Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
DAKTA.COM - Oleh: Muktamar Umakaapa, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia, sekaligus Ketua Bidang Politik Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).
Selain penunjukan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan dalam kabinet Indonesia Baru pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widdodo-Maruf Amin, hal lain yang ikut memantik kontroversi publik adalah pemilihan Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan.
Nadiem rupanya bukanlah sosok yang diharapkan mayoritas publik untuk mengisi jabatan Mendikbud. Dalam ekspektasi publik, Nadiem justru lebih tepat jika ditempatkan pada pos kementerian yang relevan dengan bidang yang ia tekuni selama ini, yakni di sektor ekonomi kreatif dan digital.
Anggapan seperti ini tentu beralasan. Dari rekam jejak perjalanannya, Nadiem nyaris tidak pernah sama sekali bersentuhan langsung dengan hal-hal yang menyangkut pendidikan maupun kebudayaan.
Keterbatasan lainnya, pendidikan yang ia peroleh lebih banyak didominasi pendidikan di luar negeri, sehingga membuatnya diyakini banyak pihak akan lebih sulit menyatu dengan jiwa pendidikan di Indonesia.
Tak dapat dipungkiri, adanya perbedaan basis filosofis dan karakter psikologis antara masyarakat indonesia dengan negara, menjadi kendala utama Nadiem.
Nadiem sendiri kita tahu adalah pendiri perusahaan Go-Jek. Sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis daring di Indonesia. Karir sebagai pengusaha bisnis startup adalah jalan yang dipilih Nadiem hingga akhirnya namanya pun dikenal masyarakat luas.
Dari inovasi Gojek Nadiem dianggap telah berhasil melakukan social movement yang mengguncang dengan mengubah model transportasi konvensional menjadi transportasi modern dan sesuai dengan keinginan zaman.
Nadiem dengan sangat jenius memanfaatkan apa yang disebut sebagai the power of informal economy sehingga menjadi lebih bernilai dan menguntungkan masyarakat banyak.
Yang paling terpenting dari itu, dengan hadirnya Gojek, peningkatan penyerapan tenaga kerja di Indonesia pun dapat terjadi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Agustus 2016 meningkat hingga mencapai 125,44 juta orang.
Faktanya, penurunan atas angka pengangguran tadi tidak terlepas dari sumbangsih besar industri transportasi online seperti Gojek di Indonesia. Ini menjadi legacy yang akan terus dikenang sepanjang hayat Nadiem.
Namun, kecemerlangan Nadiem membuat terobosan di bisnis startup tidak secara otomatis meredam pesimisme publik yang ditujukan kepada dirinya untuk membidangi urusan pendidikan.
Pendidikan tidak hanya membutuhkan mindset bisnis yang benar tetapi juga kepekaan untuk bisa merasakan. Pendidikan tidak memerlukan strategi pemasaran yang baik tetapi lebih dari itu ada misi kemanusiaan yang harus tercapai melalui pendidikan.
Di lain pihak, figur Nadiem yang modern dan milenial saat ini juga akan terbentur dengan sejumlah kompleksitas masalah pendidikan yang ada di Indonesia. Dan sudah barang tentu, keruwetan masalah pendidikan di Indonesia tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang sekejap dan seorang diri.
Masalah pendidikan kita adalah permasalahan struktural. Dalam arti yang lebih jauh, pembangunan dunia pendidikan kita seharusnya diarahkan untuk dapat mengatasi mahalnya akses biaya pendidikan kita.
Pengembangan dunia pendidikan kita sebaiknya berfokus pada peningkatan kesadaran kritis masyarakat tentang adanya ketimpangan kepemilikan ekonomi di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka pendidikan kita sesungguhnya bisa ditanamkan sebagai sesuatu yang reflektif yang dapat menggerakan masyarakat untuk melakukan perubahan berarti.
Barulah kemudian dapat dilakukan perbaikan yang komprehensif dan sistematis mulai dari perbaikan kurikulum, metode pengajaran, pola belajar siswa di sekolah dan banyak hal lainnya termasuk upaya peningkatan kemampuan pendidikan literasi masyarakat Indonesia.
Tentang reformasi digital yang seringkali dielu-elukan, ambisi ini belumlah menjadi jaminan bahwa dunia pendidikan kita akan memperoleh hasil yang baik.
Tidak cukup bagi kita hanya dengan menjadikan universitas dan sekolah di Indonesia sebagai industri ilmu untuk sekadar memenuhi keperluan kompetensi para tenaga kerja. Sejarah mencatat proses pembangunan pendidikan yang menjadikan industrialisasi sebagai teladan dan impian tidak selamanya dapat berjalan mulus.
Amerika adalah contoh nyata dari kegagalan ambisi industrialisasi pendidikan ini. Harian Washington Post tahun 2017 melaporkan, hampir setengah dari dua juta orang di Amerika Serikat yang mendaftar ke perguruan tinggi setiap tahunnya gagal untuk menyelesaikan kuliah.
Mereka drop out karena alasan keterbatasan ekonomi untuk membiayai pendidikan mereka sehingga akhirnya menjadi pengangguran dan turut menyumbang angka kemiskinan. Pendidikan mahal, pengangguran meningkat.
Sepintas dari fakta tersebut terlihat, ekonomi adalah salah satu akar masalah dalam persoalan pembangunan pendidikan. Persis serupa seperti apa yang kini terjadi di Indonesia.
