Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi
DAKTA.COM - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berjanji untuk memberikan ruang bagi guru untuk berinovasi. Tujuannya agar pengajar hingga murid dapat belajar dengan mandiri dan kreatif. Nadiem juga mengatakan, guru yang merdeka untuk berinovasi akan menjadi fokus pembenahan yang akan dilakukannya (katadata.co.id/25/11/2019).
Beredar salinan pidato atas nama Mendikbud Nadiem Makarim untuk upacara hari guru nasional. Dalam isi pidato tersebut Mendikbud akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Beliau juga meminta adanya perubahan yang dilakukan oleh guru di kelas, seperti mengajak kelas berdiskusi bukan hanya mendengar, memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas, mencetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas, menemukan bakat dari murid yang kurang percaya diri dan menawarkan bantuan pada guru yang sedang kesulitan (Tempo.co/24/11/2019).
Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo mengapresiasi isi pidato Nadiem Makarim. Menurut Henny, ajakan memerdekakan diri sangat penting, dan bisa ditangkap sebagai udara segar. Kesadaran bahwa guru yang merdeka itu membuat situasi lingkungan jadi lebih menyenangkan untuk proses pembelajaran (Tempo.co.id/24/11/2019).
Sekilas, isi pidato Mendikbud untuk memerdekakan guru seakan sebuah terobosan yang akan memajukan dunia pendidikan Indonesia. Guru yang merdeka dan diberikan keluasan dalam mengajar, diharapkan mampu mencetak output peserta didik yang kreatif dan inovatif. Namun, apakah memerdekakan guru hanya sebatas dimaknai kebebasan berinovasi dalam mengajar?
Memerdekakan guru harus dimaknai secara luas. Merdeka dari apa? Tentu dari segala permasalahan yang membelit guru. Persoalan ekonomi adalah permasalahan utama guru saat ini. Gaji yang tidak sepadan dengan kerja keras yang telah dicurahkan, membuat guru tidak fokus dalam mengajar. Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia, Muhammad Ramli Rahim, seperti dikutip CNNindonesia.com mengatakan, "Nadiem Makarim harus mampu membebaskan guru dari keterhinaan dengan pendapatan yang jauh lebih rendah dari buruh bangunan. Dengan begitu guru ditempatkan di tempat yang mulia". Kehidupan kapitalistik telah membuat seluruh aspek hajat hidup harus dipenuhi oleh tiap individu, mulai dari kebutuhan primer, listrik hingga kesehatan membuat kehidupan guru semakin tercekik.
Persoalan lain adalah bergonta gantinya kurikulum seiring dengan pergantian pemerintahan baru. Guru-guru dibuat bingung dengan kebijakan baru, belum lagi dengan seabrek tugas administrasi yang melelahkan dan menghabiskan waktu. Padatnya materi yang harus diselesaikan sesuai target kurikulum, membuat guru terkesan hanya mentransfer materi saja, yang penting target pelajaran terealisasi.
Wajar, jika kurikulum pendidikan Indonesia selalu berganti, karena negeri ini belum memiliki bentuk baku yang mampu melahirkan generasi cemerlang. Kurikukum berbasis sekuler justru melahirkan generasi rusak moral dan kehidupan serba bebas. Seharusnya negeri ini mulai mengambil kurikulum alternatif yang berasal dari sistem yang sempurna. Kurikulum pendidikan berasaskan akidah Islam telah melahirkan generasi-generasi cemerlang seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Abbas Ibnu Firnas yang hasil temuannya menjadi cikal bakal teknologi mutakhir abad modern. Sistem pendidikan Islam memiliki visi jauh ke depan dari hanya sekedar mencetak lulusan siap kerja, namun mencetak lulusan yang memiliki andil besar bagi kemajuan sebuah peradaban.
Tak akan ada lagi kegamangan guru akibat kecilnya pendapatan, karena di dalam Islam guru ditempatkan pada posisi mulia. Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000). Sedangkan di masa Daulah Abbasiyah, gaji guru adalah 200 dinar per bulan.
Kemerdekaan belajar seharusnya dinikmati juga oleh pelajar. Merdeka dari biaya pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, merdeka dalam mendapatkan fasilitas penunjang belajar berkualitas hingga mampu menghasilkan temuan-temuan yang bermanfaat bagi umat. Dan yang lebih penting lagi, para pelajar harus merdeka dari akses-akses yang merusak moral akibat diterapkannya sekulerisme.[]
Editor | : | Dakta Administrator |
Sumber | : | Opini Irma Sari Rahayu, S.Pi |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments