Senin, 23/12/2019 08:56 WIB
DPR: AKI dan Perceraian Pekerja Migran Memprihatinkan
JAKARTA, DAKTA.COM - Anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati merasa prihatinan karena Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan di Indonesia nomor 2 tertinggi di ASEAN.
Ia menyampaikan, para ibu Indonesia yang diharapkan menjadi pendidik anak-anak bangsa, masih menghadapi problem besar. Angka kematian ibu Indonesia masih tinggi dibanding negara-negara ASEAN. Sementara para ibu yang menjadi pekerja migran, menghadapi ancaman meningkatnya angka perceraian setiap tahun.
“Kita masih memprihatinkan, di level ASEAN saja rata-rata AKI 197 per 100 ribu kelahiran. Sedang di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup, tidak lebih baik dari Filipina. Bahkan menempati posisi kedua dengan AKI tertinggi,” papar Mufida dalam siaran persnya yang diterima, Senin (23/12).
Menurut Mufida, penyadaran sejak dini perlu dilakukan secara menyeluruh. Untuk pemahaman, lanjut Mufida, di kota-kota mungkin sudah cukup bagus.
“Tetapi di desa-desa masih cukup memprihatinkan. Penyebab kematian ibu ini kan banyak variasinya, ada karena hipertensi, perencanaan kelahiran yang kurang baik misal di usia rawan atau di usia yang terlalu dini dan lain-lain,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Sementara itu, para ibu yang menjadi pekerja migran juga menghadapi ancaman yang tak kalah berat. Mufida memaparkan, berdasarkan dokumen dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong yang disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Pencataan Perkawinan WNI di Luar Negeri, pengajuan gugat cerai pada 2014 tercatat 2971 kasus. Hal itu meningkat menjadi 3280 kasus di tahun 2015. Kemudian meningkat lagi pada 2016 menjadi 3579 kasus.
“Setiap tahun, ada peningkatan 300an kasus perceraian menimpa perempuan pekerja migran. Pada tahun 2019 diperkirakan ada sekitar 4600 kasus,” ungkap Mufida.
Mufida menambahkan, banyak perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbebani dengan banyak masalah keluarga sebelum memutuskan menjadi PMI. Perempuan PMI banyak yang tidak siap secara keterampilan yang menjadi tuntutan pekerjaan dan juga dari sisi bahasa.
“Sementara kepercayaan diri mereka juga rendah, sehingga cenderung tidak percaya diri jika ada yang mengintimidasi dan tidak mau repot memperpanjang dengan urusan hukum atau melapor ke kepolisian setempat, padahal pada posisi yang benar,” papar Mufida.
Problem makin berat karena banyak dari perempuan PMI hadir di negara penempatan dengan sejuta rindu kepada anak, orang tua, suami, dan teman-temannya. Akibatnya, cenderung prestasi kerjanya kurang.
Mufida menambahkan, sementara di Tanah Air, dengan para ibu pergi bekerja di luar negeri juga menjadi beban bagi anaknya karena peran pendidikan yang seharusnya dijalankan para ibu menjadi tidak dapat berjalan.
“Belum lagi dengan angka perceraian yang sangat tinggi, berakibat ketidakjelasan hak asuh, sehingga anak lagi-lagi menjadi korban,” tandas Mufida. **
Reporter | : | |
Editor | : |
- BP Haji: Sesuai Perintah Presiden, Sudah ada 7 Penyidik KPK yang dilantik menjadi Eselon 2 dan 1 orang lagi akan menjadi Eselon 1 di BPH
- Saudi Berencana Batasi Usia Jemaah Haji Lansia di Atas 90 Tahun pada 2025
- Kritik OCCRP, Pakar Hukum: Nominasikan Tokoh Korup Tanpa Bukti adalah Fitnah
- 5 Profil Finalis Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 Versi OCCRP, Jokowi Salah Satunya
- Akal Bulus BI, CSR Dialirkan ke Individu Lewat Yayasan, Ada Peran Heri Gunawan dan Satori?
- Promo Libur Akhir Tahun Alfamidi
- 85 PERSEN PROFESIONAL INGIN REFLEKSI DIRI YANG LEBIH INTERAKTIF
- ARM HA-IPB DISTRIBUSI 210 PAKET BANTUAN TAHAP 2 KE CILOPANG DAN PANGIMPUNAN, SUKABUMI
- Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Perparah Kesenjangan Ekonomi
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
0 Comments