Opini /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 13/12/2019 08:52 WIB

Di Kala Majelis Taklim Disertifikasi

Ilustrasi kajian majelis taklim
Ilustrasi kajian majelis taklim
DAKTA.COM - Oleh: Alin FM, Praktisi Multimedia dan Penulis
 
Di akhir bulan lalu Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 untuk mendata majelis taklim di seluruh Indonesia yang juga disebut sebagai sertifikasi majelis taklim. Pendataan majelis taklim tersebut agar mudah memperoleh bantuan pemerintah.  
 
Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 29 tahun 2019 mendefinisikan majelis taklim sebagai lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam secara nonformal. 
 
Menurut peraturan tersebut, pengurus majelis taklim yang hendak mendaftar harus mengajukan permohonan tertulis kepada kepala kantor Kementerian Agama atau melalui kantor urusan agama di kecamatan. 
 
Syarat pendaftaran, yaitu memiliki kepengurusan, memiliki domisili, dan memiliki paling sedikit 15 anggota jemaah. Setelah terdaftar, majelis taklim akan mendapatkan sertifikat yang berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang.
 
Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa`idi, dalam pernyataan tertulis, mengatakan pengaturan majelis taklim bermaksud memudahkan pemerintah dalam melakukan "koordinasi dan pembinaan". 
 
Pembinaan yang dimaksudkan mencakup penyuluhan dan pembekalan materi dakwah, penguatan manajemen dan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, serta pemberdayaan jamaah. Peraturan tersebut juga bisa dijadikan payung hukum pemberian bantuan dana, baik dari APBN maupun APBD.
 
Ide tersebut didukung oleh Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin. Ma'ruf memandang pendataan penting agar tidak menimbulkan masalah. "Jangan sampai ada majelis yang menjadi persoalan atau mengembangkan radikalisme, kan jadi masalah," kata Ma'ruf kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/12/2019). 
 
Pendataan Dianggap Tidak Perlu
 
Persoalan sertifikasi majelis taklim bagi sebagian masyarakat dianggap hanya akan merepotkan, karena kebanyakan majelis taklim di daerah berjalan secara swadaya dan independen. Dari pengumpulan dana guna untuk berbagai keperluan majelis taklim, termasuk membayar akomodasi ustadz atau pengajar dilakukan swadaya oleh jamaah majelis taklim. 
 
Materi yang dibahas pun mencakup ajaran-ajaran agama Islam seperti belajar tajwid, fiqih, tafsir Al-Qur`an dan hadits, tsaqofah yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman paling utama bagi  Majelis taklim adalah Al-Qur`an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Jadi tidak perlu ada kekhawatiran dari pemerintah tentang materi dakwah tersebut.
 
Fauzi Syukron, sekretaris umum Majelis Rasulullah, salah satu majelis taklim terbesar di Jakarta menyatakan mengakui ada kekhawatiran bahwa, atas nama pembinaan, pemerintah akan mengawasi dan mengatur materi majelis taklim dengan dalih mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme."Jangan sampai sertifikasi majelis taklim ini didasari pada kecurigaan. Karena kalau didasari kecurigaan, masyarakat akan antipati,"
 
Kalangan anggota DPR dan anggota partai politik juga menentang aturan sertifikasi majelis taklim ini. Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan memandang peraturan tersebut berlebihan.
 
Reaksi lebih keras datang dari Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Ia menuduh pembuat PMA tentang Majelis Taklim itu islamofobik. “Saya kira peraturan itu terpapar Islamophobia. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan elite terutama di Kementerian Agama dan di beberapa tempat lain. Cara mereka mengambil keputusan ini terpapar Islamophobia,” ucap Fadli saat ditemui para wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/12). 
 
Fadli menyayangkan seringnya pemerintah mengungkit isu radikalisme dan terorisme. Ia memperingatkan isu-isu itu “jangan selalu diungkit karena justru merugikan Indonesia.”
 
Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati meminta pemerintah tidak sembarangan dalam menerbitkan aturan majelis taklim ini. Sebab, publik bisa menangkap pesan pemerintah sedang mengincar kelompok tertentu. "Artinya akan muncul potensi narasi keberpihakan negara terhadap kelompok tertentu melawan kelompok lainnya," ujar Wasisto. 
 
Pemerintah harus menjelaskan tujuan pendataan majelis taklim karena majelis mewakili mazhab Islam. Jika pendataan dalam rangka untuk kontrol negara, pemerintah bisa dianggap bias. Ia pun khawatir, makna kata 'harus' dalam pendataan mengarah pada upaya di luar agama.
 
"Cara berpikir pendataan ini kan mirip militer. Pengawasan yang nanti ujungnya 'pengamanan'," kata Wasisto. 
 
Wasisto meminta pemerintah harus menjelaskan maksud pendataan. Jika masalah yang ingin diselesaikan adalah radikalisme dan intoleransi, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan pro-aktif dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
 
Sertifikasi Berujung Memata-matai Umat Islam
 
Menteri Agama Fachrul Razi kembali menciptakan sensasi yang menjadi kontroversi setelah persoalan cadar dan celana cingkrang. Tampaknya lagi-lagi membuat  kebijakan yang merepotkan masyarakat. Aturan yang ngawur dan tak berdasar. 
 
Bagaimana bisa muncul wacana untuk menertibkan majelis taklim dengan alasan demi kemudahan memberikan bantuan dana. Apakah Kemenag kelebihan anggaran sehingga mau membagi-bagikannya pada majelis taklim? Bukankah majelis taklim itu ada Puluhan ribu, ratusan ribu ataukah jutaan majelis taklim yang tersebar dari skala kota sampai seluruh pelosok negeri. Seberapa banyak majelis taklim diberi bantuan? Dan Seberapa efektif dana yang diperlukan oleh majelis taklim?.
 
