DAKTA.COM - Oleh: Kartini Rosmalah D.K, Dosen Ilmu Komunikasi, dan Pembina Komunitas SWI Bekasi
BPJS Kesehatan adalah program pemerintah yang dicetuskan pada tahun 2014. Harapannya program ini mampu menyelesaikan persoalan kesehatan di masyarakat dengan jaminan pemberian pelayanan yang maksimal.
Konsep ini tercetus dengan pemberian premi kepada para anggota BPJS dengan masing-masing tingkatan kelas berbeda-beda. Mereka menggolongkan dalam 3 kelas: kelas 1, 2, dan 3.
Beban ini diberikan dengan klasifikasi pembayaran individu hingga perusahaan yang mewajibkan BPJS kepada seluruh karyawannya. Ini wajib bagi 1 Kartu Keluarga (KK) yang harus membayar per individu tiap keluarganya. Sehingga, tercatat berapa yang harus dibayar di setiap KK-nya. Kelas 3 sebesar Rp25.500, kelas 2 sebesar Rp51.000, dan kelas 1 Rp80.000.
Misalkan kelas 2 ada 5 anggota dalam keluarganya, maka tinggal dikalikan Rp51.000 untuk masing-masing anggota keluarga. Jadi KK tersebut harus dibayar sekitar Rp255.000 per bulan. Jika telat membayarnya maka akan diberikan denda 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan tiap bulan.
Pemerintah yang baru saat ini memberikan "kabar tak sedap" kepada rakyatnya, bahwa di awal tahun 2020, pemerintah akan menaikkan iuran BPJS dua kali lipat atau 100% menjadi kelas 3 sebesar Rp42.000, kelas 2 sebesar 110.000, dan kelas 1 sebesar Rp160.000. Alasannya karena pemerintah memprediksi mengalami defisit tahun ini Rp32,8 triliun, dimana di tahun 2018 sebelumnya defisit Rp9,1 triliun. Angka prediksi ini terbilang fantastik, hampir 4 kali lipat prediksi defisitnya.
Klaim ini menjadi alasan kuat mengapa pemerintah "ngotot" untuk menaikkan preminya. Walaupun pada faktanya, rakyat sendiri tidak tahu bagaimana proses penyaluran dananya untuk jaminan pelayanan kesahatan. Tapi, jika dinaikkan preminya, maka bisa kita bayangkan berapa kantong uang yang harus dikeluarkan hanya untuk membayar BPJS (contoh kelas 2 yang tadinya 255.000 kini menjadi 550.000 per bulan).
Selain itu, ada banyak kasus yang sering terjadi, seperti minimnya pelayanan BPJS di Rumah Sakit. Bahkan mempersulit pasien BPJS dengan antrean yang cukup panjang dengan administrasi yang berbelit-belit. Tragisnya, nyawapun bisa melayang. Di Pekalongan (Jawa Tengah) misalnya, seorang ibu (57 tahun), pasien BPJS, ditolak pihak RSUD Kajen, karena dianggap penyakit biasa. Padahal pihak Keluarga sudah merasa khawatir dengan kondisi ibu tersebut dan meminta untuk di rawat inap. Namun, pihak Rumah Sakit tetap menolaknya. Hingga beberapa hari kemudian, akhirnya meninggal dunia. (jateng.tribunnews.com, 7/10/19).
Seperti itulah sistem Demokrasi, dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Begitu pula sama dengan jaminan pelayanan kesehatan pemerintah, BPJS. Uang jaminan kesehatan dari rakyat (premi per bulan), bayar pelayanan kesehatan yang berasal dari uang rakyat kembali lagi untuk rakyat, dan jaminan untuk orang yang tidak mampu pakai BPJS juga oleh uang rakyat.
Ini membuktikan, BPJS bukan jaminan kesehatan. Karena negara hanya menjadikan rakyatnya sebagai objek bisnis. Rakyat dipaksakan untuk menjamin kesehatan dirinya bukan negara menjamin kesehatan rakyatnya.
Fakta ini memang tak seindah apa yang diharapkan. Negara seolah-olah abai dari tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat. Tapi justru menjadi negara korporasi yang memanfaatkan pelayanan.
Pengalihan tanggung jawab negara ini memperjelas kecacatan sistem demokrasi dalam mengolah negara, sehingga negara tidak mampu dalam mengatur urusan rakyatnya dengan baik.
Dalam sistem Islam, siapapun orangnya, tak dilihat status kedudukannya, hartanya, pendidikannya, atau kelas sosialnya, maka akan dijamin secara penuh oleh negara. Karena, kesehatan adalah kebutuhan hidup yang fital, yang harus dipenuhi dan ini menjadi kewajiban bagi negara dalam melayani dan memberikan jaminan kesehatan bagi warganya.
Islam telah memberikan contoh riil dalam sejarah peradaban kejayaan Islam bahwa jaminan kesahatan merupakan hak setiap individu warga negaranya untuk dipenuhi.
Hal ini ditunjukkan pada zaman kekhilafahan Islamiyah. Negera memberikan pelayanan kesehatan yang menjamin kesehatan secara penuh, baik kondisi fisik maupun psikologis. Dan negara bertanggung jawab atas setiap jiwa manusia secara penuh tanpa membedakan lingkungan, strata sosial, tingkat ekonomi ataupun pendidikan.
Para khalifah dan penguasa muslim bukan hanya mengandalkan anggaran negara saja, tetapi mereka berlomba-lomba untuk mengalirkan pahala. Mereka mewakafkan sebagian besar hartanya untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan & pengobatan pasiennya.
Seperti Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa pada masa Khilafah Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan Rumah Sakit al-Manshuri al-Kabir, Kairo. Tidak hanya itu, pada masa kekhilafahan, jaminan kesehatan juga diberlakukan bagi tahanan di dalam penjara.
Dokter-dokter yang akan memeriksa mereka setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara dan mengobati mereka yang sakit.” (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’, hal. 148)
Inilah peradaban Islam mampu memberikan jaminan kesehatan yang nyata bukan kamuflase. Bukan rakyat sebagai objek bisnis penguasa, tapi justru negara menjamin secara utuh setiap jiwanya.
Editor | : | |
Sumber | : | Kartini Rosmala |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments