakukan secara bersama-sama (pengeroyokan) dengan cara dipukul, ditampar, dan ditendang.
Sedangkan bentuk kekerasan siswa ke guru adalah dipukul, dibully, divideokan kemudian diunggah ke media sosial, dan ditikam dengan pisau.
Keempat, Tempat Pelaku Melakukan Kekerasan Seksual di Sekolah
Para pelaku mayoritas melakukan kekerasan di ruang kelas. Namun, ada juga yang dilakukan di ruang kepala sekolah, di lapangan/halaman sekolah, di kebun belakang sekolah, dan aula sekolah.
Kelima, Alasan Melakukan Kekerasan Fisik
Alasan guru melakukan kekerasan fisik ke siswanya adalah dalih untuk mendidik dan mendisiplinkan siswanya. Alasan orangtua siswa melakukan kekerasan kepada guru adalah ingin membela anaknya yang dianggap telah jadi korban kekerasan oleh gurunya.
Adapun alasan siswa melakukan kekerasan terhadap sesame siswa adalah untuk membalas dendam dan sengaja adu kekuatan (gladiator) karena perintah siswa senior. Sedangkan kasus siswa membully guru sebagian besar karena ingin video yang dibuatnya viral sehingga jadi terkenal.
Karena masih banyaknya jumlah kekerasan di pendidikan, Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti mendorong pemerintah daerah memutus mata rantai kekerasan di lingkungan pendidikan dimulai dari para guru, kepala sekolah, dan petugas sekolah lainnya.
"KPAI mendorong pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas guru dalam pengelolaan kelas," kata Retno dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (30/12).
Menurutnya, sehubungan dengan tingginya angka kekerasan di lembaga pendidikan, siswa dan orang tua siswa harus menjadi prioritas yang harus dikerjakan Mendikbud baru.
Selama ini, meskipun Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan sudah ada, akan tetapi pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah selama 4 tahun terakhir ini tidak mengacu pada Pemendikbud tersebut. **
Reporter | : | |
Editor | : |
- BP Haji: Sesuai Perintah Presiden, Sudah ada 7 Penyidik KPK yang dilantik menjadi Eselon 2 dan 1 orang lagi akan menjadi Eselon 1 di BPH
- Saudi Berencana Batasi Usia Jemaah Haji Lansia di Atas 90 Tahun pada 2025
- Kritik OCCRP, Pakar Hukum: Nominasikan Tokoh Korup Tanpa Bukti adalah Fitnah
- 5 Profil Finalis Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 Versi OCCRP, Jokowi Salah Satunya
- Akal Bulus BI, CSR Dialirkan ke Individu Lewat Yayasan, Ada Peran Heri Gunawan dan Satori?
- Promo Libur Akhir Tahun Alfamidi
- 85 PERSEN PROFESIONAL INGIN REFLEKSI DIRI YANG LEBIH INTERAKTIF
- ARM HA-IPB DISTRIBUSI 210 PAKET BANTUAN TAHAP 2 KE CILOPANG DAN PANGIMPUNAN, SUKABUMI
- Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Perparah Kesenjangan Ekonomi
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
0 Comments