Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 30/10/2019 09:58 WIB

Waspadai Bahaya Laten Utang Baru Pemerintah

Ilustrasi utang negara
Ilustrasi utang negara
JAKARTA, DAKTA.COM - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Ekonomi dan Keuangan, Ecky Awal Mucharram mengkritik rencana pemerintah untuk menambah utang baru, di fase awal Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf.
 
Ecky mengatakan, pemerintah perlu berhati-hati dalam manajemen utang, terutama ada wacana pemerintah untuk menambah utang lagi, di mana utang yang ada semakin melonjak, defisit berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 ditargetkan mencapai Rp307,2 triliun, meningkat apabila dibandingkan dengan target APBN 2019 Rp297 triliun.
 
"Utang yang terus menumpuk dan tidak dikelola dengan baik justru dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta membuat ekonomi Indonesia rentan akan external shock," ujar Ecky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (30/10).
 
Ketergantungan Indonesia akan utang ini, lanjut Ecky, merupakan salah satu yang disebabkan oleh besarnya shortfal perpajakan, sehingga diperkirakan pada tahun 2019 saja akan terjadi shortfall sebesar Rp143 triliun. Itulah yang membuat Indonesia belum bisa memaksimalkan potensi pendapatan melalui perpajakan.
 
"Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia setiap tahunnya hanya sebesar 5,73 persen, sangat jauh apabila dibandingkan pertumbuhan pada periode 2005-2009 yang mencapai 17,56 persen per tahun," tuturnya.
 
Ecky juga menyoroti bahwa selama pemerintahan Jokowi dari 2015-2018, stok utang pemerintah dalam bentuk SBN bertambah Rp1600 triliun. Hal tersebut yang membuat defisit APBN selama ini masih bersifat tidak produktif, karena masih tingginya alokasi anggaran belanja yang tidak efisien serta potensi kebocoran berbagai belanja lainnya yang masih tinggi.
 
"Oleh sebab itu, pemerintah kedepan perlu merubah paradigma dalam pembiayaan defisit dan pengelolaan utang negara, agar tidak mempengaruhi kondisi perekonomian negara kita," tambah Ecky.
 
Lebih Lanjut Ecky menambahkan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia harus mewaspadai tren meningkatnya rasio utang pemerintah dan utang luar negeri Indonesia di tahun 2019. Debt to GDP ratio Indonesia mengalami tren peningkatan selama tiga tahun terakhir, dari 24% pada tahun 2014 hingga mendekati 30% di tahun 2019.
 
“Tren meningkatnya Debt to GDP ratio ini menunjukkan bahwa utang yang dilakukan relatif kurang efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal serupa terjadi pada debt to service ratio Indonesia yang terus mengalami peningkatan dari 23.95% (2014) menjadi 26.18% (2019), tren tersebut menunjukkan sinyal yang kurang baik atas perekonomian Indonesia," ungkap Ecky
 
Khusus untuk utang luar negeri, Ecky menegaskan pemerintah dan Bank Indonsia harus meningkatkan koordinasi, terutama dengan semakin tingginya ketidakpastian perekonomian global. Perekonomian Amerika Serikat yang mulai menunjukkan perbaikan membuat The Fed kembali berencana meningkatkan tingkat suku bunga selama bertahap selama tahun 2018.
 
“Kenaikan tersebut dapat menimbulkan capital outflow dan salah satu dampak awalnya adalah pada nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah tentu akan memukul sektor swasta yang memiliki utang luar negeri karena beban utang mereka otomatis akan meningkat” tutur Ecky.
 
Ecky memperingatkan resiko kurs tersebut harus diperhatikan, terlebih tren rasio utang luar negeri Indonesia terhadap GDP terus meningkat setiap tahunnya, dari 32,95% (2014) menjadi 36.8% (2019). **
Reporter :
Editor :
- Dilihat 2609 Kali
Berita Terkait

0 Comments