Nasional / Hukum dan Kriminal /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 17/11/2019 10:58 WIB

Pakar Politik: Representasi Kalangan Islam di DPR Turun Drastis

Kawasan gedung DPR, MPR, DPD di Sanayan Jakarta
Kawasan gedung DPR, MPR, DPD di Sanayan Jakarta
YOGYAKARTA, DAKTA.COM - Pakar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia, Sodik Mudjahid menilai sejak lima tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Jokowi lebih banyak membuat kebijakan yang kurang menguntungkan bagi umat Islam.
 
Rata-rata produk undang-undang yang dihasilkan dari DPR lebih banyak mewakili kepentingan golongan sekuler. Padahal mayoritas yang akan terkena imbas dari kebijakan undang-undang nantinya adalah umat Islam sebagai warga mayoritas. 
 
Ia mencontohkan, seperti Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang hingga kini masih menuai kontroversi karena munculnya anggapan bahwa RUU ini mendukung praktik perzinaan, melanggengkan LGBT, dan bahkan mengamini praktik aborsi. Beruntung, RUU ini ditunda untuk dibahas oleh DPR. 
 
“Sejak 5 tahun terakhir, representasi kalangan Islam di DPR kian menurun drastis jumlahnya. Tidak heran, jika di legislatif dan eksekutif kepentingan Islam pada akhirnya kurang terwakili,” ujar Sodik Mudjahid dalam sebuah diskusi di Yogjakarta, Sabtu (16/11/2019).
 
Menurut Sodik, kelompok-kelompok non-muslim yang saat ini menguasai DPR dan eksekutif sesungguhnya sudah memiliki roadmap menguasai Indonesia untuk 20 tahun ke depan. Kekuatan kelompok ini didukung tim pakar untuk memproduksi UU yang sekuler, tim lobby, dan tim pendana. Sementara kelompok Islam, hanya datang pada saat rapat dengar pendapat (RDP) di menit-menit terakhir pengesahan UU.
 
Karena itu, lanjut Sodik, kelompok non Islam ini berkuasa setelah mereka berhasil melakukan amandemen UUD 45, yaitu penghapusan kata pribumi dan diperkenankannya pemilihan langsung. Partai Sosialis Indonesia, kata Sodik, jelas partai yang salah satu misinya membuang UU yang berbau syariah.
 
“Mereka lebih siap dengan sistem demokrasi langsung sementara umat Islam masih belum siap dan masih apriori dengan demokrasi,” imbuhnya.
 
Sementara itu, Ia mengaku, ketika ia datang ke dewan kemakmuran masjid (DKM) dan tokoh Islam di Jawa Barat, mereka tidak memiliki jawaban yang sama perihal untuk calon gubernur dan wali kota.
 
"Mereka lebih siap dengan sistem demokrasi. Akibatnya, bupati dan wali kota terpilih bukan dari perwakilan umat Islam. Kalaupun masih Islam, mereka akan pilih yang masih sejalan dengan pemikiran mereka. Umat Islam tidak mempunyai roadmap di Jawa, Sumatera, dan daerah lainnya. Jadi wajar, pengurus DKM masih bingung," jelasnya
 
Padahal, lanjutnya, sistem demokrasi memberikan peluang untuk menghasilkan produk-produk legislasi yang syar’i asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila dan prosesnya dihasilkan secara konstitusional. **
Reporter :
Editor :
- Dilihat 1452 Kali
Berita Terkait

0 Comments