Selasa, 12/11/2019 10:01 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Izin Tambang di Pulau Wawonii Dicabut
JAKARTA, DAKTA.COM - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak izin usaha pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dicabut.
Permintaan pencabutan izin pertambangan ini didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dari sisi hukum, pertambangan di Pulau Wawonii jelas melanggar UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 35 yang menyatakan: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang untuk melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”
“Pulau Wawonii adalah pulau kecil, karena luasnya hanya 715 kilometer persegi. Dengan demikian, pertambangan nikel di pulau ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di Jakarta, Senin (11/11).
Dari sisi lingkungan hidup, pertambangan di Pulau Wawonii telah menyebabkan krisis ekologis yang sangat parah. Setiap tahun, banjir bandang selalu terjadi di pulau kecil ini. Padahal sebelum adanya proyek tambang, banjir tidak pernah terjadi.
Kepala Kampanye JATAM, Melky Nahar menyampaikan, saat ini warga sudah mulai merasakan dampak dari daya rusak tambang nikel di Pulau Wawonii. Aktivitas tambang telah menyebabkan gagal panen perkebunan akibat dari debu pertambangan.
“Pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau besar. Dengan daya rusak pertambangan yang sangat tinggi dan mustahil untuk dipulihkan, maka bisa dipastikan jika tambang nikel tetap beroperasi, kita tinggal menghitung mundur saja kematian Pulau Wawonii,” tambah Melky Nahar.
Tak hanya di darat, kerusakan lingkungan juga terjadi di kawasan pesisir Wawonii, khususnya di Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Selatan, tempat dibangunnya pelabuhan khusus. lebih dari dua hektare terumbu karang mengalami kerusakan yang cukup parah.
Kini, masyarakat sudah sulit menemukan ikan-ikan karang. Meski pertambangan nikel di atas hutan, tetapi limbahnya akan berakhir di pesisir atau laut. Kemudian dalam jangka waktu lama, kerusakan terumbu karang akan terus meluas jika proyek pertambangan tidak dihentikan.
Di Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Selatan, pembangunan pelabuhan khusus untuk tambang dengan lebar 20 meter dan luas 6 meter telah merusak ekosistem pesisir perairan Desa Roko-roko.
Karena ekosistem pesisirnya sudah mulai rusak secara perlahan-lahan, maka ikan sudah mulai sulit didapatkan. Nelayan di Kecamatan Wawonii Selatan dan Wawonii Tenggara melaporkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan setelah adanya proyek tambang nikel.
Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap 50 kg gurita setiap hari, maka setelah adanya proyek tambang nikel, nelayan hanya bisa menangkap gurita sebanyak 5 kg saja. Artinya ada penurunan hasil tangkapan sebanyak 45 kg setiap harinya.
Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap ekor kuning dan ikan sunu sebanyak 1000 kg setiap hari, maka setelah adanya proyek tambang mereka hanya bisa menangkap di bawah 100 kg. Dengan kata lain, ada penurunan hasil tangkapan lebih dari 900 kg.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga melakukan investigasi terkait dengan upaya kriminalisasi terhadap 27 masyarakat Wawonii.
Dalam temuan KontraS, secara umum 27 orang dituduh melakukan perlawanan terhadap kegiatan perusahaan, sehingga pasal yang dikenakan seputar pasal 333 KUHP tentang Perampasaan Kemerdekaan dan pasal 162 UU Mineral dan Batubara tentang penghalangan kegiatan perusahaan.
Kehadiran tambang di tengah tengah kehidupan masyarakat seakan menjadi mimpi buruk buat mereka. Kondisi sekarang sama sekali mereka tidak pernah bayangkan, tanah waris yang mereka telah kelola lebih dari 30 tahun harus menjadi korban ketamakan korporat.
Kemudian konflik sosial mulai tercipta bahkan di tiap malamnya sesama masyarakat dipaksa untuk saling mengintai dan mencurigai satu sama lain, seakan rasa kekeluargaan yang dulu pernah ada hanyalah sekedar masa lalu yang tak patut tuk direnungkan. Namun, yang terparah dari imbas aktivitas pertambangan di sana adalah kriminalisasi dan proses hukum yang tak berpihak.
“Kondisi yang terjadi di Pulau Wawonii saat ini ialah politisasi penegakan hukum. Di saat pihak perusahaan yang melapor cepat di usut, namun di saat rakyat yang melapor proses penegakan hukum tidak berjalan. Atas kejadian ini ada beberapa warga yang sampai sekarang masih trauma, bahkan di saat mereka dimintai keterangannya oleh pihak yang berniat untuk membantu mereka enggan untuk bercerita,” ungkap Aktivis KontraS, Rivanlee Anandar.
Dalam hingar-bingar konflik sumber daya alam, pemerintah merasa perlu menunjukkan sikap dan keberpihakan pada mereka yang kian terpinggirkan suaranya. Angka-angka yang dikutip di atas hanyalah refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama.
"Maka, perlu ada langkah yang jelas, terukur, dan masif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari," jelas Rivanlee.
Penyelamatan ruang hidup warga Pulau Wawonii harus menjadi prioritas utama ke depan oleh Pemerintah. Untuk itu koalisi masyarakat sipil memandang pencabutan seluruh izin tambang di Pulau Wawonii merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah demi menjamin keselamatan warga dan dan ruang hidup di Pulau Wawonii. **
Reporter | : | |
Editor | : |
- Hari Karantina ke-147, Barantin Terus Tingkatkan Perlindungan Keanekaragaman Hayati
- Aksi Tanam Sejuta Pohon Penyuluh Agama Kemenag Kabupaten Bekasi
- Petualangan Menegangkan: Menaklukkan Track Terjal Menuju Curug
- Inovasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi; Pemanfaatan Ulang Sampah (Puasa) dengan Pembangunan Sorting Centre Dan Eco System Advance Recycling (So CESAR)
- Produsen Kemasan Daur Ulang FajarPaper Ikut Serta Dalam Festival Peduli Sampah Nasional 2023
- HUT BSIP, Plt. Wali Kota Bekasi Gelorakan Semangat Menjaga Lingkungan Sehat
- Program Ketahanan Pangan Mengorbankan Lingkungan dan Petani
- Ridwan Kamil Akan Bangun Jalur Khusus Truk Tambang Akhir Tahun Ini
- Kendalikan Pencemaran Udara, DKI Gandeng Tangsel dan Bekasi untuk Uji Emisi
- Mikroplastik di Muara Sungai Menuju Teluk Jakarta Alami Peningkatan Semasa Pandemi
- Waspada, Cuaca Panas Ekstrem Bisa Sebabkan Risiko Kesehatan yang Cukup Mengkhawatirkan
- PP Pelindungan ABK Diterbitkan, ABK Penggugat Presiden: “Perjuangan Belum Berakhir!”
- Greenpeace Kritik Pemerintah Bungkam soal Kualitas Udara DKI Terburuk
- Keindahan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
- Warga Keluhkan Ada Polusi Udara, Kepala KSOP Marunda: Udara Tercemar Bukan dari Pelabuhan
0 Comments