Percobaan Politik
Penunjukan Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan marilah kita anggap sebagai political exercise yang dilakukan oleh presiden Jokowi.
Sebagaimana lazimnya percobaan, maka terdapat dua kemungkinan yang bakal terjadi, apakah percobaan ini akan berhasil ataukah percobaan ini justru berakhir gagal. Hal ini akan bergantung pada perubahan apa saja yang dilakukan oleh Nadiem Makarim sebagai nahkoda.
Satu hal yang patut untuk diperhatikan, Nadiem adalah ujian politik terhadap kelompok milenial di Indonesia. Setiap keberhasilannya akan menjadi kiprah keberhasilan politik bagi generasi milenial Indonesia. Sebaliknya, apabila Nadiem gagal, maka sepanjang waktu kegagalan ini akan dicatat oleh masyarakat sebagai kekalahan politik dari generasi muda Indonesia.
Bagaimanapun, Nadiem adalah wakil politik generasi muda yang dipercaya oleh Presiden Jokowi. Visi misi dan pikirannya akan direkam oleh publik sebagai keterwakilan dari generasi milenial. Seluruh tindakannya akan dituntut untuk menjawab keraguan publik bahwa dirinya adalah orang yang memang tepat untuk posisi tersebut.
Nadiem mestinya berada dalam posisi untuk meyakinkan kepada publik bahwa sektor pendidikan bukanlah tempat ajang melakukan percobaan. Nadiem harus sebisa mungkim menepis prasangka negatif publik bahwa milenial tidak hanya mengerti dengan dunia digital dan modernisasi, tetapi juga mampu merumuskan langkah maju dalam dunia pendidikan.
Karena pendidkkan adalah investasi jangka panjang. Kegagalan mengelola pendidikan akan berdampak panjang terhadap sumber daya manusia Indonesia puluhan tahun kedepan. Kegagalan mengatur ulang pendidikan dapat berimplikasi terhadap jutaan nasib masa depan generasi muda di Indonesia.
Karenanya, apabila tugas ini dapat diselesaikan dengan tuntas dan baik, maka itu sama berarti, Nadiem telah melewati ujian politik ini dengan benar. Sosok Nadiem akan dikenang sebagai menteri dengan legasi dan kebijakan positifnya. Di waktu yang bersamaan dia akan selalu dikenang sebagai milenial yang telah berhasil melulusi ujian kematangan politik sebagai pejabat publik.
Nadiem bisa menyerupai menteri muda lainnya seperti Klajda Gjosha Menteri Integrasi Eropa di Albania, Nadiem bisa melampaui prestasi yang dibuat oleh Anupriya Patel Menteri Kesehatan di India, Nadiem bisa mengikuti jejak keberhasilan yang dilakukan oleh Simon Harris –menteri kesehatan di Irlandia.
Berbuah Gagal atau Sukses
Hal yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya publik adalah apakah kesuksesan Nadiem merintis usaha bisnis startup akan bernasib sama dengan usahanya untuk membangun pendidikan di Indonesia. Semua akan dikembalikan ke tangan dingin Nadiem Makarim.
Hal sungguh penting, tentu saja pendidikan tidak hanya berorientasi untuk mempersiapkan lulusan kampus atau sekolah yang siap kerja. Pekerjaan bukan satu-satunya tujuan utama dari pendidikan. Model pendidikan yang demikian hanya akan membentuk satu peradigma lain: manusia adalah sapih perah yang siap untuk dilempar di ke industri pasar.
Hal penting lainnya juga yang perlu disadari adalah ruang lingkup dari pendidikan yang luas dan tidak melulu menyangkut urusan pekerjaan dan uang. Memposisikan pendidikan seperti itu hanya akan menjadikan dunia pendidikan semakin terkesan kapitalistik yang bergerak jauh dari cita-cita dasar keilmuan.
Ada kerugian yang sangat besar jika pendidikan terus dikembangkan dengan semangat yang kapitalistik dan individualistik. Yakni terabaikannya moral dan perilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang mendatang.
Propaganda tentang efisiensi dan efektifitas yang kini telah menjadi semangat hidup pendidikan kita harus segera dikembalikan pada semangat nilai dasar dari pengetahuan. Satu tatanan baru yang harus ditegakan adalah pada akhirnya berilmu dan sekolah tinggi akan membuat orang menjadi arif dan bijaksana.
Maka dari itu, pendidikan indonesia kita harus lebih menahan diri dari godaan industrialisasi dan modernisasi yang sempit. Tujuannya agar pendidikan dapat membantu memerdekaan bangsa Indonesia. Tujuannya agar pendidikan dapat menjadi proses yang terus hidup dan terus menjaga dan mengikat kesatuan bangsa Indonesia.
Namun demikian, tidak ada salahnya untuk berharap lebih dari seorang Nadiem Makarim. Sampai titik mana Nadiem akan berhasil mengantarkan kita pada gerbang kemerdekaan ataukah sampai di titik mana Nadiem akan gagal dan berhenti, sembari membuat kita menunggu datangnya keajaiban yang lain di dunia pendidikan kita. **
Editor | : | |
Sumber | : | Muktamar Umakaapa |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
- Inovasi Teknologi Kunci Peningkatan Kesejahteraan Petani
0 Comments