Lama-lama, makin terasa janggal kebijakan menteri agama ini. Dalam mekanisme pendaftaran majelis taklim, pasti akan meminta banyak data terkait keterangan mengenai kegiatan, penceramah, anggota, tempat, waktu dan lain sebagainya. 
 
Hal itu sama saja dengan aktivitas memata-matai warga negara sendiri dibungkus menangkal radikalisme.  Yang nantinya akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat, menuduh ilegal pada kelompok majelis taklim yang tidak terdaftar dan bisa membubarkannya begitu saja.
 
Majelis taklim bukan hanya sarana dakwah umat tapi sudah dimanfaatkan untuk ajang promosi sebuah produk, promosi agent travel umroh bahkan media kampanye pemilu, pilpres,  dan pilkada di berbagai wilayah.
 
Posisi bargaining majelis taklim  telah tampak jelas di tengah masyarakat. Lebih dari itu, geliat kajian  majelis taklim makin berpengaruh di tengah umat. Juru dakwah majelis taklim mulai melangkah mengisi barisan perjuangan Islam, serius meriayah Umat. Fenomena basis massa pergerakan aksi dan reuni 212 pun terjadi.  Publikasi acara majelis taklim dari dan untuk membangkitkan umat pun tak berhenti menghiasi halaman sosial media.
 
Eksistensi majelis taklim sebagai sarana dakwah dan tempat pengajaran ilmu-ilmu keIslaman memiliki basis tradisi sejarah  yang kuat. Sejak Nabi Muhammad SAW mensyiarkan agama Islam di awal-awal risalah beliau. 
 
Bahkan hingga saat ini, keberadaan majelis taklim masih menjadi pilihan para pegiat dakwah sebagai sarana paling efektif  dalam melanjutkan tradisi penyampaian pesan-pesan agama ke tengah-tengah umat tanpa terikat oleh suatu kondisi tempat dan maupun waktu. Artinya ini sudah menjadi tradisi panjang dalam sejarah umat Islam dan harus terus dilestarikan.
 
Majelis Taklim sebagai salah satu bentuk pendidikan Islam nonformal, mempunyai andil besar dalam pengetahuan keIslaman masyarakat Indonesia khususnya bagian masyarakat yang tidak sempat mengenyam pendidikan Islam formal. Peserta pengajian Majelis Taklim tidak dibatasi dalam tingkat usia, kemampuan atau lainnya, tapi siapa saja yang berminat boleh mengikutinya. 
 
Untuk itu pesertanya sangat heterogen, tidak ada tingkatan tertentu, yang penting mereka ikhlas dan tertib dalam mengikuti pengajian yang dilakukan. akan tetapi tidak semua majelis taklim serupa, ada beberapa peserta majelis taklim yang terdiri dari kalangan tertentu seperti para ustadz, mubaligh, ulama atau para selebritis atau kalangan profesional.
 
Kini, Dakwah Islam semakin menggeliat. Tapi tentunya musuh-musuh Islam tak akan pernah tinggal diam, mereka akan terus mencari cara menghentikan geliat dakwah Islam termasuk di majelis taklim  ini. Propaganda untuk menciptakan Islamphobia ditengah kaum muslim semakin gencar dilakukan, dengan mengolah isu-isu sensitif seperti menyinggung atribut-atribut Islam, ekstrimisme hingga radikalisme. 
 
Akhirnya muncullah rangkaian narasi bahwasannya menangkal dan mencegah radikalisme di tubuh majelis taklim dikhawatirkan menjadi cikal bakal dari terorisme pencetus penegakkan syariat Islam dalam bingkai sebuah Khilafah, yang anti NKRI dan Pancasila. Narasi negatif inilah yang terus digunakan Rezim anti Islam sebarkan Islamphobia ke tengah-tengah masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah seakan sangat membenci Khilafah yang notabene ajaran Islam?
 
Isu radikal menyebar dengan cepat menyasar majelis taklim untuk mencegah  radikalisme. Sehingga dibutuhkan penertiban dan pendataan dengan istilah "sertifikasi majelis taklim" untuk mematai- matai umat Islam dengan tujuan akhirnya kebangkitan Islam bisa terhambat. 
 
Padahal dalam Islam haram hukumnya memata-matai orang lain, kecuali memata-matai musuh negara ketika perang bukan warga negera sendiri. Haram juga berprasangka terhadap sesama muslim.
 
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S Al Hujurat ayat 12)
 
Di dalam syariah Islam, Memata-matai orang lain disebut dengan tajasus dan hukumnya haram sesuai nash Al Qur'an. Juga sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” ( HR. Bukhari muslim)
 
Sungguh tajasus ini adalah larangan dari Allah SWT, kenapa tetap dilakukan, apalagi dipropagandakan oleh pemerintah?. Pasti akan menyebabkan terjadinya saling mencurigai antar kelompok majelis taklim dan antara umat Islam. Maka sungguh meresahkan jika Menteri Agama justru mengeluarkan kebijakan yang akan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat wabilkhusus tubuh umat Islam.
 
Harusnya negara memfasilitasi dan memudahkan rakyatnya dalam menuntut ilmu, karena menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib. Bukan malah mempersulit dengan berbagai aturan yang merepotkan. Atau mendata pelaku LGBT yang jelas-jelas merusak dan mengancam generasi negeri ini. Atau menangani kelompok aliran sesat sempalan yang merusak kemurnian ajaran Islam.
 
Allâh SWT tegaskan lagi pada ayat lain: Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung (Q.S Yûsuf ayat 23). Wallahu a'lam bishoab
 
Editor :
Sumber : Alin FM
- Dilihat 3014 Kali
Berita Terkait

0 Comments